Friday, September 18, 2015

Penyair Dangdut

Cerpen Syaiful Irba Tanpaka


SETIAP kali mendengarkan lagu dangdut Alaysa ditumbuhi sayap. Mula-mula ia tidak menyadari hal itu terjadi. Lantaran ia hanya asyik bergoyang dan bergoyang. Bahkan bukan hanya tubuhnya; karena kemudian jiwanya juga terbetot untuk berjoget. Meliuk-liuk seirama gerakan anggota tubuhnya; kaki dan pinggulnya berputar-putar, telunjuknya teracung naik turun. Hingga ekstase.

Dan bila dalam keadaan serupa itu selalu saja muncul keinginan Alaysa untuk terbang. Maka seketika itu pula terbanglah ia ke angkasa raya. Dengan mengepakkan kedua sayapnya ia menikmati pemandangan yang terhampar di bumi. Ia membumbung tinggi, terus meninggi, hingga  ke negeri-negeri kayangan yang terkadang luput dari sentuhan cerita-cerita.

Lama kelamaan Alaysa mengerti kenapa ia bisa terbang. Itu tidak lain karena ia memiliki sayap. Ya! Sayap yang muncul secara ajaib di punggung belakangnya setiap kali ia mendengarkan lagu dangdut. Dan menghilang secara ajaib pula saat ia sampai kembali ke tempat semula, dimana ia berada.


“Mungkin kamu tidak percaya. Tapi itulah yang terjadi sebenarnya” ungkap Alaysa kepadaku saat kami berdua di sebuah cafe. Aku tersenyum. Seperti yang ia duga. Aku memang tidak memiliki alasan untuk mempercayainya, kecuali menganggapnya sebagai sebuah ilusi. Ya!
Hanya sebuah ilusi!

“Aku menyadari, sulit sekali orang bisa percaya, bahkan mungkin tidak akan ada yang percaya. Begitu juga kamu, Lesly....” tambah Alaysa seakan mengetahui pikiranku. Aku kembali tersenyum. Kali ini Alaysa ikut tersenyum.

“Begitukan...?” 

“Menurutmu begitu...?”

“Mungkin...”

“Berarti kamu masih berharap ada orang yang mau percaya, kan?”

“Ehmmm...”

Alaysa tercenung. Matanya yang indah menerawang. Kemudian ia menarik nafas panjang.
 “Barangkali aku memang harus membuktikan kalau hal itu benar-benar terjadi” Alaysa seperti bergumam kepada dirinya sendiri. Aku hanya diam menatapnya. Mencoba menduga-duga apa sebenarnya yang terjadi pada diri Alaysa. Ya! Mungkinkah ia sedang mengalami halusinasi. Atau ada persoalan pribadi yang membuatnya depresi. Atau ia tengah menghadapi masalah keluarga yang cukup pelik. Atau...? Entahlah! Aku sungguh-sungguh tidak memahami. Sebagai teman; aku mencoba menjadi pendengar yang setia. Setidak-tidaknya agar ia merasa lega bahwa masih ada orang yang bersedia dijadikan tempat curhat. Dengan begitu aku berharap Alaysa baik-baik saja.  

***

Hari-hari berikutnya aku selalu mendapatkan cerita yang sama dari Alaysa. Tentang lagu dangdut, tentang sayap yang tumbuh dan menghilang tiba-tiba dipunggungnya, tentang negeri-negeri kayangan yang terkadang luput dari sentuhan cerita-cerita. Hingga suatu ketika ia sengaja meneleponku; mengajak bertemu.

“Di cafe, ya..., tempat biasa...”  Alaysa menegaskan.

“Ya..., ya....”

“Ada surprise buat kamu”

“Surprise?”

“Ya iyalah. Pokoknya aku tunggu!”

“Ya..., ya...”

Kemudian yang kudengar hanya suara tut...tut...tut..., tanda Alaysa memutus percakapan. Aku menduga-duga; kejutan apa yang akan diberikannya? Pertanyaan ini terus menggelitik benakku. Tapi sampai memasuki cafe aku tidak mendapatkan kemungkinan jawabannya.
Alaysa sudah datang lebih dulu. Ia senyum-senyum melihat kedatanganku. Tanpa sungkan aku menarik bangku di depannya dan duduk.

“Jadi penasaran! Mau dikasih kejutan apa sih, Bu?” ucapku tanpa memberi kesempatan ia  menyapa.

