Friday, September 11, 2015

Tumbal

Cerpen Mailani Suradi


SUARA sirine mobil polisi melengking seperti menggagahi telingaku. Puluhan polisi berseragam dan tanpa seragam mengepung rumah. Salah satu dari mereka berteriak menggunakan pengeras suara, menyuruhku menyerahkan diri. Mereka menodongkan senjata di setiap celah rumah. Padahal semua pintu, jendela, dan gorden telah aku tutup rapat. Listrik pun telah aku matikan. Seharusnya mereka tahu aku tidak akan ke luar semudah itu. Hanya dengan gertakan.

Aku masih diam di persembunyianku. Tanganku berkeringat hingga gagang pistol yang aku pegang semakin licin. Aku bersembunyi di bawah ranjang, berharap ada kemungkinan mereka mengira rumah telah ditinggalkan oleh penghuninya.

“Saudara Kuswanto, menyerahlah!” teriak seorang polisi di pengeras suara.

Jantungku berdegup kencang. Semakin terangsang oleh teriakan dan ancaman mereka. Napasku kembang-kempis tidak leluasa keluar masuknya udara. Aku masih diam dipersembunyian.
Jantungku seperti mau meledak, ada suara di antara mereka yang tidak asing lagi bagiku. Ibu.

“Nak. Keluarlah, Nak. Tidak apa-apa. Ada Ibu di sini. Semuanya masih bisa diurus”

Kalimat itu seperti menenangkanku, tapi justru membuat hatiku  semakin gusar. Ada ibuku di luar, bukankah dia ada di Lampung bersama ayah, kakak, dan adikku. Seharusnya malam ini sedang doa bersama hendak berangkat berhaji.

Aku memejamkan mata, mengingat-ingat wajah ibu, ayah, kakak, dan adikku. Kemudian Laila istriku yang sudah aku berangkatkan ke Singapura tadi siang.

***

AKU teringat dulu saat masih kuliah semester akhir Jurusan Manajemen, aku hanya mahasiswa biasa. Tidak punya kemampuan yang menonjol, nilai IP-ku standar, pergaulanku biasa saja. Tambah komplit orang tuaku hanya petani biasa di salah satu kabupaten di Lampung. Tapi walaupun hanya seorang petani, mereka menginginkan semua anaknya mendapat mendidikan yang tinggi dan pekerjaan yang baik. Umumnya orang tua begitu.

Kakak perempuanku sarjana pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta. Sudah dua tahun wisuda dia masih menganggur. Sempat menjadi tenaga pengajar honorer di sekolah dasar dekat kampungku. Tapi dia mengundurkan diri karena rumor yang beredar bahwa tidak akan ada lagi pengangkatan PNS bagi guru-guru honorer. Kemudian dia beralih profesi manjadi pedagang baju lewat online.

“Zaman sekarang mengabdi apanya? Mereka yang di atas aja enak, masak kita di suruh susah-susah. Gaji tiga ratus ribu, dibayar tiga bulan sekali, perut kan mau makannya tiap hari,” ujarnya dulu saat saudara dan tetangga bertanya.

Di kampung kami masih mengenal istilah guyup rukun antar saudara dan tetangga. Semua masalah adalah masalah bersama, toleransi masih dijunjung, saling sumbangsih, walaupun hanya sumbang omongan.

“Benar kan kataku, Bang Soleh, anak perempuan disekolahkan tinggi-tinggi juga buat apa. Ujung-ujungnya di dapur juga. Zaman sekarang jangan mimpi anak mau jadi orang kalau duitnya gak tebal. Bisa habis semua, habis rumah, habis lahan,” gerutu Pak Bonang saat di perjalanan pulang yasinan.

Ayah yang berkarakter lembut dan pendiam tidak menanggapi perkataan tetangga kami yang satu itu. Tapi tidak aku, darahku bergemuruh ingin rasanya daratkan bogemku di mulutnya yang nyinyir itu, andai tidak ada ayah.

***

SUATU Subuh aku mendekati Ibu dan Irma kakak perempuanku yang sedang duduk di dapur sambil menyisir buah pepaya muda untuk dimasak.

Langkahku terhenti karena nada suara ibu semakin meninggi. Aku mengintip balik pintu dapur. Ingin tahu apa yang dibicarakan mereka.

“Lihatlah, anak Bu Mariam, dia sekarang kerja di kantor. Belum genap satu tahun bekerja sudah bisa beli motor. Setiap bulan ibunya diberi pesangon walaupun hanya lima ratus.”
Aku tidak menyangka ibuku yang memiliki watak sabar dan biasanya legowo, kini menjadi sosok yang tidak aku kenal.

