Friday, September 18, 2015

Penyair Dangdut

Cerpen Syaiful Irba Tanpaka


SETIAP kali mendengarkan lagu dangdut Alaysa ditumbuhi sayap. Mula-mula ia tidak menyadari hal itu terjadi. Lantaran ia hanya asyik bergoyang dan bergoyang. Bahkan bukan hanya tubuhnya; karena kemudian jiwanya juga terbetot untuk berjoget. Meliuk-liuk seirama gerakan anggota tubuhnya; kaki dan pinggulnya berputar-putar, telunjuknya teracung naik turun. Hingga ekstase.

Dan bila dalam keadaan serupa itu selalu saja muncul keinginan Alaysa untuk terbang. Maka seketika itu pula terbanglah ia ke angkasa raya. Dengan mengepakkan kedua sayapnya ia menikmati pemandangan yang terhampar di bumi. Ia membumbung tinggi, terus meninggi, hingga  ke negeri-negeri kayangan yang terkadang luput dari sentuhan cerita-cerita.

Lama kelamaan Alaysa mengerti kenapa ia bisa terbang. Itu tidak lain karena ia memiliki sayap. Ya! Sayap yang muncul secara ajaib di punggung belakangnya setiap kali ia mendengarkan lagu dangdut. Dan menghilang secara ajaib pula saat ia sampai kembali ke tempat semula, dimana ia berada.


Sajak-sajak Ayid Suyitno PS

Nurani

ada yang tak dapat dibohongi dan membohongi
ia adalah nurani yang menjadi penegak kebenaran

sekuat apapun kau menahan beban kebatilan
nurani selalu mengusik tidur nyenyak atau gelisahmu

di setiap waktu yang jernih tanpa tirai kebusukan
kau pasti paham bahasa suci itu sungguh menguasai

: mengilik-ilik
  mengetuk-ngetuk
  mendesak-mendesak
  menyeruak-ruak

Friday, September 11, 2015

Tumbal

Cerpen Mailani Suradi


SUARA sirine mobil polisi melengking seperti menggagahi telingaku. Puluhan polisi berseragam dan tanpa seragam mengepung rumah. Salah satu dari mereka berteriak menggunakan pengeras suara, menyuruhku menyerahkan diri. Mereka menodongkan senjata di setiap celah rumah. Padahal semua pintu, jendela, dan gorden telah aku tutup rapat. Listrik pun telah aku matikan. Seharusnya mereka tahu aku tidak akan ke luar semudah itu. Hanya dengan gertakan.

Aku masih diam di persembunyianku. Tanganku berkeringat hingga gagang pistol yang aku pegang semakin licin. Aku bersembunyi di bawah ranjang, berharap ada kemungkinan mereka mengira rumah telah ditinggalkan oleh penghuninya.

Sajak-sajak Dahta Gautama

Belajar Memelihara Bunga

Dik, tunggu aku di situ ya.. Di trotoar di dekat perpustakaan itu. Pinjamkan buku, sebelum kita bertemu. Bunga-bunga di halaman rumah kita layu, aku ingin tahu cara menggemburkan tanah, jenis pupuk dan memangkas ranting-ranting tua. Aku ingin belajar upaya memelihara bunga, agar tak lekas kuyu.

Friday, September 4, 2015

Tanah Lahir

Cerpen Ida Refliana YH


DI tanah itu kecemasan seperti udara yang dihirup tiap waktu. Cemas dari rasa takut dan sesal. Penyesalan yang menitiskan jejak begitu mayat sudah dikubur sebagai kematian sia-sia—mati pasrah di ujung peluru—mati ketika hamparan ladang tak punya ketela dan segala umbi untuk ditanam.

Kota kenangan itu bernama Ainaro. Ia tumbuh sebagai distrik yang dihiasi gunung-gunung dengan belantara hutan, tentu saja ai abu1 yang muncul menjelang senja atau saat subuh benar-benar letih dan membagi tugasnya pada siang. Dan, Maubisse, yang menyimpan tak terbilang senyum Inan2 dan sepasang mata elang Aman3. O, adakah waktu sudi mengembalikan kenangan? Aku rindu aroma rempah di kulit Inan, perempuan berpipi lesung yang sering menyulap segenggam kacang merah jadi semangkuk koto4, begitu nikmat. Tidak ada koto selezat buatan Inan. Sesungguhnya Inan bukan hanya wanita dapur yang pandai memasak. Bersama Aman ia mampu menyiapkan berbatang-batang kayu menjadi puluhan tombak atau panah dan busur (bagi desa Maubisse setiap orang wajib menguasai keduanya).


Sajak-sajak Novy Noorhayati Syahfida

Sepi

kautanam sepi di teluk waktu
pada jantung yang lebam terbakar haru
kaulah sebab kujatuhkan segala
di samudra dadamu yang bidang
di bibir pantai tanpa gelombang
biar lara miliki muaranya yang tenang
dalam tubuh sunyi tak bernada
segalamu bukan apa-apa, selain rindu

Tangerang, 7 Agustus 2015 (E)