Friday, June 5, 2015

Tumang

Cerpen Isbedy Stiawan ZS


MATAHARI tidak begitu menyengat.  Sungai yang membelah wilayah jadi dua bagian: way  kiri dan way kanan, arusnya amat tenang. Ikan-ikan, terutama gabus, baung, dan jenis lainnya, berenang di permukaan air.

Kami adalah satu puak  yang berdiam di tepi sungai ini. Persisnya di sekitaran Tanggo Rajo yang megah. Sebuah bangunan untuk prosesi adat, bagi puak . Kami hidup berjejer membelakangi sungai.

Inilah awal kampung kami. Sebuah kampung yang dititiskan lahirnya seorang raja bernama Minak Mangkubumi. Dari Minak Mangkubumi ini kemudian melahirkan tiga putra. Satu lelaki yang diwariskan segumpal tanah mendiami Pagardewa, namanya Minak Kemala Bumi yang melanglangbuana ke Pesagi, Banten, hingga Mekah.

Putra satunya lagi yang diwariskan perhiasan kemudian hijrah ke Panaragan, untuk melahirkan puak yang lain. Sedangkan satu putra lainnya mendapat warisan besi menetap di Menggala. Karena itu, Pagardewa, Menggala, dan Panaragan adalah satu saudara. Namun dipisahkan oleh sungai yang membentang dan amat lebar.

Sungai bagi kami adalah kehidupan, sepertinya tanah sebagai ladang bertanam. Dari sungai kami ambil ikan-ikannya dan airnya sebagian kami alirkan untuk ladang. Tanah di kampung ini amatlah keras, jadi hanya sedikit yang bisa diolah sebagai pesawahan untuk menanam padi.

Tetapi, jika kau datang ke kampung kami. Sesampai mata memandang hanya membentang kebun-kebun kopi, cengkih, dan juga pohon karet. Hasilnya diambil oleh Kerajaan Banten untuk dijual kepada pendatang dari Eropa.  Tak heran, sungai yang ada di sini dilalui kapal-kapal besar, dan singgah di dermaga-dermaga kecil untuk mengangkut rempah-rempah.

Meski Banten menjadikan kami sebagai saudara, tetaplah memanfaatkan hasil rempah dari tanah kami. Karena penghasilan dari alam di daerah ini, kemudian dijual atau mungkin pula sebagai upeti untuk penjajah demi daulat Banten.

***

INILAH Pagardewa. Bermula dari secuil lahan yang menjadi perkampungan sepuak. Menetap di tepian sungai besar dan membentang, sebagai sebuah pertemuan dari dua sungai: way kiri dan way kanan  yang sangat memesona.

Sungai Tulangbawang, itulah namanya. Amat luas dan panjang. Kapal-kapal, baik kecil ataupun besar, berselancar di permukaannya. Dari sungai ini kami hidup. Mengirim hasil ladang dengan perahu-perahu kecil ke dermaga, sementara kapal milik orang Eropa dan Tiongkok bersandar di dermaga.

Binatang buas bisa dihalau, namun jika air pasang? Berapa kampung lumat? Entah, berapa banyak lagi puak kehilangan keturunan? Begitulah. Air jika murka, tak satu pun benda dan manusia sulit mengelak.

Seperti ketika bandang besar, punahlah perkampungan. Tak bersisa, Tak ada lagi yang bisa dibawa pergi. Rumah-rumah warga berubah jadi perahu. Hanyut entah ke mana. Berapa orang turut dibawa arus, hanya meninggalkan nama.

Inilah akhir perkampungan yang berdiam di sekitar Tanggo Rajo kini. Tak ada pilihan atau tahan menetap di kampung yang telah menanam ari-ari kami. Membelah sungai besar, sebelum bandang kembali bertandang.

“Kita harus tinggalkan kampung ini. Kecuali kita mati beramai-ramai di sini. Kampung ini sudah tak bersahabat lagi dengan kita,” kata seorang warga yang dituakan, seraya memunguti sisa-sisa kayu penyangga rumah.

