Friday, May 22, 2015

Misteri Rumah Tua

Cerpen Tita Tjindarbumi

DAN cerita itu pun tak berhenti sampai di situ. Orang-orang yang tidak percaya bahwa rumah tua itu berpenghuni, kini mulai merasa ketakutan. Bila saja penghuninya adalah manusia, mungkin tak membuat hati mereka kebat-kebit setiap kali melewati rumah tua yang kian lama terlihat semakin menyeramkan.

Malam kian larut. Sesekali terdengar lolong panjang anjing milik saudagar China yang letaknya tiga rumah dari rumah tua itu. Gedung tinggi berlantai tiga itu berdiri angkuh, kokoh tetapi pintunya jarang dibuka. Konon di rumah itu hidup encek tua penjaga rumah. Pemilik rumahnya jarang pulang. Hanya suara anjing yang berjumlah lima yang setiap malam ramai melolong, bersahutan seperti sedang dirundung malang. Terkadang lolongnya menyayat membuat bulu kuduk berdiri.

Detak jam dengan ketukan seirama mulai mengusik malam.Rumah tua itu sudah sekian lama tak berpenghuni.Tiang-tiangnya telah lama dimakan rayap. Beberapa bagian plafonnya terlepas. Hampir di semua bagian rumah tua itu, keadaannya sangat memprihatikan. Cat rumah itu yang memudar dan mengelupas. Sarang laba-laba bertebaran dimana-mana. Bau amis….bau  anyir menyeruak menusuk hidung. Tikus-tikus berkejaran. Melompat dari sudut ke sudut lainnya.

Perempuan itu bersijingkat melewati sampah yang berserakan dimana-mana.Tangannya sibuk menutupi hidungnya dengan selembar tisu yang diambil begitu saja dari dalam kantong yang berada di dalam tasnya.Sekian puluh tahun berada jauh dari kota kelahirannya, membuatnya merasa asing berada di dalam rumah itu. Padahal masa kecilnya dihabiskan di rumah ini.

Dulu…dulu sekali, rumah ini begitu asri. Ia masih ingat nenek selalu berkutat dengan alat berkebunnya. Menanam apa saja dan karena dengan tangannya dinginnya, apa saja yang ditanamnya tak pernah mati. Jika itu bunga, maka beberapa bulan kemudian halaman depan rumah telah penuh dengan bunga mawar aneka warna. Nenek menanam aneka bunga. Ada melati dengan berbagai jenis, yang engkel dan dobel. Lalu mawar pun demikian, merah, pink, merah hati, orange dan putih. Dulu belum ada mawar yang berwarna hitam. Di pagar rumah yang berhalaman luas itu pun nenek menanam aneka bunga bougenvil. Bersama nenek Aneta banyak mengenal jenis tananam.

Ketika tinggal bersama sang nenek, Aneta banyak belajar tentang banyak hal, termasuk tentang makhluk lain yang konon ceritanya adalah para pengikut leluhur keluarga besar mereka. Sayangnya Aneta tidak terpikir bertanya pada sang nenek, mereka pengikut leluhur siapa? Nenek atau kakek?

Selain berbagai jenis tanaman berbunga, berbagai tanaman buah-buahan pun tersebar di halaman belakang rumah yang luasnya  seribu meter lebih. Di halaman belakang tumbuh pohon pandan yang tumbuh rimbun. Daunnya lebar-lebar dengan warna hijau yang segar. Setiap hari aroma pandan menebar sampai ke halaman depan. Aneta sering mengenduskan hidungnya, seakan ingin menghirup aroma wangi itu dalam-dalam.

Setiap kamis sore nenek memetik beberapa tangkai bunga dari tujuh macam jenis tanaham yang ada di halaman depan dan belakang rumah. Lalu nenek dengan telaten mengiris tipis beberapa daun pandan yang berwarna hijau pekat. Dan sebelum Aneta bertanya, nenek telah menjelaskan bahwa daun yang hijau tua menandakan daun itu telah tua dan akan menebar aroma wangi ketika diiris tipis.

Bunga tujuh rupa dengan irisan daun pandan itu dimata rapih di atas sebuah nampan kecil. Kemudian nenek meletakan sebutir telur dan melengkapinya dengan secangkir kopi yang diberi garam. Sebelum magrib tiba nampan tersebut telah diletakkan nenek persis di bawah lampu yang menyala terang di atas meja besar yang biasa dipergunakan untuk pertemuan keluarga.

