Friday, June 12, 2015

Nicodemus van der Plas

Cerpen Arman AZ


BUKAN sekuntum mawar yang kubawa untuk Nicodemus van der Plas, melainkan sesobek kertas dari pengurus kompleks makam Kembang Kuning. Tulisan tangan bertinta hitam di kertas itu berisi petunjuk letak rumah terakhirnya. Tak ingin buang waktu percuma, aku bergegas ke tempat semula, diiringi hati yang bungah.

Pagi tadi aku tersesat berjam-jam di tengah makam Peneleh. Bagai mencari seutas jerami di tumpukan jarum, bukan mudah mencari sebuah makam di antara ribuan makam. Entah bakal makan waktu berapa hari untuk membaca setiap epitaf demi menemukan nama Nicodemus van der Plas. Kuncen uzur berbadan bungkuk ringkih itu pun bingung saat kutanya letak makam yang kumaksud. Dia akhirnya menyarankanku ke Kembang Kuning. Di sana terdata lengkap; nama dan kode makam para penghuni Peneleh. 

Di bawah sengit matahari kususuri tanah kering di antara makam-makam yang berderet rapi. Jika bukan karena penasaran yang akut, aku pasti berpikir tujuh kali untuk menyambangi tempat ini. Dalam kompleks seluas hampir lima hektar terbaring ribuan orang Belanda. Tiap makam diberi kode untuk memudahkan pencarian. Gubuk-gubuk liar berderet di sisi kiri, menempel dengan tembok dan jeruji pagar. Jemuran tergantung di makam-makam berpagar besi. Kaos, kain sarung, daster, sempak, dan kutang melambai ditiup angin kemarau. Ayam dan kambing sekehendak hati hilir-mudik, ada pula yang leyeh-leyeh di makam beratap seng.

Makam-makam itu usianya ratusan tahun. Banyak yang kondisinya mengenaskan. Di sejumlah tempat, ornamen patung malaikat telah cacat: kepala putus, tangan buntung, atau sebelah sayapnya patah. Jejak lumut kering terbakar matahari musim kemarau terlihat jelas di patung-patung itu. Beberapa makam yang menganga lebar, mengingatkanku pada adegan film horor; para penghuninya dalam kondisi berantakan menyembul keluar dari gerowong gelap itu. Konon, menurut kuncen, pihak keluarga telah mengambil dan membawa pulang jenazah ke negara asalnya. Ada pula yang nekat merusak makam itu diimingi angan-angan menemukan barang berharga di dalamnya.

***

Satu abad lebih Nicodemus van der Plas terbaring di Peneleh. Bentuk pusaranya biasa saja. Tak ada patung bidadari atau bocah malaikat menghias makamnya, sekadar penanda bahwa dahulu dia orang penting. Nisannya berbentuk kubus besar. Semen di empat sisinya telah terkelupas hingga terlihat susunan batu-bata besar di dalamnya. Bagian lain nisan itu semen kasar. Di bagian bawah makam, tepat di atas lubang berbentuk elips dengan diamater sejengkal tangan orang dewasa, tertera “B103”. Itulah nomor makamnya. Epitafnya nyaris tak terbaca dan ada retak melintang. Menatap tanggal kematian itu membuatku ngungun. Sebuah tanggal yang entah takdir atau kebetulan belaka, entah pula mesti kusyukuri atau kusesali. Tanggal itu, 51 tahun kemudian, menjadi tanggal kemerdekaan negeri ini.

Sudah saya duga kamu akan datang ke mari. Telah lama saya menunggu. Suara parau lagi asing di kuping itu membuatku terkanjat dan refleks memutar badan seratus delapan puluh derajat. Aku serasa mati berdiri. Ia tegak persis di hadapanku. Jarak kami tak lebih dari dua meter. Tubuhnya dibungkus baju lengan panjang cokelat pudar dan celana panjang putih kusam. Caping bertengger di kepala membuatku tak bisa melihat parasnya dengan jelas. Kedua tangannya disatukan mencengkeram tongkat kayu. Persis seperti fotonya berlatar sebuah candi di Sukasada.

Ia lelaki jangkung yang kerap menyeruak dalam mimpi-mimpiku. Dalam mimpi itu kami terpisah jarak yang jauh dan terhalang kabut tipis. Namun aneh, bisa kulihat jelas senyum di ujung bibirnya.

Apakah aku sedang berada dalam mimpi yang lain? Bagaimana mungkin aku bisa bertemu muka dengan orang yang sudah seabad lebih berkalang tanah? Apakah aku sedang bertemu hantu? Apakah aku sedang berhalusinasi? Keringat dingin mengucur dari pori-pori dahi dan punggungku. 

