Friday, July 3, 2015

Kembalinya Kapal Dapunta Hyang

Cerpen Wendy Fermana


KETIKA malam kelam sempurna, kapal hantu itu muncul ke atas tanah. Bilah-bilah dayungnya mengayun depan-belakang menggerus tanah. Tak jauh dari situ, sebuah sumur tua yang sudah lama ditutup tiba-tiba menyemburkan air.

Lelaki itu mengintip dari balik gorden jendela rumah, mulutnya menganga, berkali-kali ia mengusap mata, tidak percaya dengan apa yang sedang terhampar di hadapannya. Kapal itu memancarkan sinar kuning keemasan. Cahaya terangnya yang begitu indah membuat rembulan dan gugusan bintang di langit malam itu seolah malu untuk menampakkan diri, dan lebih memilih bersembunyi dalam pelukan awan hitam pekat.

Lelaki itu menyibak gorden lalu menutupnya lagi, berulang kali. Ia berusaha meyakini hal-hal ganjil yang disaksikannya itu khayalannya belaka. Tapi itu benar-benar nyata. Angin malam berhembus halus menegakkan kuduk. Napasnya tersenggal demi melihat semua itu.

Guruh menghentak-hentak di atap rumah, petir berkilat-kilat di matanya. Di luar, air mulai turun. Mulanya hanya tetesan dan tak lama kemudian hujan menderas. Ia merasa malam ini akan sangat panjang.

Terdengar suara gaduh di luar, dari semak belukar di belakang rumah, suara-suara keras dan lantang menggema, beradu dengan derap kaki-kaki melangkah di lantai papan. Di kapal besar bercadik ganda tersebut, bayang-bayang itu tampak sedang berkemas, menyiapkan segala sesuatu. Mereka berbagi pekerjaan, ada yang tengah sibuk menggulung tali-temali dan menyiapkan layar. Ada yang sedang bersusah-payah berusaha mengangkat jangkar, bahkan beberapa bayangan lain sedang mengepaskan tabung-tabung raksasa hitam yang menyerupai meriam di sisi-sisi kapal. Mereka bersiap begitu keras bagai hendak melakukan penjelajahan yang jauh, bagai  bersiap menghadapi peperangan yang besar.

Air naik, nyaris menyentuh teras belakang rumah. Lelaki itu gelisah. Hujan masih turun deras, tak menunjukkan tanda bakal segera reda. Kapal itu bertambah gaduh. Sinar keemasan yang terus memancar dari sekujur kapal lambat-laun membuat keadaan di atas geladak kapal terang benderang oleh pandangan mata lelaki itu.

Bola matanya beralih lagi menyaksikan berbagai macam rupa orang di atas kapal. Serombongan laki-laki berbadan tegap sempurna berkulit gelap terbakar matahari, beberapa orang berkulit sawo matang, dan seorang tua berkulit kuning bengkoang dengan kelopak mata sipit. Yang terakhir ini sedang berdiri sendirian di antara ramai geladak. Dia tampak tak acuh dengan yang lain. Matanya menjelajah ke mana-mana. Hingga pada suatu waktu, pandangan mata itu tertumbuk pada mata laki-laki yang berada di balik jendela ini.

Mata itu kecil di kejauhan, akan tetapi dirasanya tatapan itu begitu tajam mengiris bening matanya. Si lelaki di balik jendela terkejut. Dengan mata perih ia mundur satu langkah, dua langkah, tiga langkah, kakinya tersandung sesuatu. Ia terjatuh.

***

IA merasa sudah tidur lama sekali. Ketika mata terbuka, ia mengira hari telah pagi. Tapi ternyata tebakannya salah, matahari belum jua naik di ufuk timur. Waktu itu, gelap masih membungkus langit. Dan ia terkejut bukan main. Tidak tahu bagaimana caranya, sekonyong-konyong ia sudah berada di geladak kapal yang tadi diamatinya. Ia terbaring di antara berkarung-karung kapur barus, kayu gaharu, berpeti-peti cengkeh, pala, kapulaga, kulit hewan buruan, gading gajah dan tanduk binatang, serta berkeping-keping koin emas.

Kuduknya meremang. Aku telah diculik hantu-hantu kapal! Bagaimana aku bisa kembali? Akan ke mana aku dibawa para hantu ini? Berbagai macam pertanyaan menyeruak di pikiran lelaki itu.

Ia teringat akan cerita bapaknya berpuluh tahun lalu.