Alaysa malah tertawa. Lalu ia mengambil buku dari dalam tasnya. Membuka lembaran-lembaran buku itu. Dan berhenti pada halaman yang ia tuju.

“Aku ingin kamu mendengarkan...!” pintanya

“Cuma mendengarkan?”

“Sementara itu, setelahnya kamu boleh berkomentar!”

“Baiklah, Ibu Ratu Alaysa Putri Pradana...” suaraku menirukan gaya jaman kerajaan tempo dulu. Alaysa tersenyum. Namun kemudian ia tampak serius. Membenahi letak duduknya, memperbaiki caranya memegang buku. Ia membaca:

Sayap-sayap dangdut menerbangkan aku ke negeri cerita
Tanpa kata-kata. Tanpa tegur sapa. Membumbung tinggi
Dibasahi mimpi. Keringat musim semi. Aku bidadari!
1000 tahun. Sekejap mata kujalani. Percintaan sunyi
Tanpa mawar melati. Tanpa hari-hari. Aku bernyanyi
Menulis puisi. Airmata duri. Yang... Tak bisa kau pahami

Aku memberi applaus selesai Alaysa membaca. Ia juga bertepuk tangan. Wajahnya terlihat ceria.

“Bagaimana?” 

“Ehemmm..., keren, kereeen...” ucapku sambil mengacungkan kedua jari jempol.

“Apanya yang keren, Bu. Puisinya, atau cara aku membaca?”

“Dua-duanya, dong!”

“Bener, nih?!”

“Ga guna juga aku boong keles...”

Alaysa tertawa. Akupun tertawa.

“Jadi ini yang kamu maksud surprise?!” kataku

Alaysa mengangguk.

“Apanya yang surprise?”

“Dengar ya, Lesly..., sekarang aku bisa menulis puisi. Dan puisi-puisi dalam buku ini, muncul seperti wangsit. Bagai ada suatu kekuatan besar yang menggedor-gedor diriku untuk menuliskannya...”

Alaysa terdiam sesaat. Matanya yang indah menerawang. Kemudian ia menarik nafas panjang. “Lesly..., itu terjadi setiap kali aku mendengarkan lagu dangdut. Kemudian secara ajaib punggungku ditumbuhi sayap. Kemudian hasratku untuk terbang tidak tertahan. Lantas akupun terbang, dan sampai di negeri-negeri kayangan yang terkadang luput dari sentuhan cerita-cerita. Negeri yang indah itu, yang ditumbuhi pepohonan kata yang subur. Pohon dengan buah warna-warni yang ranum dan menggiurkan. Aku suka memetik buah itu dan memakannya. Maka jika hal itu kulakukan, seketika ada suatu kekuatan yang menggedor-gedor diriku untuk menuliskannya menjadi puisi. Dan aku terus menghimpunnya dalam lembaran buku ini” suara Alaysa terdengar dalam

Sungguh, aku terpukau mendengarnya. Betapa tidak! Aku membayangkan pohon kata yang tumbuh dengan buah warna-warni yang ranum dan menggiurkan.

Menurut Alaysa pohon kata itu menjulang serupa gunung hingga menembus langit negeri itu. Karenanya hanya orang-orang yang punya sayap saja yang bisa memetiknya. Lalu buahnya;  bentuk dan rasanya tidak seperti buah-buahan yang ada di dunia ini. Sebagaimana buah-buahan yang biasa kita kenal sehari-hari. Lantaran bentuk dan rasa buah dari pohon kata itu dapat berubah-ubah setiap waktu. Perubahan yang dapat terjadi dalam sepersekian detik. Sehingga, kalaupun ada dua orang yang memetiknya pada saat yang bersamaan, buah yang didapat; bentuk dan rasanya belum tentu sama. Ya!

Alaysa tampak lepas bercerita. Dengan berseri-seri ia menatap tajam ke arahku. 

“Lesly..., sekarang aku tidak peduli lagi, apakah ada orang yang mau percaya atau tidak dengan semua peristiwa yang kualami ini. Aku tidak peduli. Tidak juga kau...” ungkap Alaysa kemudian.

“Karena aku sungguh-sungguh menikmatinya. Aku menikmatinya, Lesly...”

***

Entah berapa lama kemudian aku tidak bertemu dengan Alaysa. Kecuali sesekali berkomunikasi lewat hape. Saat ia mengabarkan kepergiannya ke ibukota. Saat ia memberi tahu bahwa ia sudah bekerja sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan. Saat aku kangen dan menanyakan kabarnya. Dan beberapa saat lainnya. Namun dari  semua itu tak satupun ia menceritakan tentang lagu dangdut, tentang sayap yang tumbuh dan menghilang tiba-tiba dipunggungnya, tentang negeri-negeri kayangan yang terkadang luput dari sentuhan cerita-cerita. Begitu pula aku. Serasa enggan untuk membicarakannya.