Tak peduli ketakutan dan keheranan yang tengah menjeratku, dia menunjuk batang pohon tak jauh dari tempat kami berdiri, memberi isyarat agar kami pindah ke tempat yang teduh. Seolah tersirap, kuturuti ajakannya. Duduklah, katanya begitu kami sampai di dekat pohon. Kutaruh pantat di nisan semen kasar. Dia menyusul duduk tepat di hadapanku, entah di kaki makam siapa. Capingnya di lepas hingga bisa kupergoki raut tuanya yang letih. Mancung hidungnya dan mata sipit tajam serupa elang mengincar anak ayam. Sepintas wajahnya sinis, bagai memeram segudang masalah.

Saya tidak mati, hanya tidur sepanjang waktu, cetusnya. Aku masih kehilangan kata-kata di hadapannya, si pemburu kata. Bagaimana pula aku harus menyapanya; Pandortuk, Raja Tuuk, Gusti Dertik, Balga Igung, atau meneer saja. Namun sungguh rahangku seolah terkunci.

Panggil saya Tuan, katanya sembari mengetuk-ngetukkan tongkat kayu ke tanah. Seperti cenayang dia bisa menerka isi hatiku. Dia minta minum setelah melirik tutup botol menyembul dari tas kecilku. Bagai pengembara dahaga, setengah botol air mineral dalam tempo singkat pindah ke dalam perutnya. Sembari menyeka bibir yang basah dengan punggung tangan kiri, dia bertanya adakah arak atau tuak dalam tasku. Senyumnya mencibir saat aku menggelengkan kepala.

Aku bagai terlempar ke ruang dan waktu yang salah, tapi menikmatinya. Heran dan takut yang tadi menyergap, perlahan menguap. Kami saling bertukar cerita, lebih tepatnya aku mengorek cerita darinya. Dia berkisah tentang pengalamannya lima tahun lebih di Batak, dua puluh lima tahun di Bali, berkunjung ke Lombok, selama bermukim di Jawa.

Aku terhenyak saat dia bertanya apakah aku memiliki garis keturunan dengan Abdullah atau Sandi, dua jongosnya selama di Lampung. Aku tak tahu. Leluhurku tak pernah membuat pohon silsilah. Dia bergurau meledekku, siapa tahu kau keturunan jongos yang hidup di negeri jongos.
***

Dari kamar di lantai paling atas, aku menuruni anak tangga menuju ruang resepsionis. Beberapa mobil diparkir di halaman penginapan. Aku terus saja melangkah keluar. Kedai di depan hotel yang semalam penuh lelaki ngobrol ngalor-ngidul, kini hampa. Di seberang jalan, sungai berair pekat keruh itu seolah tak mengalir. Sesuai janji kemarin, siang ini aku datang lagi menemui Nicodemus van der Plas.   

Aku teringat seekor tikus got yang kulihat di kedai malam tadi. Ia terseok-seok menyusup ke balik timbunan sampah, menghindari remang cahaya lampu simpang jalan. Dia susah payah mengusung tambun tubuh dekilnya. Memergoki pangkal ekornya telah memutih, aku teringat celoteh seorang teman bahwa tikus macam itu menandakan dia sudah tua. Aku barangkali serupa tikus got itu.

Di simpang jalan, aku belok kiri. Bangunan-bangunan tua berjajar di kiri kanan jalan bagai disepuh cahaya matahari. Di ujung jalan yang sedikit menikung, aku menyeberang ke kanan dan terus melangkah. Gerbang tinggi warna abu-abu itu bagai batas dua dunia. Letaknya menjorok ke dalam, nyaris luput dari pandangan. Diapit puskesmas yang sepi dan pangkalan pasir yang berdempetan dengan warung sederhana. Sebelum memasuki gerbang, ada plang keropos berkarat, juga tiang bendera yang sebatang kara. Di sisi kiri gerbang tegak bangunan berbentuk kotak. Pintu dan empat jendelanya tertutup rapat. Di sisi kanan, bangunan serupa garasi melompong. 

Bagaimana tidurmu semalam? Berisik dari kamar sebelah mengganggumu?! Bahunya berguncang menahan tawa yang makin keras. Kuedar pandang, cemas ada orang lain di sekitar kami yang heran mendengar tawa siang bolong di tengah kuburan. Tengah malam tadi, di antara berisik kipas angin yang menempel di atas pintu, telingaku menangkap erang campur desah dari balik tembok.