Kakak hanya diam dan meneruskan pekerjaannya.

“Irma, sebenarnya sudah pantas kamu menikah.” Akhirnya kata-kata yang sedemikian rupa berputar-putar kini tepat sasaran.

Kakak menghentikan pekerjaannya, seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi. Dia melanjutkan pekerjaannya lagi. Kakakku yang tercinta ini memang selalu diam, kadang aku juga bingung apa yang dia mau.

“Kalau di ajak bicara selalu diam. Tapi entah didengarkan entah tidak.”

Suasana semakin tidak nyaman, aku keluar dari persembunyian, berharap suasana normal kembali. Tapi nyatanya tidak.

“Kus, bilang ke kakakmu, segeralah menikah, mau jadi apa dia, kerja tidak ada. Sudah, lebih baik menikah. Atau kau carikan saja jodoh yang pantas untuknya.” Kalimat ibu membuat aku serba salah.
Cepat-cepat kakak pergi ke kamar. Saat dia berjalan aku melihat airmata menggenangi pipinya.

***

SEJAK saat itu, aku memutuskan untuk belajar lebih giat lagi, memperbaiki nilai-nilaiku, usaha mencari-cari lowongan dan relasi, bahkan aku mendekati beberapa anak pengusaha kaya dan beberapa anak pejabat di kampusku dari yang rendahan sampai tertinggi. Aku sungguh picik. Aku dapatkan Laila anak komisaris perusahaan perusahaan asuransi besar.

Aku terpaksa meninggalkan kekasihku sebelumnya. Dia Surastinah, gadis baik bersahaja jurusan Ilmu Tarbiah. Masih sering aku mengingatnya, dia menangis saat aku mengatakan ingin memutuskan khitbah kepadanya, aku takut tidak bisa membahagiakannya dan anak-anak kami kelak. Oh, maafkan aku Tina, sungguh nama di hatiku hanya ada Tina.

Setelah aku wisuda dan menikah dengan Laila, karirku semakin baik. Baru enam bulan bekerja aku sudah diangkat menjadi marketing superviser. Tentu saja atas campur tangan ayah mertuaku. Tahun berikutnya nasibku semakin baik, tiba-tiba perusahaan memberiku surat tugas dan penobatan menjadi Manajer Keuangan. Aku tidak akan menyia-nyiakan kemurahan Tuhan kepadaku.

Kehidupan keluargaku di Lampung semakin baik. Aku sering mengirim uang untuk biaya kuliah adikku. Bahkan beberapa hektar sawah yang ayah inginkan sudah aku beli. Kakakku tercinta, bisa membuka toko pakaian di pasar dekat kantor kecamatan.

Menjelang pertengahan tahun terjadi kekrisisan global yang berdampak tidak stabilnya ritme perusahaan. Banyak karyawan yang terpaksa harus kami PHK. Investor makin tidak percaya dan meninggalkan perusahaan kami, karena tingginya hutang perusahaan yang tidak terbayar. Kami terpaksa menjual beberapa asset perusahaan.

Kebijakan perusahaan harus memangkas hingga lima puluh persen gaji semua pegawai. Jika tidak komitmen dengan kebijakan ini, maka perusahaan mempersilahkan pegawai untuk mundur tanpa pesangon.
Istriku selalu mengeluh, mungkin dia tidak terbiasa dengan keadaan ini. Dia terbiasa hidup berkecukupan dan semua keinginannya terpenuhi.

“Bang, mungkin Abang tidak masalah dengan keadaan ini. Abang kan laki-laki, apalagi sudah terbiasa hidup susah. Jangan bisanya mengandalkan mertua, dong. Sejak ayah meninggal, Abang buntu” Kata istriku .

“Laila. Keadaan memang masih susah, hidup kan seperti roda, kadang di atas bisa juga berputar ke bawah,” jelasku.

“Halah, kalau rodanya roda kempis, apa bisa berputar ke atas lagi? Pikirkan sesuatu Bang kalau abang laki-laki.” Dia semakin sewot. “Kemarin adikmu telepon, minta belikan laptop. Enggak mikir.”

Aku pandang dia, ingin sekali aku tampar mulutnya. Tapi aku tahan. Aku hanya bisa meremas tisu di meja makan.

Apalagi yang aku pikirkan selain menyelamatkan diri dan keluargaku. Saat rapat pimpinan perusahan, aku mengusulkan untuk menjual aset perusahaan berupa pulau dan beberapa vila yang dianggap tidak potensial.

Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba beberapa calon pembeli datang ke rumah dan menawarkan beberapa kerjasama yang sangat menarik. Beberapa cek dengan nilai yang cukup fantastis telah aku terima, dan aku hanya perlu menandatangani beberapa dokumen yang harus dirahasiakan.

Beberapa minggu dari itu, sekertarisku mengatakan banyak wartawan datang ke kantor ingin konfirmasi masalah isu korupsi yang aku lakukan. Di hari itu juga, aku menyuruh istriku untuk pergi meninggalkan Indonesia. Untungnya dia masih punya banyak handa-taulan di Amsterdam. Aku menyuruhnya ke sana.

“Jangan ke sana Bang, terlalu jauh. Aku takut anak yang ada di dalam sini tidak kuat.” Kata istriku dan meletakan kedua tanganku ke perutnya.

“Laila, apakah maksudnya. Apakah maksudnya kamu hamil, Sayang?”

Laila mengangguk.

“Kenapa tidak bilang dari awal?”

“Kemarin Abang lebih menjengkelkan dari hari ini.”

“Oh, Laila. Maafkan aku.”

Kesepakatan kami, Laila pergi ke Singapura. Aku tidak mengantarnya ke bandara. Sasaran mereka hanya aku. Jadi aku harus tetap tinggal.

***

BENAR saja, mereka cepat sekali datang beberapa jam setelah Laila pergi. Sirine mobil polisi semakin mendekati rumah. Mereka membuka pagar dan mengepung. Aku sempat mengintip dari sela gorden.
Apa yang harus aku lakukan. Percaya saja kawan, jika kau ada di posisiku saat ini, mau dipersiapkan sedemikian rupa, aku yakin keadaannya tetap tidak siap.

Aku ambil pistol di berangkas besi di balik lukisan yang terpajang di kamar. Aku bersembunyi di bawah ranjang dengan harapan mereka mengira si pemilik telah mengosongkan rumah. Sungguh aku sangat konyol.

Mereka mengertak menyuruh aku turun. Satu kali terdengan tembakan ke udara membuat bulu kudukku berdiri.

“Saudara Kuswanto, jika Saudara tidak menyerahkan diri. Maka kami terpaksa mendobrak masuk,” teriak polisi.

Aku diam dan memegang pistolku erat-erat. Entah bagaimana menggunakannya aku belum pernah. Entah apa yang akan terjadi, sungguh aku tidak tahu, yang ada di kepalaku hanya sekelebatan bayang-bayang akan kengerian sel penjara, keluargaku akan menanggung malu, dan parahnya anakku akan lahir ke dunia ini dengan status ayah narapidana.

Terdengar keras suara pintu yang dibuka paksa, selanjutnya beberapa langkah kaki memasuki rumahku mereka memeriksa ruang demi ruang, bahkan terdengar bunyi berisik seperti beberapa benda yang jatuh ke lantai.

Aku gemetaran, ada yang mencongkel pintu kamarku. Seorang wanita, aku mudah mengenalinya dalam gelap karena rambutnya yang terurai kena sorotan cahaya dari fentilasi. Dia mengalungkan kamera di lehernya.

Pelan-pelan aku mengendap keluar dari persembunyianku, kemudian menodongkan pistol ke arahnya.
Dia berteriak, kaget.

“Jangan berteriak. Jangan bergerak. Aku mengatakannya pelan.”

Wartawan itu kaget dan mengangkat kedua tangannya.

Dengan mudah aku menjadikan dia sebagai sanderaku. Kami keluar dengan posisi ujung pistolku ke arah kepalanya. Polisi terpaksa menjaga jarak dengan kami.

“Jangan ada yang bertindak, dia membawa sandera,” kata polisi dengan yang mengenakan jaket kulit warna hitam.

Beberapa dari mereka mundur memberi ruang untukku kabur menggunakan mobil yang terparkir di halaman rumahku. Aku menyuruh sandera untuk mengemudi.

Kami melaju meninggalkan rumah, dan beberapa mobil mengikuti.

Aku dicekam ketakutan yang membuat darahku seperti naik-turun. Apakah yang akan terjadi pada keluargaku. Mereka akan menanggung malu, mereka akan menderita, mereka akan dikecam hingga tujuh turunan. Apa yang akan terjadi pada istriku, pada siapa lagi dia akan mengeluh. Jika aku dibui siapa yang akan mendampinginya saat kelahiran anak pertama kami. Dia akan sendirian. Apakah dia bisa menanggung semua sendirian, dia terlalu manja.

Pikiranku ke mana-mana. Saat itu yang aku ingin hilang. Sumpah aku ingin mati, hilang menguap seperti busa sabun.


Fajar Sumatera, Jumat, 11 September 2015

No comments:

Post a Comment