Aneta tak banyak bertanya. Mata nenek mengisyaratkan, ia tak ingin bererita tentang sesajen yang selalu disiapkan setiap malam jumat. Aneta pun tak pernah ingin membuat nenek terusik. Aneta takut nenek marah. Aneta pernah melihatnya. Tubuhnya gemetar melihat wajah nenek yang menakutkan. Padahal selama itu Aneta begitu tenang bersama nenek karena kelembutan hatinya.

Aneta juga tak pernah berani bertanya mengapa Tante Din sering kesurupan. Berjam-jam ngomel sendiri, berteriak, menangis tanpa sebab dan meronta-ronta. Lalu badannya lemas setelah “orang pintar” berhasil mengusir makhluk asing yang merasuki tubuh dan jiwa Tante Din.

Aneta hanya mendengar cerita para orang tua yang mengatakan bahwa penunggu rumah itu marah karena kelaparan. Mengamuk karena di dapur teko air dalam keadaan kosong. Juga tentang sesajen yang lupa disiapkan.

        ***
   
Sampai suatu ketika Aneta melihat sendiri sosok aneh yang berada di atas kepala Dewi adiknya. Bukan sosok tetapi telapak tangan dipenuhi bulu dengan jari-jari lentik yang bergelantungan. Melihat benda itu Aneta langsung lompat dan berlari memanggil sang nenek yang waktu itu sedang membaca buku. Dengan terbata-bata Aneta menceritakan apa yang dilihatnya.
   
Tanpa banyak bicara nenek berjalan cepat. Setelah  berada di dalam gudang tempat Aneta bermain, nenek langsung membuka jendela. Menyibak kain selimut yang dipergunakan Aneta untuk menutup rak piring yang tidak dipakai sebagai tempat bersembunyi.
   
“Ayo semua keluar dari gudang,” ujar nenek sebagai perintah tanpa banyak bertanya atau berbicara.
   
Wajah nenek terlihat datar.Sepertinya ia sudah tahu tentang benda tersebut. Sejak saat itu nenek melarang Aneta untuk main umpetan di gudang.
   
Bahkan Aneta tak berani bertanya bagaimana benda berbentuk telapak tangan itu bisa muncul tiba-tiba saat ia, Mei dan Wika bermain-main umpetan di ruang gelap tempat nenek menyimpan barang yang tidak dipakai. Aneta hanya berani melebarkan telinga saat para orang tua membicarakan kemunculan telapak tangan yang berbulu lebat itu. Yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Jarlim. Lalu bersama dengan waktu muncul nama-nama lain yang dilengkapi dengan nama mereka dan cerita tentang mereka.

                    ***
   
Aneta tahu, ia terlalu gegabah masuk ke rumah itu sendirian. Dulu ketika ia masih tinggal di rumah itu, rasa takutnya tidak seperti yang sekarang ia rasakan. Tetapi ia sudah terlanjur masuk. Rumah ini sudah lama tidak berpenghuni. Tepatnya setelah rumah tua yang merupakan harta warisan itu disepakati untuk dijual. Entah mengapa pembeli rumah itu seperti enggan menempati rumah tua itu. Bahkan belakangan tersebar cerita hampir tiap malam terdengar suara tawa cekikian dari dalam rumah itu. Tak hanya itu, hampir semua orang yang tinggal di sekitar rumah mendengar suara dentuman dari dalam rumah. Bahkan kabarnya sering kali ada batu yang dilempar dari dalam  rumah itu. Jika batu dilempar ke dalam rumah, batu itu hilang.
   
Jlegar...tiba-tiba saja terdengar suara pintu ditutup dengan keras sampai menimbulkan suara yang mengagetkan. Jantung Aneta berdebar keras. Tanpa dsadari keringat dingin telah membasahi bajunya. Aneta hampir saja terjatuh, untung tangan kanannya dengan sigap memegang tembok. Aneta nyaris kehilangan keseimbangan.
   
