Friday, August 21, 2015

Batu Giok Kaisar Langit

Cerpen Guntur Alam
SEMALAM, Zao Ang bermimpi didatangi laki-laki tua berjanggut putih panjang. Saking panjangnya, Zao yakin janggut lelaki tua itu hampir mencapai pusar. Namun bukan itu yang membuat Zao menganggap mimpinya istimewa serta mendorongnya segera menggali tanah di samping pokok pacar cina yang ada di halaman belakang rumahnya, ketika pagi masih remang, tetapi ….

Gali di sini. Kau akan menemukan harta Kaisar Langit.
Ucapan laki-laki misterius itu yang membuatnya segera mengambil cangkul. Ibunya agak terkejut ketika melihat Zao bangun sekelam itu, terlebih mengambil pacul. Itu bukan tabiat Zao. Sejak ditinggal Bi Yu, janda yang dia cintai setengah mati itu, pemuda pengangguran yang malas bukan kepalang ini biasanya akan bangun ketika matahari hampir mencapai ubun-ubun.


“Mau ke mana?” ibunya bertanya sambil sibuk mengupas singkong yang akan dibuat keripik dan dititipkan di kantin SMPN 1 Pali1.

“Cari batu.” Zao menjawab tanpa menoleh.

“Gila batu.”

Zao tak mengacuhkan ucapan ibunya itu. Sebenarnya dia hanya menjawab asal saja. Namun ternyata ucapannya bertuah. Ketika pacul di tangannya menggali hampir tiga puluh sentimeter, mata cangkul itu beradu dengan sesuatu yang keras. Zao meletakkan cangkul dan meraba benda keras itu. Batu. Dia mengangkat batu sebesar telur ayam kampung itu dan membersihkannya. Alangkah terperangah Zao ketika menyadari batu apa yang dia temukan.

“Batu Giok Kaisar Langit.” Ucap Zao Ang dengan mata tak berkedip.

Beberapa detik kemudian, Zao menyadari bila dia sudah menemukan harta karun Kaisar Langit. Dia tergesa membawa batu yang masih belepotan tanah itu ke dalam rumah. Ibunya terkejut saat melihat Zao menggendong sesuatu di baju kaosnya.

“Apa itu?”

Zao menoleh. Badannya agak gemetar, menahan luapan kegembiraan sekaligus diserang rasa syok. Dengan bibir bergetar dia berucap, “aku menemukan batu giok Kaisar Langit, Ma.”

“Edan!” Ibunya memaki. “Kau makin gila rupanya! Daripada gila batu, kau pergi nyadap karet sana!”

Zao Ang mencuci batu belepotan tanah itu dari air dalam ember dekat ibunya.

“Zao Ang!”

Sebatang singkong yang belum dikupas melayang, mengenai kepala Zao Ang. Pemuda 20 tahun itu meringis.

“Sakit, A Ma!”

“Itu karena kau bebal,” ibunya memaki sambil menunjuk-nunjuk wajah Zao dengan pisau berkilat di tangannya. “Air itu untuk mencuci singkong. Sudah malas membantuku cari duit. Kau ingin merusak pula. Anak tak tahu diri!”

Zao Ang masih meringis dan mengusap-usap kepalanya yang terkena lemparan singkong mentah dari ibunya.

“Bila batu giok Kaisar Langit ini laku ratusan juta atau milyaran, A Ma tak perlu mengupas singkong sekelam ini. A Ma akan kubuatkan toko kelontongan. Lebih besar dari toko Koh Liem di Pasar Pendopo sana.”

Ibunya menggeram, menahan amarah. Sebelum ibunya melemparkan singkong lagi ke wajahnya, Zao tergesa mengisahkan mimpi luar biasanya semalam. Mendengar cerita Zao Ang, ibunya tak mampu berkata-kata. Perempuan itu segera mengamati batu berwarna hijau terang di tangan Zao dan tanpa dia sadari, mulutnya berucap.

“Batu Giok Kaisar Langit.”

***

MEMANG benar berita yang tersiar ke seantora Kabupetan Penukal Abab Lematang Ilir itu –yang mulanya hanya diceritakan ibunya Zao pada Bibi Lu si pemilik kantin SMP, lalu menyebar begitu cepat ke seluruh kecamatan--, Zao Ang menemukan batu giok Kaisar Langit lewat mimpi. Orang sekampungnya meyakini laki-laki tua dalam mimpi Zao sebagai Dewa Bumi. Lalu, berbondong-bondonglah orang datang untuk melihat secara langsung batu giok itu. Decak kagum meluncur dari mulut mereka saat memandang batu berwarna hijau terang itu.