“Tapi, ke mana kita akan pindah. Membangun kampung baru bukanlah mudah. Sedangkan di sini kita sudah punya marwah?” ujar warga lain. Ia begitu memelas. Wajahnya pasi, sebab yang selamat hanya diri dan yang melekat di badannya.

“Jangan berpikir di mana kita menetap kelak. Terpenting sekarang kita harus tinggalkan kampung ini. Bukankah bumi ini luas, dan setiap kita melangkah di situ boleh kita singgah?” balas warga yang dituakan.

Memang tak seluruh warga turut pindah. Ada yang memilih bertahan di tiyuh  yang sudah tidak ada lagi rumah setelah banjir besar.  Kampung yang porak. Mereka ingin membangun kembali setelah kehancuran. Menegakkan tiang-tiang rumah dan menjadikan perkampungan baru yang menjorok ke hujan agar menjauh dari tepian sungai.

***

SEPEKAN lebih perahu dan rakit rampung. Sepekan itu pula kami makan seadanya, sebab bahan pangan yang tersisa tak lagi seberapa. Barangkali, jika bertahan dua bulan di tiyuh yang sudah dianggap terkubur ini, bolah jadi satu demi satu warga mati.

Perjalanan harus dimulai. Saat pagi belum merekah kami mesti sudah di atas perahu ataupun rakit, agar sampai di seberang sebelum matahari tenggelam. Supaya para ibu bisa menanak makanan, dan kami tidak kelaparan.

Bagaikan seorang suci, lelaki itu berdiri di ujung rakit. Ia memimpin upacara kecil sebelum kendaraan sungai ini bergerak.

“Meski berat untuk tidak mengingatnya. Tetapi, kita harus tinggalkan. Mencari wilayah baru, membangun kampung yang baru. Memulai hidup dari mula. Bukankah kita ada dari tiada? Anggaplah kita ini belum ada, sebagai tiada. Di tiyuh baru, kita baru akan ada,” katanya lagi.

Warga yang lain hanya menunduk. Bibirnya bergerak, seperti hendak berucap; ataukah berdoa? Mencermati setiap kata yang diucapkan lelaki yang dituakan itu. Ah, tepatnya dia tetua dari kaum yang hendak pindah ini.

“Suatu masa jika kita ingin pulang ke sini, tapi entahlah, apakah puakhi-puakhi  masih punya rindu bagi tiyuh ini? Kalau masih ada, tak apa dan sah. Karena dalam diri kita selalu bersemayam kampung kelahiran (halaman)  dan menjadi ingatan di tanah perantauan. Apalagi, kita masih punya saudara, mereka yang tak serta dalam perahu dan rakit ini. Tentu mereka akan menyediakan sedikit ruangan untuk kita istiharat jika kita bertamu, seperti juga jika puakhi-puakhi kita yang tinggal dan bertandang ke tempat kita kelak.”

Tiada sahutan. Setiap orang, hanya memandang deburan sungai dan tanah di seberang yang terlihat hanya bagai bentangan kain hijau. Di perahu dan di rakit ini, seseorang memiliki peran dan tugas masing-masing yang sudah dibagi.

“Ikuti rakit di depan, jangan terberai. Jangan melawan arus apalagi angin. Tetapi, jika terpaksa maka jadikan ajakan nurani. Itulah tanah yang mesti kita tuju,” kata tetua tiyuh itu lagi.

***

MATAHARI sejak tadi sudah hilang. Langit pekat. Sesekali cambuk api tampak di atas kepala. Para perempuan amat ketakutan, memeluk erat anak-anak. Mereka tak bisa berlindung di lengan suami atau ayahnya, sebab para lelaki bekerja melajukan perahu.

Rasi sebagai penunjuk arah ikut tertutup oleh mendung. Kapal-kapal bangsa Eropa ataupun Tiongkok melaju tanpa peduli. Aduhai, begitu heningnya di tengah arus sungai besar ini? Bayangan kematian dan sampai di tujuan silih berganti tandang dalam benak.

“Sebentar lagi kita sampai di seberang. Selamat tinggal Pagardewa, jemput kami tanah baru…” suara tetua bergetar, menggelegar di kesunyian malam.

