Friday, May 29, 2015

Pedro yang Menghilang

Cerpen Alex R Nainggolan

SEBENARNYA aku lama telah mengenalnya. Tepatnya, ada sebagian dari kehidupanku yang pernah kuhabiskan bersamanya. Pedro, seseorang yang energik, gemar menikmati senja, tak mempersoalkan segala masalah hidup. Baginya, hidup adalah hidup sendiri. Enjoy  aja! Demikianlah ia senantiasa berucap. Tak perlu dibawa rumit, tak usah dibuat sulit. Ia orang yang enak dijadikan sebagi kawan. Dan segalanya, ketika bersamanya jadi penuh warna. Dimana ia kerap menjelma jadi spidol dengan beragam warna untuk menorehkan dalam kehidupan. Ya, kehidupanku!

Maka aku bersamanya terbiasa menghabiskan waktu luang. Acap takjub pada segala peristiwa sederhana yang lintas di hadapan. Untuk sebuah hujan yang turun, katakanlah, ia seperti membeberkan keajaiban tersendiri. Ia suka membiarkan tajam tatapan matanya berumah di antara genang air, membiarkan udara dingin membalut tubuhnya yang terhitung kurus. Bahkan berulang kali pula, ia mandi hujan! Suatu hal yang mengingatkanku pada masa kanak-kanak. Bukankah hujan kerap meninggalkan keajaibannya pada siapa saja?

”Ayolah, turun! Buka bajumu! Kita basahkan tubuh ini. Hujan itu anugerah. Cobalah! Sekali ini, kau akan memahaminya ketika berenang di tengah hujan ini. Biarkan sekujur tubuhmu dialiri oleh derasnya. Kau akan merasa berlayar ke sebuah negeri yang baru. Dimana segenap bauran dinginnya membeku, menjentikkan jangat kulitmu,” teriaknya dari luar. Sementara aku hanya menatapnya, aku hanya melihat ada pijar masa kanak yang tumbuh di matanya. Memanggili tanpa henti.

”Ayolah!” ia melambaikan tangannya. Aku seperti diculik. Kemudian aku menyerah, membuka bajuku dengan hanya mengenakan celana pendek terjun ke tengah deras hujan. Ternyata Pedro benar!

Hujan seperti obat bius yang ajaib. Getar dingin yang melumut dari butir-butir air seperti melenakan untuk betah di sana. Berlama-lama dan abai pada waktu.

***

Tahun-tahun berlepasan. Kami berpisah begitu saja. Aku pindah ke lain kota. Terakhir saat berpisah, kami suntuk menyesali perpisahan. Bukankah jarak merupakan batas yang tegas untuk memisahkan keakraban? Benar memang masih ada alat komunikasi semacam telepon seluler, tapi itu hanya getar suara. Sangat berbeda ketika sama-sama bertemu. Wujud tubuh yang bertemu selalu menyisakan kenangan tersendiri.

Ya, kami pun berpisah. Entah di mana Pedro sekarang. Nomor teleponnyapun tak pernah kuketahui hingga kini. Sesekali aku sempat mencarinya hubungan dengannya. Entah lewat jejaring sosial di internet, menemui keluarganya, atau menghubungi beberapa kawan yang mungkin pernah bertemu dengannya. Tapi beragam komentar yang kudapati. Seperti kembali mengunci semua misteri.

Bukankah kehilangan sahabat yang telah lama kaukenal baik, terasa menjanggalkan? Dan waktupun berlepasan. Tahun-tahun kembali berganti. Pedro tak pernah lagi kutemui. Ia seperti lenyap ditelan bumi. Tanpa kabar sedikitpun. Tanpa ada rangkaian kalimat yang menjelaskan keberadaannya. Ia tak lagi menjadi jawaban, malah melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru di dalam kepalaku.

Apakah ia pergi ke suatu tempat, membuat nama baru, identitas baru tanpa perlu meninggalkan jejak sedikitpun pada orang-orang terdekatnya? Aku tak pernah tahu. Yang ada cuma rangkaian pertanyaan (pernyataan) semacam begini:

“Jangan-jangan ia diculik sekelompok orang, karena dianggap membahayakan. Atau ia memunyai rahasia sehingga mesti disimpan sendiri. Tanpa mesti ada seseorang yang perlu tahu.”

“Dari mana kau tahu?”

”Firasat saja.”

”Hanya itu?”

”Bukankah engkau dengar berita tentang seseorang yang tiba-tiba saja menghilang tanpa diketahui musababnya. Bisa jadi ia merencanakan hal-hal yang membahayakan keamanan negeri ini.”

(Tapi apa hebatnya seorang Pedro? Toh, sepanjang yang kuketahui ia orang yang periang. Tak pernah memiliki keinginan untuk menjadi aktivis politik, hingga membahayakan stabilitas negara. Terlebih lagi ia tak pernah suka membaca pemikiran semacam Karl Marx atau Che Guevara. Itu tak terbayangkan di benakku).

