Friday, July 10, 2015

Ruang Terakhir

Cerpen Fitri Yani


AKU sudah berada di ruangan ini hampir dua jam sejak petugas memindahkanku dari ruang sebelumnya. Kakiku terasa linu dan kepalaku terasa pening karena udara begitu dingin dan hampir dua belas jam mereka belum memberi kami makan. Aku lebih menyukai ruangan ini dibanding ruangan sebelumnya. Memang di sana tidak sedingin di sini, tapi di sana aku kesepian dan merasa kesal karena tak ada lawan bicara. Dan di ruangan ini setidaknya ada tiga orang tahanan yang bernasib sama sepertiku.

Laki-laki kurus yang duduk di sudut ruangan bernama Bidin, ia telah menusuk lima anak kecil di bawah jembatan dengan pisau dapur dan ia dianggap setengah gila. Sementara dua laki-laki lainnya kakak-beradik Umar dan Amar adalah mantan tukan kebun yang dihukum karena telah membunuh seluruh keluarga majikannya—Kini mereka sama-sama mengenakan baju biru, bibir salah satu dari mereka hitam seperti habis dipukul. Amar yang bertubuh agak gemuk terus-menerus menekan ujung bajunya.

“Kau baik-baik saja, Amar?” tanya Bidin.

“Aku tidak apa-apa,” kata Amar.

“Aku harus mengatakan kalau kau kelihatan lebih tua,” tambah Bidin lagi.

Amar tak ingin memperdulikan kata-kata lelaki berhidung besar di depannya, meski terdengar sebagai olok-olok atau ajakan untuk bercanda. Ia mengubah posisi duduknya lalu berkata, “Apa penyesalan terbesar dalam hidupmu.”

Bidin menatap lurus ke arah Amar, memikirkan pertanyaan itu, lalu, “Aku tidak tahu,” katanya. “Aku tidak menyimpan banyak penyesalan.”

Umar yang semula tidak mempedulikan percakapan itu mulai membuka suara, “Jika pertanyaanmu ditujukan padaku, apa yang membuatku menjadi orang yang paling tidak bahagia, kurasa kau sudah tahu jawabannya.”

“Ya, kita semua memang tahu hal itu.”

“Bukan karena sel ini, atau karena kakiku yang cacat,” kata Umar, “tapi apa yang tak lama lagi akan aku hadapi.”

“Lalu apa yang akan kau lakukan jika ternyata kau dibebaskan?”

“Aku tidak tahu, tidak ada. Sama sekali tidak ada.”

Aku terkejut mendengar Umar berkata seperti itu. Aku sudah mengenalnya sejak beberapa tahun ini, dan setahuku ia selalu berusaha agar hukumannya diringankan. Lalu ia menatapku, “Kau tahu dengan cara apa kita akan mati?” tanyanya.

“Dengan peluru,” jawabku

“Kau pernah memikirkan penangkaran buaya?”

“Belum,” kataku.

“Besok pagi mereka akan membawa kita dari ruangan ini, kepala kita akan ditutup kain hitam dan digiring ke lapangan. Rumput-rumput yang masih basah akan sangat jelas terasa di bawah kaki kita,” katanya, kini ia kembali mengubah posisi duduknya, “mereka akan meledakkan pistol tanpa peluru, menulis berita kematian, lalu membuang kita ke penangkaran buaya. Begitulah kita akan mati.”

“Kurasa tidak,” kataku. “Akan banyak saksi yang datang.”

“Tak akan ada yang sudi menyaksikan kematian orang-orang seperti kita,” kata Bidin.

Amar menambahkan, “Aku juga sudah mendengarnya dari seorang petugas keamanan, besok pagi mereka akan menjadikan kita makanan buaya-buaya lapar.”

Kini kami semua terdiam. Cahaya bulan menembus celah ventilasi udara di atas dinding tempat kami ditahan, aku bisa melihat langit bersih malam ini. Dengan adanya ventilasi itu ruang ini menurutku lebih istimewa dari ruang-ruang yang lainnya. Beberapa menit kemudian aku mengalihkan perhatianku pada Bidin, “Kau memikirkan keluargamu?” tanyaku

“Ya, aku memikirkan ibuku,” katanya, “apa kau pernah ke masjid?”

“Dulu sekali,” jawabku.

“Apa menurutmu Tuhan tahu apa yang terjadi?”

“Aku berharap Dia tahu,” kataku.

“Menurutmu Dia bisa menghentikannya?”

“Tidak. Aku tidak tahu.”

Bidin kembali diam. Sesaat kemudian ia berkata lagi, “Ibuku sudah begitu tua dan sendiri. Tapi ia selalu percaya pada Tuhan.”

“Apa kau menyimpan fotonya?” tanya Amar.

“Ya, tapi setahun yang lalu petugas keamanan merebutnya dariku lalu membakarnya. Di foto itu ibuku duduk di kursi malas di serambi rumah dan aku duduk di sampingnya.”

