Cerpen Daruz Armedian
Lelaki itu sudah sangat membenci si perempuan sejak ia mengenalnya. Pada suatu sore
yang biasa. Artinya sore yang masih menabur senja. Angin sepoi dan aroma langit
biru. Di ladang tebu milik pamannya. Ladang tebu di tengah-tengah keramaian
yang agaknya beberapa tahun lagi jadi sebuah kota.
Ia benci sekali melihat cara si perempuan memandangnya. Perempuan
itu juga
sangat benci terhadap cara memandangnya yang seperti penuh dengan aura kebencian. Pertemuan
mereka memang ada sedikit aroma
ketidaksengajaan. Saat ia sedang mengulur benang layangan sambil makan tebu. Datanglah
perempuan itu membawa parang. Masih dengan rambut yang diikat dua. Kiri dan kanan. Karena
saat itu memang sebuah gaya rambut anak sekecil dia yang baru berumur sepuluh
tahun.
Melihat gelagatnya yang aneh, lelaki itu buru-buru nyerocos.
“Kamu mau ngapain?” begitulah kata pertamanya yang sangat dibenci
perempuan itu. Entah kenapa. Ia sendiri tak bisa menjelaskannya dengan
kata-kata.
“Mau ngambil tebu!” jawaban inilah yang membuat lelaki itu benci. Rasanya seumur
hidup baru kali itu ia mendengar jawaban yang membuatnya membenci. Entah
kenapa. Sebetulnya ia bisa menjelaskan dengan kata-kata. Tetapi, bukankah
kadang rasa benci tak memerlukan waktu untuk menjelaskan alasannya.
Perempuan itu berjalan menujunya. Dengan langkah pelan seperti tabiat asli perempuan.
Halus dan sopan. Kadang-kadang pandangannya ke arah layang-layang yang sedikit bergoyang.
Tangannya masih memegang parang, seperti hendak membunuh. Seperti hendak
menikam. Laki-laki itu terdiam. Bungkam.
“Apa aku boleh ngambil tebu?”
“Jangan!” sergah si laki-laki. Ada diam sejenak di antara mereka.
Kalau dalam perhitungan waktu, kira-kira lima detik. “Ini ambil saja tebu yang sudah aku
potong.” lanjutnya.
Si perempuan benci sekali terhadap orang yang melarang-larang. Ia
menggelengkan kepala. Lalu memandang hamparan tebu.
“Ayo, jangan malu-malu.” Karena memang ia tahu kalau yang diajak bicara
malu-malu. “Di dalam sana bahaya. Kamu baru pertama kali mau ngambil tebu kan?” Perempuan itu mengangguk.
“Sini, aku ceritain sesuatu.” Bujuknya sambil menarik-narik senar
layangan. Si
perempuan
menuruti kemauan itu. Duduk di sampingnya. Dekat. Dekat sekali. Seperti sudah sejak lama
mereka saling mengenal.
“Ladang tebu ini milik pamanku. Ia sering cerita kalau di tengah-tengah
hamparan tebu ini sangat berbahaya. Dulu, katanya sering sekali ditemukan
orang-orang mati tergeletak di sini. Ada orang bertato, ada orang yang dituduh
pemberontak, ada wanita-wanita yang dituduh membuat organisasi berbahaya, dan
ada banyak lagi.”
Perempuan itu benci sekali kepada lelaki yang banyak cerita. Seperti
bencinya terhadap orang yang melakukan kebohongan. Sudah berapa kali ia
dibohongi dalam sebuah cerita.
“Roh-roh mayat itu masih bergentayangan. Pamanku saja kalau malam sering
mendengar jeritan pilu dari arah ladang tebu ini. Tapi kalau sore sebenarnya
tidak ada sih. Cuma tadi aku khawatir saja sama kamu. Kamu kan baru pertama
kali ke sini. Eh, ngomong-ngomong kenapa kamu berani ke sini? Bukankah ayahmu
pasti melarang anaknya bermain ke tempat sembarangan? Bukankah ayahmu melarang
anaknya bermain sama anak orang yang dituduh memberontak negara?” Namun, perempuan itu hanya diam.
Lelaki itu benci sekali kepada perempuan yang banyak diam. Dalam kategori
berduaan, diam bukanlah emas yang gemerlapan. Tetapi logam yang sudah berkarat
dan menusuk tulang belulang. Begitu menyakitkan.
Ketika yang diajak bicara hendak pergi, ia buru-buru menanyakan sesuatu,
“Siapa namamu?” sudah tertebak. Pasti tak ada jawaban. Hanya senyuman pura-pura
yang penuh kebencian.
“Namaku Jenar. Siapa namamu?” ia benci sekali dengan kata-kata yang
diulang-ulang. Akhirnya perempuan itu menjawab dengan ketus. Karena ia
benci sekali terhadap penanyaan sebuah nama.
“Eliana.”
Sungguh. Ketika Eliana pergi dari situ sembari membawa tebu, Jenar benci
sekali. Ia jadi teringat nama ibunya yang juga Eliana. Ibu yang mati dianiaya
banyak orang berseragam. Dan mayatnya dibuang di ladang tebu ini. Ya, ladang
tebu ini.
Sampai jauh Jenar memandang punggung Eliana. Baru kali ini ia begitu akrab
dengan seorang perempuan yang baru dikenal. Dan ia benci itu. Baru kali ini
Eliana menemukan seorang laki-laki yang baru dikenal bisa sangat akrab. Dan ia
benci itu.
Artinya, mereka saling membenci.
***
“Kita telah lama saling membenci, Eliana”
“Ya, kita sudah terlalu lama saling membenci, Jenar”
“Apa ada solusi?”
