Friday, August 28, 2015

Sajak-sajak Sri Wintala Achmad

Pelajaran dari Ruang Makan

Seperti lebaran-lebaran sebelumnya. Ibu mengajarkan padaku, bagaimana membagi jiwa dengan cara membelah ketupat. Agar dapat merasakan duka saudaraku, sebagaimana dukaku. Merasakan suka saudaraku, sebagaimana sukaku. Terhidang di meja makan dengan piring yang sama. 

Di ruang makan, ibu selalu mengajarkan padaku. Lebaran bukan sekadar mengobral kata maaf seperti tukang rombeng di tepi jalan besar. Tetapi, bagaimana memberi ampunan dengan cara seorang pelayan. Menuangkan minuman di cangkir kosong seorang raja dengan senyuman paling mawar.

Sesudah piring dan cangkir kosong, aku dapatkan pelajaran dari ibu. Lebaran sekadar isyarat untuk kembali ke tanah garapan! Meninggalkan rumah yang tidak selamanya sebagai lumbung padi atau gudang teh. Acapkali menjadi penjara paling bengis. Membunuh perlahan-lahan dengan cara membiusnya.

Cilacap, 10 Juli 2015



Sajak tentang Pencurian Hati Tuhan

Seorang pencuri menerobos masuk ke rumah lewat pintu yang lupa dikunci pemiliknya. Ia tak ubah kau, yang setiap tengah malam mencuri hati Tuhan dengan takbir. Hingga kau tak pernah membela diri di ruang pengadilan, ketika Tuhan akan menjatuhkan hukuman. Memenjarakanmu ke dalam surga-Nya.

Kaulah pencuri yang selalu memahkotai jiwa dengan cahaya Tuhan. Hingga kegelapan malam kautangkap sebagai rahmat-Nya. Bukan keterangbenderangan siang yang terkadang gemar melengkungkan bianglala seusai gerimis: perangkap paling sempurna untuk menjadikanmu sebagai tawanan di negeri para iblis.

Sebelum datang fajar, kau pencuri yang telah menemukan jalan kembali. Jalan yang membentang di antara gelap dan terang serupa lingkaran zin-yang. Jalan yang menyerupai shirat. Menuju rumah singgah terakhir. Dimana, kau akan menghabiskan waktu buat bercengkerama dan bersulang dengan Tuhan.

Cilacap, 10 Juli 2015



Teras Rumah Suatu Pagi

Ketika kaubuka pintu, matahari masih tamu kemarin. Angin yang melintas tak membawa kabar dari laut, kabar dari gunung. Ia serupa tukang loper yang berlalu kencang di jalan depan rumah. Tanpa berpaling. Tanpa melempar koran ke teras.

Pagi serupa halaman koran lama yang berulangkali dibaca. Sambil mereguk kopi tanpa gula, tak kaurasakan aroma sigaret. Betapa hambar. Serupa teras rumah yang tak berhiaskan jambangan untuk tanaman bunga tujuh rupa.

Lantas, kenapa kaumenangis tanpa air mata? Sungguh kosong tatapan matamu. Pada bentang langit timur yang ditinggalkan matahari. Pada pohon ketapang di kebun yang menggugurkan daun-daun keringnya. Diranggas musim kemarau.

Cilacap, 11 Juli 2015



Kurusetra Ambang Senja

Lama sudah kita tertimbun lapisan-lapisan waktu. Bertapa serupa ular-ular dalam goa paling keramat. Mengasah keheningan menjadi sebilah pedang. Berkilauan bagaikan cahaya Tuhan di puncak Himalaya.

Dengan kuda hitam, merah, kuning, dan putih. Kita lajukan kereta menuju Kurukasetra. Menyusuri lembah kehinaan hingga bukit kecongkakan. Buat menyempurnakan Bharatayuda di padang jiwa.

Apabila senja mengisyaratkan layar jingga. Kita harus pulang ke rumah terakhir. Sesudah menancapkan pedang di gundukan tanah pemakaman. Dimana bangkai keakuan, akan kita kubur dalam-dalam.

Cilacap, 2012-2015



-----------
Sri Wintala Achmad, pernah kuliah di Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta. Menulis dalam tiga bahasa (Inggris, Indonesia, dan Jawa). Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media dan antologi bersama. Menerbitkan beberapa buku fiksi dan nonfiksi.


Fajar Sumatera, Jumat, 28 Agustus 2015


No comments:

Post a Comment