Suatu malam ketika bapaknya tengah tertidur lelap, seorang tua menyelinap ke dalam mimpinya. Orang tua itu meminta bapak untuk mengembalikan potongan kayu yang ditemukan warga dusun di bantaran sungai. Kayu-kayu yang telah berbentuk papan itu berukuran besar dan keras tapi ringan ketika diangkat. Tak pernah mereka melihat kayu semacam ini sebelumnya. Papan kayu itu sudah mereka gergaji dan susun untuk membangun jerambah, jembatan kayu sederhana untuk warga dusun menyeberangi sungai.

Bapak segera mengajak warga dusun untuk kembali membongkar jerambah dan menenggelamkan papan-papan kayu itu ke dasar sungai, pada keesokan harinya. Tentu saja warga dusun menolak bersetuju untuk melakukannya. Mereka sudah bersusah-payah untuk mengangkut kayu itu dari lumpur sungai, memotong papan demi membuat jembatan, kini harus membongkarnya lagi. “Apa sudah tak waras, hah?” Begitu seloroh mereka.

Pertanyaan mengenai waras tak warasnya bapak, terjawab dengan gelombang pasang yang menghempas dusun dan meluluh-lantakkan jerambah. Kayu-kayu itu roboh dengan sendirinya oleh kekuatan alam. Orang sedusun terperangah. Semua tanah, ladang, kebun dan pekarangan rumah mereka tiada terkena dampak apa-apa. Padahal gelombang itu besarnya bukan main hingga bisa merobohkan jembatan kayu buatan mereka.

Lelaki itu mengarahkan pandangannya ke sepenjuru mata angin. Apakah orang tua itu yang menemui bapaknya dalam mimpi-mimpi di masa lampau? Ia tercenung di satu sisi kapal.

Bertahun-tahun setelah peristiwa air sungai yang menghempas jerambah dusun. Para peladang yang tengah mencangkul lahan yang mereka garap menemukan tembikar, keramik dan berbagai benda kuno lain. Mereka tercengang, tapi mulai saling berbagi barang.

Alangkah gembiranya mereka pulang membawa benda antik peninggalan zaman kerajaan. Bapak merasa tak tenang. Mereka membayangkan benda itu bertuah dan bisa membuat kaya. Namun, bukannya bertuah yang mereka dapat. Malah tulah yang menyerang mereka. Sepekan kemudian kampung itu di terjang banjir bandang. Ladang dan kebun penduduk rusak. Hewan ternak berupa sapi, kambing dan ayam lenyap diseret banjir, karena sungai yang tiba-tiba meluap.

Tak sampai di situ, masing-masing penggali itu menderita penyakit misterius dengan masing-masing mereka mengeluh tidak enak badan. Mereka saling bertukar cerita. Dalam tidur-tidurnya, mereka disambangi seorang tua berjubah hitam dengan seekor harimau piaraan. Muka orang tua itu merah saga seperti orang menahan amarah. Sang harimau berkali-kali mengaum, menakut-nakuti, seakan ingin menyerang mereka. Orang tua itu menahan piaraannya. Ia tak berkata-kata pada mereka, tapi mereka paham bahwa mereka telah berbuat salah.

Esoknya tanpa dikomando, para peladang yang menggali dan mengangkat harta karun penuh tulah itu telah berkumpul di ladang. Mereka mengulang kerja menggali dan menguburkan kembali benda-benda yang sudah mereka ambil. Petaka itu selesai, tak ada lagi mimpi-mimpi ganjil yang datang.

Ia bangkit, kapal itu sudah membawanya menyelusuri sungai lebar dengan deretan pohon bakau di sisinya. Ia tak tahu sudah berapa jauh kapal ini meninggalkan rumahnya.

Beberapa ular hijau melingkar di pokok pepohonan, bersiaga menyerang. Ia menghindar dan ular-ular itu mendadak menghilang. Kapal kemudian melayari muara sungai penuh buaya ganas yang beringas mempertontonkan taring-taringnya yang tajam. Akan tetapi, seketika pula kawanan buaya itu masuk kembali ke dalam air setelah seorang tua merapalkan jampi-jampi yang membuat udara berubah asing. Angin bertiup, kapal berlayar kencang. Ia merasakan sesuatu menerpa lambung kapal. Ia tak menyangka kapal itu telah berlayar di samudera luas dengan ombak yang menghempas-hempas. Tubuh rentanya terasa amat lelah. Ia limbung ke sana ke mari, mengikuti gerak kapal.