Eliana menggeleng. Selalu begitu. Jenar benci sekali orang seperti
itu.
“Bagaimana kalau kita menikah?”
mendengar ucapan Jenar, mata Eliana terbelalak. Apa yang didengar kali ini
bukanlah suara halilintar sebenarnya, tetapi cukup membuatnya kaget tak
terkira.
“Kenapa?”
“Bagaimana bisa menikah, sedangkan kita sama-sama saling
membenci?” suara Eliana pelan. Seperti kesiur angin menerpa ilalang di ladang
yang dulunya ditanami tebu itu. Jenar memandang hamparan ilalang. Ilalang yang
diterpa kesiur angin itu. Pelan. Serupa suara Eliana saat memberi jawaban.
“Justru itu, Eliana,” Jenar menghela napas, “Justru karena
menikah barangkali kita bisa saling mencintai.”
“Tapi---” kata-kata Eliana terpotong.
“Tapi bukankah kebersamaan kita di mana-mana memang
disebabkan karena saling membenci?” sahut Jenar.
“Aku tidak yakin kau akan benar-benar menikahiku. Setahuku
kau sangat benci ayahku. Ayahku keamanan negara. Sedangkan katamu seminggu lagi
akan berdemo besar-besaran bersama seluruh mahasiswa negeri kita untuk
menggulingkan orde yang saat ini berkuasa?” pertanyaan Eliana panjang
kata-katanya, tapi Jenar memahaminya. Pertanyaan Eliana retoris, tapi Jenar
tetapakan akan menjawabnya.
“Aku yakin. Aku sudah punya pekerjaan menjadi editor di salah
satu majalah untuk menafkahimu. Yang tidak aku yakin malahan kamu mau atau
tidak. Itu saja.”
Dan di sinilah, Eliana dihadapkan permasalahan yang amat
pelik sekaligus amat ia benci.
***
Atas nama kebencian. Mereka pun mengadakan pertemuan. Di sebuah stasiun
yang awalnya dulu adalah ladang tebu milik pamannya. Ah, ia sampai lupa kalau
di sanalah mereka pertama kali bertemu. Barangkali memang sudah terlalu lama
kejadian itu berlalu. Ia bergegas mandi, padahal biasanya jarang mandi. Gosok
gigi. Lalu pergi. Dan entah kapan akan kembali.
Eliana sudah agak lama menunggu. Kalau dalam perhitungan waktu,
kira-kira lima belas menit. Ia benci sekali menunggu. Matanya terpaku pada sebuah kereta
yang tak lekas berjalan. Orang-orang berjejalan tak karuan. Hampir sudah
dipastikan kalau lebaran sebentar lagi, pasti stasiun akan berdesakan seperti
ini.
“Wajar sekali aku membencimu, Eliana. Kau adalah anak orang yang ikut
andil membunuh orang tuaku.”
“Tapi tak wajar sekali aku membencimu, Jenar. Ayahmu pemberontak. Ibumu
juga. Bagiku itu hanya penuduhan belaka. Tapi entah kenapa, Jenar. Aku
seolah-olah membencimu!”
“Aku membencimu terlebih karena kita tak jadi menikah, Jenar. Ayahku terlalu benci
pada yang namanya anak pemberontak.” tambahnya.
“Itulah yang kubenci juga, Eliana. Kenapa kita terlahir dari kasta yang
berbeda?”
“Kasta?”
“Ya, kasta. Apalagi?”
“Benar juga. Tapi, sepuluh tahun sudah berlalu, Jenar. Kukira kau sudah
tiada. Kukira kau tidak bersembunyi di negara tetangga. Kukira kau mati
mengenaskan kena popor senjata. Kukira kau…” Eliana menangis. Jenar memeluknya.
Mengusap rambut hitam panjang itu seperti di senetron yang seringkali tayang di
televisi kita. “Aku benci, Jenar. Aku benci!”
“Aku benci kenapa kau datang terlambat. Aku benci kau datang
setelah anak teman ayahku menikahiku. Aku pura-pura mencintainya.” Dan, Jenar
kini seperti memeluk kehampaan.
Seseorang datang. Wajahnya lebih ganteng dari Jenar. Tubuhnya
lebih tinggi dan gempal ketimbang Jenar. Rambutnya lebih pendek dari Jenar. Dan
Jenar tahu persis itu siapa. Salah satu anak Komandan berwajah bengis! Tanpa
suara seseorang yang sudah dijelaskan ciri-cirinya itu menggamit tangan Eliana
tanpa kata-kata. Jenar juga tak hendak bicara.
Dua orang itu berjalan menuju kereta yang juga akan berjalan.
Eliana sebenarnya ingin mengungkapkan beberapa hal, tetapi tangisnya barangkali
sudah menjadi ganti. Ia terus menangis. Semakin dan semakin pilu. Jenar juga
menangis, tapi dalam hati. Bukankah tangis dalam hati bahkan lebih pilu
ketimbang yang meneteskan air mata?
Laki-laki itu dan Eliana memasuki pintu. Dan kereta berlalu
mengacuhkan stasiun yang menampungnya seperti mereka berdua yang
mengacuhkan Jenar di sana. Orang-orang yang berdesakan tak ada yang peduli
bahwa air mata pelan-pelan membasahi pipinya. Tak ada lambaian tangan, tak ada
senyuman. Semua berlalu begitu saja tanpa bisa diduga.
Di stasiun yang diacuhkan kereta1 ini, Jenar merasa jauh dari
Eliana. Sangat-sangat jauh. Seperti masa lalu. l
Bantul, 2015
Kepada Agus Noor.
1 Diambil dari sajak Mohammad Ali Fakih
Fajar Sumatera, Jumat, 12 Februari 2016