Dia mengajakku berjalan-jalan menyusuri kompleks Peneleh. Serupa pemandu wisata, di beberapa makam dia jelaskan siapa penghuninya, latar belakang, dan perannya semasa era kolonial. Aku teringati kemarin dia menanyakan tuak atau arak. Benarkah dia pergi karena sakit atau terlalu banyak minuman dalam perutnya?

Percayakah kamu bahwa saya mati karena disentri?! Setahuku memang demikian adanya. Dia tersenyum penuh rahasia. Ah, dalam sejarah, mungkin saja ada yang harus disembunyikan rapat-rapat; termasuk ihwal kematian, demi menjaga nama baik seseorang atau pihak lain. Ketakutan terbesar saya adalah jika hidup lebih lama hanya untuk menyaksikan penjajahan yang lebih gila dari yang telah saya lihat.
Dia mengangguk saat kutanya adakah yang pernah menemuinya di Peneleh. //Hanya memotret makamku//, cetusnya. Setelah bertahun-tahun, baru kau datang mencariku, sambungnya lagi. Kepalanya menunduk perlahan saat menuturkan kalimat itu. Pada akhirnya semua orang harus menjalani hidup sendiri, katanya dengan nada masygul. Jangankan orang lain; keturunan-keturunannya, generasi ketiga atau keempat dari tiga adik dan sepupu-sepupunya, tak banyak yang tahu tentangnya pun tak tahu di mana kuburnya.

Bagai menceracau siang bolong, kudedahkan perihal bangsa kami yang terlalu mabuk merayakan lupa hingga orang sepertinya dilupakan, tak dikenal, apatah lagi dihargai. Kuceritakan perihal ribuan, mungkin puluhan ribu, warisannya yang kini tersimpan di negaranya. Juga tentang apesnya nasib hampir enam ratus halaman kamus daerahku yang tak keburu dicetak. Air mukanya sedikit berubah, berangsur terkekeh-kekeh. Daerahmu, bahkan negaramu, selalu membangga-banggakan harga diri, namun bingung bagaimana menegakkannya.Aku tertegun mendengar sindirannya yang menohok.

***

Kami telah kembali ke rumahnya. Duduk berhadapan, dipisah jalan antara lajur-lajur makam. Kapan kau pulang, tanyanya sembari mengetuk-ngetuk ujung tongkat ke tanah. Besok siang, jawabku. Dia mengangguk. Aku diminta mencari jejak Sandi dan Abdullah, juga bekas rumahnya di tepi sungai Seputih. Aku tak sanggup berjanji. Alangkah jauh masa itu.

Petang telah datang. Dia bangkit dan seakan hendak pergi ketika aku ingin mengungkit beberapa ihwal pribadi yang sejak kemarin ragu kutanyakan. Benarkah hingga akhir hayatnya dia tak menikah? Siapa perempuan yang kerja di rumahnya hingga saat dia pergi?

Kau terlalu banyak tanya. Sekarang pulanglah, sebelum saya pukul dengan ini tongkat. Aku menelan ludah mendengar gertak dan usirnya. Kami berjabat tangan, tanpa janji bertemu kembali.

Melangkah meninggalkan Peneleh, tak ada orang lain di sekitarku. Bayang batang pohon memanjang di jalan setapak. Daun-daun kering berserakan.  Kudorong gerbang yang belum digembok. Derit ngilunya bak rintihan ganjil dari abad-abad silam. Kuacuhkan hati kecil yang ingin menengok ke belakang, ke arah makam-makam itu. Seperti ratusan pasang mata mengintai di belakang punggung.  Kubayangkan sebentar lagi patung-patung di dalam sana menggeliat lalu melayang-layang di sekitar pemakaman; meratap mencari sayap, kepala, atau tangannya yang raib.

Daerahmu, bahkan negaramu, selalu membangga-banggakan harga diri, namun bingung bagaimana menegakkannya. Kalimat sinis Nicodemus van der Plas terngiang lagi. Kalimat yang akan kubawa pulang dan selalu kuingat. Ah, lupa semakin dalam, semakin karam…

Lampung, 2012-2014


Catatan:1. Nicodemus van der Plas adalah nama pena Herman Neubronner van der Tuuk, ahli linguistik sejumlah bahasa daerah di Indonesia. Ia yang pertama kali membuat kamus/daftar kata bahasa Batak, Bali, Lampung, Minahasa, Dayak, Sasak; juga mengeditori kamus Melayu. Ia orang Eropa pertama yang mengunjungi danau Toba. Meninggal 17 Agustus 1894, dimakamkan di Pemakaman Peneleh, Surabaya.   


Fajar Sumatera, Jumat, 12 Juni 2015

No comments:

Post a Comment