Nyeri terasa di sepanjang badannya, hingga ke tulang-tulang. Perasaannya ngeri tak terbantahkan. Seperti masuk dalam pusaran waktu, siang-malam berlalu begitu cepat, berputar. Hari-hari berganti, ia begitu kaget menatap langit biru cerah yang mendadak berubah menjadi merah. Ia tak pernah menyaksikan merah senja semerah darah seperti hari ini. Ia dengar dan saksikan burung layang-layang ber-koak begitu nyaring, terbang landai nyaris menyentuh permukaan laut. Lalu kawanan burung itu benar-benar jatuh, hilang ditelan gelombang.

Di pelupuk matanya telah berbaris bala tentara yang perkasa. Bersiaga dengan tameng dan parang yang tajam. Dan di langit semua berlepasan, anak-anak panah sudah melesat memburu. Bagai burung ababil pembawa batu neraka, mereka menghunjam kapal, merobohkan prajurit-prajurit gagah berani di kapal yang dituju. Tubuh-tubuh petarung itu bergelimpangan. Darah menggenang di kapal lalu tumpah ke laut, membuat laut kini ikut menjadi merah. Hari ini semua memerah, semua membara.

“Seraaang...!”

Dentum ledakan dan bau hangus terbakar menyeruak ke hidungnya bercampur dengan aroma anyir darah.

Suara komando pengobar semangat terus diteriakkan.

“Demi Maharaja Dapunta Hyang! Demi Swarnadwipa! Seraaang...!”

Prajurit-prajurit yang tersisa mengacung-acungkan parang ke atas seperti hendak menusuk langit. Mereka tak gentar sedikit pun untuk menghadapi musuh yang menyerang. Semua dilakukan demi kejayaan armada penakluk samudera. Mereka kembali berbaris membentuk samacam barikade penghalang. Armada kapal musuh mendekat. Prajurit-prajurit menghunuskan tombaknya, merangsek memulai pertempuran. Korban kembali berjatuhan.

Sang laksamana saling berhadapan di antara haluan. Petarung itu saling adu kelihaian memainkan senjata di tangan, melompati prajurit pembela yang sejati bergelimpangan mati. Kedua laksamana saling beradu, satu lawan satu. Terjadilah pertarungan antara parang dan pedang.

Tajamnya logam senjata itu berkilat di mata. Mereka sama-sama kuat. Sama-sama tak mau kalah. Sama-sama tak mau mengalah. Sang penyerang berwajah licik, menyabetkan pedang tajam begitu cepat. Sang laksamana salah tebak. Ia terguling, dadanya tertusuk ujung pedang. Semuanya berlangsung cepat. Langit yang merah menjadi semakin merah. Makin pekat lalu menjadi hitam. Petir menyambar-nyambar, kilat menyayat-nyayat penglihatan.

Lelaki itu sesak, terengah-engah bernapas. Ia dengar tawa panjang dari sang penyerang yang masih menghunuskan pedang di tubuh laksamana armada kapal itu.

“Kek... Kakek... lihat!” cucunya berseru, membuatnya kembali tersadar. “Kapal hantu itu menarik jangkar....”

Ia bangkit dari duduknya. Ia tatap tanah di belakang rumahnya. Tanah yang dulu rawa-rawa, tanah yang dulu hanya beberapa langkah dari aliran sungai, kini telah ditimbun, telah jauh sekali dari aliran air.

Apa maksud semua ini? batinnya dalam hati. Ia pandangi lagi tanah belakang rumah yang menunggu perintahnya, siap dipancang fondasi-fondasi besi cakar ayam untuk membangun proyek kompleks perumahan. Apakah orang tua itu datang untuk memberi peringatan?

“Kakek, tanah itu jadi seperti lautan karena hujan ini....”

Lelaki itu menunggu, akankah mereka berlayar?

Di telinganya terngiang lagi suara itu. Suara lirih laksamana yang tertusuk pedang sang penyerang, sebelum matanya benar-benar tertutup. Suara sumpah yang menggelegarkan langit dan bumi. “Aku akan kembali, merebut kapal dan lautku....”

Di petak ubin, lelaki itu melihat sebuah bayangan berjingkat mendekatinya. Jenjang lehernya mendadak terasa dingin. Sebilah logam tajam telah mengayun menebas batang lehernya, sebelum ia sempat melihat sosok perenggut nyawanya.

Palembang, Mei—Desember 2012


Fajar Sumatera, Jumat, 3 Juli 2015

No comments:

Post a Comment