Rakit dan perahu melamban. Mencari tepian yang aman untuk bersandar. Tali sudah dilempar dan mengait akar di tanah. Seseorang menarik tali itu pelan-pelan agar perahu bergerak merapat tanah.

Satu-satu warga meninggalkan perahu ataupun rakit. Setiba di darat, kembali mengambil air dengan cara mencelupkan tangan ke sungai dan mengusap wajah serta memercikkan air ke lidah. Setelah itu memungut sejumput tanah dikepal-kepal dan disimpan.  Apakah cara ini ajaran atau ujaran?

***

SEGERA para ibu memilah apa yang hendak ditanak. Beras decanting lalu dimasukkan di tempat untuk memasak. Tetua Tiyuh bergegas memasuki hutan ditemani beberapa warga, sekembalinya membawakan tiga potong batang pohon. Ia letakkan di tanah, membentuk segitiga. Alat memasak ia letakkan di atasnya. Sebuah tempat memasak terjerang.

Tumang dibuat beberapa tempat agar cepat menanak makanan. Sebab, satu hari lebih perut tak terisi. Ikan yang dibawa sebagai bekal sudah pula dibakar dan direbus. Sambal delan sudah tersaji. Ini makan pertama di tanah baru.

Keesokan pagi baru mencari tanah yang cocok untuk hunian dan berladang. Namun agak jauh dari tepi sungai agar pengalaman pahit terempas bandang tak lagi terulang. 

Inilah tanah baru. Kayu dipancangkan, jadi rumah-rumah panggung. Kampung pun lahir. Belantara dibuka jadi perladangan. Cukup lama kampung bagi pendatang dari Pagardewa ini tak bernama.

Anak-anak lahir, penduduk terus bertambah. Rumah-rumah panggung berjajar meski jarak antarrumah masih berjauhan. Setiap malam para lelaki bertemu, untuk mengetahui keadaan masing-masing. Atau bercerita tentang ladang dan musim.

“Kita sudah punya kampung. Syarat menjadi kampung sudah kita penuhi; ada air, ladang, rumah, dan tempat beribadah. Tetapi kalau hendak begawi menamai kampung, harus punya nama dulu,” ujar lelaki yang dituakan. Kini amatlah ringkih karena usia.

“Lalu, adakah usul untuk nama?” tanya dia lagi.

“Kalau Tumang, bagaimana? Alasannya, pertama kali kita menginjakkan kaki di sini yang kita lakukan adalah membuat tempat memasak. Ternyata makan adalah penting agar kita hidup dan menjadi manusia berguna. Itulah kenapa yang kita lakukan bukan lainnya setiba kita di sini. Aku bergegas ke hutan, memotong kayu, dan menjadikan tumang….” ucapnya. “Tapi, kalau ada usulan nama lain, silakan, kita musyawarahkan.”

Masih tak ada yang mengusulkan.

“Kalau begitu, Tumang. Ya Tumang.”

Dua hari setelah menetapkan nama, begawi adat pun digelar. Penduduk tetangga diundang, tetua adat tak bisa dialpakan.

Tiyuh Tumang ditabalkan dan disebar. Inilah perkampunga muasal warga dari Pagardewa, persisnya yang berhuni di sekitar Tanggo Rajo kini. Kerap dirajam banjir, memilih pindah ke tanah seberang. Tiyuh ini kemudian berkembang, sejalan bertambah manusianya. Nasib kami lebih baik sedikit dibanding jika masih di Pagardewa.

Jika suatu kesempatan melewati Tumang dan bertanda, ingatlah pada orang-orang yang dulu pernah menetap di Pagardewa, wilayah yang kabarnya dihuni para orang sakti itu. Tetapi kemudian menjadi orang Tumang.

Sebab, darah orang-orang di sini masih mengalir dari sungai yang mempertemukan dua wilayah: way kiri dan way kanan. Jiwa yang keras karena ditempa beragam cerita para orang sakti. Tumbuh dari pancaran Kerajaan Tulangbawang yang dikenal hingga ke negeri Tiongkok.

Bandarlampung, 1 April 2015



Fajar Sumatera, Jumat, 5 Juni 2015

No comments:

Post a Comment