Friday, August 21, 2015

Sajak-sajak Arwinto Syamsunu Ajie

Catatan Pemahaman

1
“Aku sedang menjalani kutukan,” kata batu,
“Agar dalam keruntuhan nanti
tak ada bencana yang lebih menyakitkan
selain bagian masa lalu.” Dan, batu,
merasa aman setelah bicara begitu.
Oleh sebab itu batu senantiasa diam
tak peduli di palung sepi, di dasarkali,
atau terinjak kaki sepanjang jalan.

2
Pada rumput di tanah lapang aku bertanya :
“Apa yang sedang kau kerjakan, rumput?
Tumbuh melengkung bagai otak linglung,
bergoyangan bagai jiwa tanpa pegangan.”
Ketika senja telah karam
dan semesta menidurkan keletihan
tiba-tiba aku paham, kenapa rumput
tak pernah menyahut.


3
Dan aku terus berjalan
melepaskan tanya dari rongga kebodohan
hingga kujumpa debu-debu berhamburan.
“Aku sudah lelah memasuki setiap celah
dan letih menyusuri jalan yang kupilih
tetapi aku siap kapan saja
dipanggil masuk dalam gelap,”
lewat batin debu menjawab.

4
Begitulah.
Mula-mula bertemu, lalu rumput, lalu debu,
aku terus melangkah menjinjing waktu.
Bertemu pintu, matahari, bianglala,
semut, sungai, lampu, dan segala.
Terus bertanya pada setiap tanda,
hingga usiaku nyeri, jiwaku ngilu,
dan sejuta koreng tumbuh di paru-paru
kotaku, mengekalkan rintih itu :
“Allah,
Allah,
Allah,
selamatkan akhirku!”

2014



Orang-Orang Boneka

Sekedipan mata dan liuk badan, langit
terasa dekat. Bintang-bintang bergetar
sinarnya membayangkan mimpi yang nyaman
(meski di luar cuaca demam)

Lupakan matahari tropik di punggung hewan
Lupakan waktu yang menggelindingkan roda
kecemasan. O, lampu-lampu sorot dan catwalk
ke sanalah meniti laut tanpa ombak

Dan langit semakin dekat dan bintang-bintang
mesti terdekap. Telepon genggam berdenging
menjanjikan harapan lain. Koran diintip
sambil menyiulkan jadwal,  memaki gosip

Dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat
diri hanya berkaca. Hanya bayang-bayang kaca.
Sesuatu hilang entah apa, sesuatu hilang entah
di mana. Tapi lampu sorot dan catwalk terus menggoda.

2014



Boneka Lucu
(berisi 1 kg sabu-sabu)

Sungguh aku tak tahu
milik siapakah waktu.

Dari setiap huruf yang kubaca
tumbuh serabut kecemasanku
merayap
seperti lumut merambati batu.
Lalu batu itu disambitkan : tepat
mengenai pusat jaringan syarafku.

Betapa rahim kota ini
terus dijejali benih-benih sialan
serta setumpuk lagi
riwayat jadah keadaan

Kulipat koran di atas meja
tetapi sebelum mata terpejam
mengapung lagi peristiwa-peristiwa
di atas genang airmata

Hari sudah malam
milik siapakah kegembiraan?

2014



---------------
Arwinto Syamsunu Ajie, lahir di Kebumen, 3 Maret. Puisi-puisinya dipublikasikan di media massa dan sejumlah antologi bersama. Buku puisinya: Tubuh Penuh Catatan (2009) dan Langit Bersorban Awan (2015).



Fajar Sumatera, Jumat, 21 Agustusr 2015     

No comments:

Post a Comment