“Pecahlah dalam bentuk kecil-kecil, Ang. Jadikan batu cincin, aku akan beli satu.” Pinta Koh Liem yang berperut tambun dan berkepala botak, ucapannya membuat orang-orang yang ramai berceloteh langsung senyap. “Aku ingin tuah dari Dewa Bumi dan Kaisar Langit memenuhi toko dan rumahku.”

“Aku juga, Ang.”

“Paman juga.”

“Bibi mau, Ang.”

Dan keributan demi keributan yang demikian bising, membuat kepala Zao pusing. Namun Zao senang melihat batu gioknya demikian terkenal. Tak hanya orang kampungnya yang datang, orang-orang dari kampung lain pun berduyun-duyun ke rumahnya, tetapi ibunya-lah yang demikian jeli melihat peluang untuk mengumpulkan duit. Zao terperangah saat ibunya meletakkan kotak sumbangan di dekat dirinya. Di kotak bekas mi instan yang diletakkan di atas meja setinggi lutut itu tertulis Sumbangan Sukarela untuk Melihat Batu Giok Kaisar Langit. Ditulis menggunakan spidol hitam dengan tulisan super jelek dan nyaris tak terbaca.

“Bibi Lu yang menuliskan ini, kardus mi instannya juga bekas kardus di kantinnya,” terang ibunya saat mata Zao melotot melihat benda itu. Namun senyum Zao mekar setiap ada orang yang melempar seribu, dua ribu, lima ribu, bahkan sepuluh ribu ke dalam kotak mi di sampingnya.

Tak tahu ide dari mana yang melintas, mungkin juga karena melihat kesuksesan ibunya dalam mengumpulkan receh di kardus mi instan. Atau bisa jadi karena Zao ingin batu gioknya semakin terkenal dan penawaran harga semakin mahal. Atau (lagi) karena dia mulai bosan dengan rengekan Koh Liem yang terus menerus memintanya memecah batu giok itu dan mengasahnya jadi batu cincin, hingga Zao bertanya pada Koh Liem.

“Koh Liem mau bayar berapa untuk satu batu cincin dari giok ini?”

Muka Koh Liem yang kecut lantaran Zao tak kunjung mengiyakan permintaannya, segera segar kembali.

“Dua juta, Ang,” ucapnya cepat. “Kau bisa beli motor bebek second pada Bong Ai. Kubayar tunai sekarang juga. Setelahnya kau bisa segera ke tokonya Bong Ai. Kemarin, kulihat dia membongkar satu truk motor bekas di sana.” Wajah Koh Liem yang bulat dan berminyak terlihat basah oleh keringat.

“Dua juta terlalu murah, Koh.” Tolak Zao yang seketika membuat wajah Koh Liem kembali keruh. “Asal Koh Liem tahu nih, juga yang lain.” Zao Ang memandang sekeliling, pada orang-orang yang menyesaki ruang tengah rumah peninggalan almarhum ayahnya, juga pada kepala-kepala yang bersembulan di jendela yang terbuka.

“Sebelum saya mimpi bertemu Dewa Bumi….” Zao Ang sengaja menggantungkan kalimatnya, dia menunggu reaksi orang-orang. Dan Zao kegirangan dalam hati melihat orang-orang yang tadi sedikit riuh, langsung senyap, menyimak ceritanya.

“Saya di-Ciam Si oleh Loucu Klenteng Lie Gwan Kiong malam seusai sembahyang Tahun Baru Imlek kemarin. Kata Loucu yang meramal saya, tahun kambing kayu ini, saya akan menerima berkah Kaisar Langit. Seminggu kemudian, saya bermimpi didatangi Dewa Bumi yang mengatakan ada harta Kaisar Langit untuk saya di bawah pokok pacar belakang rumah.”

Keringat di wajah Koh Liem semakin membanjir. Dia memaki-maki dalam hati karena sadar betul bila Zao Ang tengah berusaha memerasnya.