“Mungkin ia menjadi TKI, berangkat kerja ke luar negeri. Karena begitu sulitnya mencari pekerjaan di negeri sendiri.”

(Ini sempat terbersit juga olehku. Pedro bisa jadi bekerja sebagai TKI, pergi ke luar negeri—bukan untuk jalan-jalan tentunya, tapi untuk mengumpulkan lembar-lembar rupiah. Dan ingatanku membayang pada pelbagai berita di televisi ihwal kekerasan yang dilakukan para majikan TKI di sana. Ada yang disetrika punggungnya, ada yang diguyur air panas, ada yang dipukuli serupa anjing, ada yang dikurung di kamar mandi hingga berminggu-minggu. Ah! Betapa ngeri membayangkannya! Jangan-jangan ia tak diketahui kabarnya sebab itu. Jangan-jangan ia telah menjadi mayat, yang telah dikubur majikannya. Tanpa diketahui oleh siapa-siapa. Betapa sedihnya jadi warga di negeri ini! Tiba-tiba mataku berair. Tapi, ups, tunggu dulu—Pedro bukanlah orang yang semacam itu! Ia bukanlah orang yang bermental babu. Ia tak pernah suka disuruh-suruh. Bukankah ia menganggap kehidupan ini enteng saja. Tak perlu dibawa rumit dan sulit? Akhirnya memang bayangan itu kukesampingkan. Pedro tak mungkin seperti itu).

“Barangkali juga ia telah jatuh cinta pada perempuan, entah di mana. Lalu ia memilih untuk pergi jauh. Melupakan semua masalalunya. Dan hidup berbahagia, memunyai rumah dengan taman yang dipenuhi rimbun rumput. Mungkin juga ia tinggal di kaki gunung, melupakan hiruk-pikuk dunia. Bukankah, baginya hidup mesti enjoy aja!”

(Ini bisa masuk di dalam jalan pikiranku. Setidaknya ini yang masuk di logika. Meskipun sepanjang yang kuketahui ia beberapa kali gagal menjalin cinta dengan perempuan. Perempuan-perempuan yang pernah ditemuinya, lebih banyak pergi dan berlalu begitu saja. Meninggalkannya begitu saja. Ada juga yang bertepuk sebelah tangan. Tak mendapatkan respon sedikitpun. Ada pula yang lebih mengutamakan materi saja. Sedikit-sedikit belanja. Minta beli ini dan itu. Suatu hal yang membuat Pedro belingsatan kala itu, hingga dirinya terpaksa meminjam uang beberapa kali kepadaku. Ada yang menjalin hubungan dengannya cuma buat main-main saja. Ternyata malah menduakan cintanya. Ah, Pedro bahkan ia begitu sulit untuk menyatakan cinta pada perempuan. Lidahnya akan kaku membeku, tubuhnya akan gemetaran ketika berhadapan dengan perempuan yang benar-benar disukainya. Betapa banyak kisah sedih yang dialaminya dalam hal asmara. Pendeknya, sepanjang yang kuketahui ia lebih banyak tidak bahagia dalam menjalin hubungan. Semuanya berakhir hanya karena hal-hal sepele. Padahal Pedro sangat suka hal yang sepele. Ia gandrung untuk menikmati sesuatu yang sederhana, yang tidak terlalu besar. Sebab hidup ini tak perlu dibuat rumit dan sulit.)

***

Demikianlah., aku kehilangan Pedro. Entah di mana ia sekarang. Ia memang telah menjelma jadi kenangan yang kuat bagiku. Saat aku menghabiskan banyak waktu bersamanya. Ketika aku menganggap kehidupan ini adalah sebuah masalah yang berat. Tapi ia hadir dan menggoyangkan bahuku. Untuk senantiasa tegak menghadapi hidup. Tanpa perlu dibuat rumit dan sulit.

Ia semacam getaran-getaran yang terus mendenyutkan tubuhku. Membangunkan segenap ketakutanku, untuk tetap membusungkan dada. Tidak kecut ketika persoalan karut dan melecut. Semuanya hanya masalah sepele. Hal-hal yang tak perlu dikhawatirkan. Betapa aku seperti dibangunkan dari sebuah mimpi buruk. Kemudian menyambut hidup dengan tegar.

Memang sesekali perlu untuk bersedih. Tapi bersamanya kesedihan tak perlu berlarut-larut hingga menjadi lautan garam. Kehidupan ini sudah cukup asin, jadi tak perlu ditambah dengan kecengengan ataupun airmata.

Banyak yang kudapatkan darinya. Dengan melihat persoalan jadi lebih sederhana. Ah, betapa aku rindu untuk bertemu dengannya!

***

Sebenarnya di manakah dirinya sekarang? Semoga kita masih punya waktu untuk bertemu, Pedro! Bukankah menyenangkan untuk menjalani kisah lagi denganmu? Tapi, o, ya masalah pertemuan ini, seperti katamu, tak perlu dibuat sulit dan rumit, bukan?



Fajar Sumatera, Jumat, 29 Mei 2015.


No comments:

Post a Comment