Sebab aku khawatir akan melukai perasaannya. Lantaran kabar yang kudapatkan dari saudaranya bahwa kepindahan Alaysa ke ibukota disebabkan perceraian orang tuanya. Konon keputusan itu ia ambil sebagai sikap penolakan. Hingga kuliahnya terbengkalai.

Sebagai anak sulung; ia bisa mengerti, tapi tak bisa menerima(1) perpisahan bapak dan ibunya. Maka ketika ia diminta memilih ikut siapa. Ia tidak memilih keduanya. Iapun tidak mau mengomentari ketika dua adiknya, Rama (17 tahun) dan Riska (14 tahun), lebih memilih ikut ibunya.

Alaysa nekad pergi ke ibukota. Berbekal alamat temannya semasa esema. Beberapa bulan tinggal menumpang di rumah temannya itu, hingga kemudian dia mendapatkan pekerjaan sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan. Dan kabar terakhir yang kudengar dia sudah punya tempat tinggal sendiri di sebuah apartement.  

“Halo..., ini Lesly, kan?” suatu ketika Alaysa meneleponku

“Ish, dia ini. Ya iyalah, nomorku belum ganti, Bu!”

“Hehehe..., becanda, Bu”

“Tumben telpon aku, mo curhat lagi?”

“Bukan, Bu! Tapi memang ada hubungan sih dengan lagu dangdut, dengan sayap yang tumbuh dan menghilang tiba-tiba dipunggungku, dengan negeri-negeri kayangan yang terkadang luput dari sentuhan cerita-cerita”

“Jieee..., ya udah ceritain. Jangan bikin aku mati penasaran, hahaha...”

Kudengar Alaysa juga tertawa.

“Aku mau ngundang!”

“What...? Mau ngundang? Kamu mau menikah”

“Hahaha..., bukan! Aku mau mengundang kamu menghadiri peluncuran buku puisiku”

“Puisi-puisi dari negeri kayangan itu. Apa judul bukunya?”

“Iya..., iya, Bu. Judulnya Penyair Dangdut. Kenalanku yang menerbitkannya”

“Wah! Mau dong...., tapi...”

“Tapi apa, Bu?”

“Aku ga punya cukup uang untuk ke tempatmu”

“Tenang..., Lesly yang manis. Aku yang tanggung biaya keberangkatan dan kepulanganmu”

“Ok, ok! Terimakasih, Alaysa. Aku akan datang!” tegasku bersemangat.

***

Alaysa menungguku di halaman parkir bandara. Melalui hape ia memberi tahu dimana posisinya. Maka akupun melangkah ke arah yang disebutkannya. Setelah bertemu, kamipun berpelukan menggugurkan rasa rindu yang menggumpal. Lalu ia mengajakku melangkah ke arah sebuah mobil mewah.

“Ini mobilmu?” aku berucap tanpa sadar

“Iya, Bu..., ayolah, aku sudah menyiapkan buku untukmu,” jawab Alaysa tanpa mempedulikan pertanyaanku, yang kuanggap konyol itu. Untunglah!

Alaysa memencet remote pembuka kunci mobil. Ia masuk terlebih dulu dan duduk di bangku supir. Aku mengikutinya, masuk melalui pintu sebelah kiri depan. Tapi baru saja aku duduk, irama musik dangdut seketika mengguyur pendengaranku.
.............................     
Ayo goyang dumang
Biar hati senang
Pikiranpun tenang
Galau jadi hilang
Ayo goyang dumang
Biar hati senang
Semua masalah jadi hilang
(2 )

Alaysa menatap ke arahku sambil tersenyum. Aku tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. n


Bandar Lampung, 17 Februari 2015

Catatan:
(1)   Kalimat yang sama terdapat pada cerpen “Manusia Kamar” karya Seno Gumira Ajidarma dalam buku   kumpulan cerpen Manusia Kamar, Penerbit CV Haji Masagung, 1988.
(2)    Refrain lagu “Goyang Dumang” Ciptaan Tjahjadi/Ishak dan dipopulerkan oleh penyanyi Cita Citata


Fajar Sumatera, Jumat, 18 September 2015     

No comments:

Post a Comment