“Malam setelah saya menemukan batu giok ini, saya didatangi Dewa Bumi lagi. Dewa Bumi berkata //jangan sembarangan memecah giok Kaisar Langit, bila tak ingin karma dan feng shui buruk menghukummu.// Lalu saya terbangun dan sayup-sayup saya mendengar suara orang membaca Shen Yan Jue dengan suara yang demikian merdu. Aduh, saya merinding mengingatnya. Lihat, lihat… bulu kuduk saya berdiri.”

Zao menunjuk beberapa helai bulu roma yang tumbuh di lengannya. Dan seperti tengah bersekongkol atau memang Zao merinding sungguhan, beberapa helai bulu di tangannya itu memang berdiri tegak. Menyaksikan semua itu, orang-orang yang tadi senyap kembali ribut, khususnya orang-orang yang melihat secara langsung bulu kuduk Zao berdiri tegak.

“Jadi Koh Liem, saya tak bisa memecah batu giok ini. Mungkin bisa, asal ….” Zao ingin mengatakan asal harganya cocok, tetapi dia tak akan mengucapkan itu. “…saya sudah mendapat petunjuk dari Dewa Bumi. Bisa jadi harus ada sembahyang khusus. Dan seperti Koh Liem tahu, melakukan ritual sembahyang biayanya tak murah. Perlu sesaji yang pantas, terlebih ini untuk sembahyang memuja Yu Huang Shang Di.”

Koh Liem semakin memaki-maki Zao dalam hatinya. Dia kian sadar bila pemuda pengangguran di depannya sedang berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya dari kemurahan hati Dewa Bumi dan Kaisar Langit.

***

SETIAP melihat orang yang berduyun-duyun lewat di depan toko kelontongnya dan terus menerus mengocehkan tentang batu giok Kaisar Langit-nya Zao Ang, Koh Liem mengerang kesal. Sudah berpuluh kali dia mendatangi Zao Ang, tetapi pemuda itu tak kunjung mau membaginya sedikit saja batu giok itu. Koh Liem yakin sekali, bila dia punya batu giok itu dan menjadikannya cincin, dia akan makmur tujuh turunan. Namun bukan perkara mudah merayu Zao, terlebih ketika batu itu diyakini bisa mengobati berbagai penyakit. Koh Liem khawatir, sebentar lagi kehebohan batu giok Zao ini akan tercium wartawan tivi. Bila itu terjadi, batu giok milik Zao akan semakin terkenal dan harganya semakin mahal. Tentu saja, bila itu terjadi, dia akan semakin sulit mendapatkan batu giok itu.

Siang malam Koh Liem berpikir, bagaimana caranya agar dia bisa merayu dan membujuk Zao, tetapi dia belum jua menemukannya. Seperti petang ini, kepalanya hampir meledak karena berhari-hari hanya memikirkan batu giok Kaisar Langit milik Zao Ang. Di tengah lamunannya, mendadak Koh Liem dikejutkan dengan kemunculan seseorang di tokonya.

“Sampoerna sebungkus, Koh,” ucap Bi Yu yang mengenakkan rok ketat dan menggerai rambut hitamnya.

Koh Liem menjilat bibirnya yang mendadak kering, dia mengulum senyum. Ingatannya segera melayang pada kejadian lima tahun lalu.

Saat itu orang-orang sekampung heboh karena Zao Ang yang baru berumur 15 tahun tepergok sedang bergumul dengan Bi Yu di kandang babi milik Chun.  Sementara usia Bi Yu sudah 23 tahun dan dia seorang janda yang terkenal memang suka menggoda. Namun, tetap saja ayah Zao yang memang punya penyakit jantung, tak bisa menerima kabar buruk itu. Dia kejang-kejang saat tahu Zao Ang dibawa ke rumah kades. Lantaran Zao Ang masih dibawah umur dan Bi Yu-lah yang dianggap merayunya, dia tak dihukum, tapi Bi Yu terusir dari kampung. Setelah kejadian itu, ini kali pertama Bi Yu terlihat lagi.

Melihat wajah dan tubuh Bi Yu yang masih montok seperti dulu, Koh Liem tahu apa yang bisa membuat Zao Ang memberinya sedikit dari batu giok Kaisar Langit-nya. n

1) Penukal Abab Lematang Ilir, Kabupaten pemekaran dari Muara Enim, Sumatera Selatan.


Fajar Sumatera, Jumat, 21 Agustus 2015    
 

No comments:

Post a Comment