Friday, July 10, 2015

Sajak-sajak Fendi Kachonk

Belajar Menulis Puisi

Aku ingin belajar menulis namamu, puisi
dari perkara sosial sampai juga moral
mungkin dari sana tak ada lagi guncangan
tak ada pembunuhan, tak ada lagi kekacauan.

Aku ingin belajar menulis namamu, puisi
dengan kalimat-kalimat khotbah, dengan begitu
semua orang akan berduyun-duyun jadi penderma
menjadi alim seketika dan tak ada lagi tangisan
anak-anak kelaparan, pengemis dan penistaan.

Aku ingin belajar menulis namamu, puisi
layaknya orator, berorasi kalau hati sudah mati
dan yang hidup hanya sekelompok kata-kata
mengumpat, saling menghujat, saling ceramah
mungkin? Aku tak lagi menulis namamu, puisi
karena bingung, puisi diterjemahkan dari tiap sisi.

Lalu, siapakah engkau sesungguhnya, puisi?

Moncek, 070515




Hitungan Senja

Kualihkan kecemasan di beranda itu
kau dan aku duduk memandang
usia-usia pohon yang tumbuh
yang gugur.

Kau dan aku tak sama melihat
bulan dan hari yang berlompatan
di senja menuju usia malam.

Kau dan aku saling diam
mengetuk harap, menyulam waktu
dan yang tinggal hanya mimpi
bulan jatuh di talam tempat air mata.

Kau dan aku lahir
memainkan dadu dari hitungan
menambah, mengurangi.

Ada yang tak disadari berdua
jumlah uban dan keriput malam
sampai di kamar pengantin
tua lalu senyap seketika.

Moncek, 2015



Memandang ke Belakang

Berdiri di pamatang sawah
melihat yang tersisa dari bekas hujan
terhampar malam-malam berselimut awan
mendung menabuh rebana di kuncup bunga
kupu-kupu yang tersipu, malu-malu.

Sedang di bibir kering petani masih sepi
tak seperti kota yang lalu lalang
dari riuhnya hidup demi secangkir nasi
di tetek ibu susu kian kering di ujung waktu.

Berusaha sadar duduk di tumpukan jerami
melihat semua yang masih ada
keringat mengucur dari kening si gembala
basahi bumi makin sunyi.

Hidup menyeretnya semakin jauh
langkahnya makin kekar meski kadang goyang
setumpuk beban di pundak seperti gunung
menyimpan lahar atau hujan debu pada peluk rindu.

Di sini, barisan senyuman sudah tak rapi lagi.

Moncek Tengah, 4 Juni 2013



Di Puisi Mungkin Kutulis Begini

Bagai embun ia datang, melalu segenap gelisahnya
Lalu menyuling kesepian di tepian kesedihanku, dan mereka semua merasakan panas di punggung, dibakar matahari. Ada teriakan kelaparan dari lorong atau di bawah kolong jembatan. Siapa yang meniupkan seruling di tengah petang?

Aku pun menuliskan hal lain: di pasir-pasir pantai, di atas endapan garam. Matahari berbicara sangat rendah di atas kepala nelayan. Diseret, diombang-ambingkan gelombang, lalu akan terdengar sabda angin timur dan barat mengikis pasir pantai yang disebut tempat Tuhan tak menangis, tak tertawa lalu geramnya hanya berupa buih-buih itu. Senar gitar siapa yang masih siap menjadi majnun di tengah samudera?

Sebentar saja, aku meminjam ulat menjadi kepompong, menetas jadi kupu-kupu. Setelah tua, sebelum rabun. Mataku saksi atas kehilangan harapan mata Rohingya dan tembakan di kepala para pemabuk dan pengedar narkoba.

Di jalanan ini, terompet kematian merampasnya dari bibir suling juga dari denting biola. Sedang tarian para pencari masih alfa membaca langit, dan lupa tanggal.

Semacam apakah pendahulu menuliskan puisi pada arca dan lempengan prasasti? Si buta sepertiku tak mengenal tanda, hanya desir angin gelombang seperti lilitan ular dan naga yang memecahkan badan.

Tak ada tarian, tak ada lagi lagu, tak ada lagi senyuman. Musik melankolis berhenti di sini, menikmati tangisan, rintihan, keperihan dan nama Tuhan disebut berulang-ulang. Kapan aku akan diajakmu terbang dari dunia kekacauan ini?

Moncek,200515


------------------
Fendi Kachonk, lahir dan besar di Kabupaten Sumenep, Madura. Sekarang masih aktif di Komunitas Kampoeng Jerami. Puisi dan esainya dimuat di berbagai media dan menghadiri kegiatan sastra baik di dalam negeri dan luar.



Fajar Sumatera, Jumat, 10 Juli 2015

No comments:

Post a Comment