Yaa...tiba-tiba di depan Aneta berdiri seorang perempuan paruh baya. Parasnya tidak cantik tetapi garis wajahnya yang keras menggambarkan ia perempuan yang keras, teguh pada prinsip. Saat perempuan itu menarik kedua sudut bibirnya, Aneta seperti pernah melihat senyum itu. Senyum yang  tak asing. Sayangnya, Aneta tak berhasil mengingat siapa pemilik senyum itu. Bahkan Aneta tak mampu mengingat dimana ia pernah melihat senyum itu.

Aneta masih terkesima. Ia tak sadar suasana rumah itu telah berubah. Aneta tak melihat sarang laba-laba bergelantungan dimana-mana. Cara berpakaiannya seperti orang jaman dulu. Kain sarung berwarna coklat dengan corak daun membuat kulit perempuan itu terlihat jauh lebih bersih dari kulit aslinya.

“Selamat datang di rumah masa depan, cucuku,” ujar perempuan itu dengan wajah tanpa ekspresi, Suaranya yang lantang tak mampu menyembunyikan serak yang menjadi ciri khasnya. Aneta langsung mengenali siapa perempuan itu. Beberapa saat kemudian mata mereka sempat bersirobok. Hanya beberapa detik dan Aneta melihat mata itu memendam kekecewaan.

“Mereka telah merebut rumah kita,” kata perempuan itu, setelah berdiam diri dan hanya menatap ke tembok-tembok rumah yang berwarna putih.

“Tidak ada yang merebut, Nek. Keadaan kini tak sama dengan dulu. Menjual rumah ini mungkin dianggap jalan terbaik demi kelangsungan kekeluargaan,”Jawab Aneta mencoba menenangkan perempuan itu. Juga dirinya sendiri. Ia tak tahu mengapa berkata begitu.

“Apakah anak cucuku tak memerlukan tempat tinggal?” tanya perempuan itu dengan suara tinggi. Kemarahannya mengambang di matanya yang menghitam.

“Persoalaannya bukan membutuhkan atau tidak, tetapi kita semua harus berpikir untuk hidup mandiri dan tidak selalu bergantung pada harta warisan.”

“Hasil penjualan rumah ini tidak bisa membuat anak cucuku hidup mandiri.” Tukasnya dengan suara tertahan, seakan kalimatnya itu hanya untuk dirinya sendiri.

“Justru itu, Nek, di era sekarang ssaja tidak bisa, bagaimana di masa mendatang? Bukankah bisa saja ini akan memicu perpecahan keluarga. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi jika suatu saat kelak semua menganggap rumah ini adalah milik mereka?” jawab Aneta pelan. Perempuan itu diam saja. Mungkin berpikir. Bisa jadi sedang menyimpan kemarahannya.

“Semua hanya tinggal kenangan. Begitu?”

Aneta menganggukkan kepalanya.

“Kenangan itu akan terus hidup dalam benak kami, Nek. Ada atau tidak ada rumah ini?” jawab Aneta pelan tetapi tegas. Ia ingin meyakinkan sang nenek bahwa semua kenangannya bersama sang nenek tidak akan pernah hilang meski rumah ini banyak kenangan  masa kecilnya bersama sang nenek.

Tanpa banyak bicara perempuan itu berbalik. Aneta ingin menahannya tetapi lidahnya kelu. Kedua tangannya yang ingin menggamit lengan sang nenek seperti kaku tak bisa digerakan. Aneta hanya mematung menyaksikan langkah sang nenek yang begitu cepat. Beberapa detik sosok renta itu menghilang. Aneta masih ingat warna kebayanya. Abu-abu.

Tiba-tiba Aneta merasa suhu ruangan memanas. Pelipisnya bahas dan baru  sadar tubuhnya telah basah. Aneta menebar pandangannya ke seluruh ruangan. Temboknya tak seputih tadi. Sarang laba-laba ada dimana-mana. Dengan langlah gontai Aneta membalikan badannya. Tubuhnya lemas seperti tak bertulang. Bahkan ia merasa enerjinya seperti habis kesedot.

Aneta tahu neneknya mungkin galau karena rumah miliknya telah menjadi milik orang lain. Tetapi Aneta yakin cerita seram yang dihembuskan tentang rumah itu bukan karena ulah neneknya. Nenek pasti tak akan sejahat itu. Lagi pula Aneta yakin neneknya sudah damai di rumah keabadiannya.
   

Fajar Sumatera, Jumat, 22 Mei 2015.

No comments:

Post a Comment