“Kurasa kini ia telah banyak merasakan kebahagiaan,” ujarku. “Dan malam ini sepatutnya kau berdoa untuknya.” Aku berkata demikian karena aku sedang tidak ingin suasana jadi lebih muram, meski sebenarnya aku tidak begitu suka dengan Bidin. Wajahnya terlalu bulat, sunguh tidak seimbang dengan tubuhnya yang kurus. Seluruh penampilannya nampak sangat berantakan. Saat melihatnya di ruang sidang tiga hari yang lalu dia tampak segar dan cerdas, namun kini ia nampak seperti lelaki tua yang kalah judi. Barangkali jika keajaiban datang dan ia dibebaskan, ia tak akan pernah kembali muda seperti tiga hari yang lalu. Bidin kini diam dan wajahnya berubah keabu-abuan. Ia menundukkan wajah bulatnya dan menekuk kedua kakinya.

Malam terus menurunkan tangan-tangan gelapnya, langit dari lubang ventilasi masih terlihat bersih seperti mata mayi yang baru lahir. Lalu ingatanku kembali surut ke beberapa tahun saat aku pertama kali merasakan kerasnya dinding penjara, dua kali aku mencoba melarikan diri dan selalu gagal. Saat itu hujan sangat lebat dan seorang petugas keamanan berhasil menembak kaki kananku—Setiap kali hujan lebat, aku selalu berpikir untuk melarikan diri dan malam ini belum ada tanda-tanda hujan akan turun.

Pintu sel kembali terbuka dan seorang lelaki tua melangkah masuk. Ia membawa kursi kecil dari luar dan meletakkannya di samping pintu. Ia memandangi kami satu persatu lalu mengeluarkan rokok dari saku jaketnya, “Aku membawakan rokok untuk kalian,” katanya. Suaranya pelan dan tenang. Aku berharap orang tua ini tidak menambah penderitaan kami malam ini, pikirku. “Namaku Josep, aku seorang penulis. Aku ingin memuat kisah kalian di koran,” katanya.

“Aku tidak tahu apa yang tengah anda bicarakan pada kami,” kataku.

Laki-laki tua itu menyalakan rokok dan menghisapnya pelan, ia menawarkan kami untuk merokok bersamanya, namun kami menolaknya. “Percayalah, aku hanya ingin mendengarkan kisah-kisah yang belum pernah kalian ceritakan pada siapa pun,” katanya.

“Aku tak sudi menceritakan apa-apa padamu, silahkan anda menanyakan riwayat kami pada petugas lalu pulang dan tidur,” umpat Amar.

Lelaki tua itu menghembuskan asap rokoknya. Ia terus memandang kami dengan seksama. Warna matanya tampak putih, seputih giginya, seputih rambutnya.

Bidin mengetuk-ngetukkan jarinya ke lantai, menimbulkan suara berisik, sementara Amar dan Umar kembali sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Laki-laki tua itu bangkit dan menghampiri Bidin, namun Bidin tak peduli. Aku mencondongkan tubuh ke belakang agar bisa mengawasi gerak-geriknya dengan sudut mataku. Kulihat ia mengelap keningnya dengan sapu tangan lalu menjauhi Bidin. Ia duduk kembali di kursinya lalu mengeluarkan buku kecil dari saku jaketnya dan menulis sesuatu.

Kini aku merasakan ia menatapku, “Apa Anda butuh selimut?” Tanyanya.

“Aku tidak kedinginan,” kataku. Laki-laki itu terus menatapku. Tiba-tiba aku sadar dan buru-buru meraba wajahku; aku berkeringat. Kuraba tengkukku ternyata ujung bajuku basah dan lembab, di ruangan yang begini dingin aku berkeringat.

Laki-laki tua itu merapatkan jaketnya seolah udara begitu dingin. Ia seperti pemburu yang terus mengintai gerak-gerik kami. Aku mengelap keringat yang terus mengucur dari keningku. Sementara di sudut ruangan Bidin berkali-kali mengubah posisi duduknya, “Apa anda pernah melewati masa-masa sulit?” tanya Bidin kemudian.

“Ya, aku pernah melewatinya,” kata laki-laki itu.

“Apakah aku akan merasakan sakit?”

“Oh..tentu saja tidak,” kata laki-laki tua itu dengan yakin, “rasa sakit hanya akan terasa sementara.”

“Mereka akan memasukkan kami ke dalam penangkaran buaya.”

“Kurasa tidak. Mereka hanya akan menggunakan peluru.”

Bidin terus memikirkan penderitaan hingga wajahnya semakin abu-abu. Aku bangkit dari tempat dudukku. Kulihat sekilas Amar dan Umar juga berkeringat, pundak mereka merosot seperti patahan tanah liat yang meleleh. Aku menengadah, langit dari ventilasi udara luar biasa indahnya. Aku membayangkan hijaunya rerumputan di lapangan desa, kulihat diriku yang masih kanak-kanak berlari-lari tanpa alas kaki mengejar layang-layang, kucium juga aroma masakan ibu dan hardikan ayah di antara suara batuk-batuknya.  Detik demi detik terus berlalu. Tiba-tiba hujan turun. Lama-kelamaan semakin deras, membuatku semakin berkeringat. Hujan ini kini lebih dahsyat dari hujan lain yang pernah kuingat; datangnya bertubi-tubi dan memekakkan telinga. Laki-laki tua itu kini duduk di sampingku. n



Fajar Sumatera, Jumat, 10 Juli 2015

No comments:

Post a Comment