Friday, August 14, 2015

Sajak-sajak Eddy Pranata PNP

Melepas Kepergianmu di Stasiun

ia menyibak masalalu yang ungu, langkahnya perlahan
menjemput kedatangan nyanyimu yang basah
melepas kepergianmu di stasiun hanya dengan sekali kecupan
lalu lambaian tangan serupa jerit yang tertahan
: chin; rel yang berderit dan kereta yang meluncur
meninggalkan stasiun menyisakan luka yang tak pernah mengering

jangan terlalu yakin dengan kekuatan hati, ujarnya, chin
'kita' mesti tahudiri; walau kulihat engkau selalu melukis sketsa
rumah kaca dengan sekat dari keping mimpi
hampir setiap senja, setiap pertemuan yang menyakitkan
iya; dalam posisi yang sama, dalam hati yang sama

(ia akan menemuimu dan mengalungkan sunyi
pada kesempatan pertama, pada renungan pertama)

kepergianmu ini pagi ke stasiun menyisakan wangi
sepanjang jalan yang kaulewati
jalan hati yang jauh yang senantiasa lengang
dan esok dan lusa entah ke mana lagi dirimu akan pergi
meninggalkan hati yang kian lengang.



Telapak Kaki Bercahaya

kusalami penyair yang tengah membersihkan meja di warung makan
dengan sungguh-sungguh ia bersihkan segala remah dan kuah yang tercecer
kuikuti ia ketika ia berlalu ke belakang
ia memecah balok es mengaduknya dengan gula, teh atau jeruk
ia melayani apa yang diminta orang-orang yang datang
ikan bakar, tahu kecap, ayam panggang, daun pucuk ubi
ia perhatikan orang-orang yang makan
ia seperti bermimpi: menjadi bukan penyair
ia jadi pengusaha, jadi pegawai negeri atau jadi dosen dan pengamat politik
jadi wartawan yang bukan abal-abal
tetapi ketika orang-orang makan sudah selesai
ia sadar bahwa dirinya tetap menjadi penyair
yang harus membersihkan meja yang berselamak-peak dengan kata-kata
dengan hati yang sungguh-sungguh

seusai membersihkan meja makan
ia pun tinggalkan rumah makan itu dengan telapak kaki bercahaya.

Cilacap,  Desember 2014.



Puisi Berbau Hutan
akan sangat salah sangka bila kaukira aku suka mal atau perempuan cantik
samasekali tidak; aku lebih suka lumpur sawah dan pematang membentang
tanaman padi dan jagung atau pohon pisang
juga gericik air-bening membentur bebatuan
lalu aku takjub pada kupu-kupu yang terbang di ladang
atau burung yang melintas lalu hinggap di pohon mahoni
membuat sarang dengan tanpa kata-kata
menyemai segala cinta segala duka!

mungkin sudah selayaknya aku berumah di desa yang masih serba apa adanya
makan daun ketela, sambel terasi, dan sesekali saja ikan asin
pagi sampai sore aku bergulingan di lumpur sawah
atau menyabit rumput dan dedaunan untuk ternak kambing
di ladang aku menanam palawija dan buah rambutan
dan selalu bercengkerama dengan puisi yang selalu berbau hutan.

Cilacap,  Desember 2014.



--------------
Eddy Pranata PNP, sekarang tinggal di Cirebah pinggiran Banyumas, Jawa Tengah. Lahir 31 Agustus 1963 di Padangpanjang, Sumatera Barat.  Sehari-hari beraktivitas di  Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap. Buku antologi puisinya: Improvisasi Sunyi (1997) dan Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), dan Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015).


Fajar Sumatera, Jumat, 14 Agustus 2015

No comments:

Post a Comment