Friday, October 16, 2015

Kakek Buta dan Kucingnya

Cerpen Gunawan Tri Atmodjo

DI pengujung mataku yang rabun, seekor anak kucing mendatangi rumahku. Anak kucing berkelamin jantan dan bermotif kembang bengok alias loreng-loreng kelabu, hitam, putih itu masih liar. Aku memberinya daging ayam secara berkala dan lama-kelamaan kucing itu menandai kebaikanku. Ia mengakrabiku dan menjadi hewan piaraanku.

Anak kucing itu menjadi teman bagi kesendirianku. Ia menyelamatkan sisa hidupku dari kesepian. Ketika kau sudah tua dan sebatang kara, kesepian bisa terasa sangat kejam. Tentu aku tak kesepian saat isteri dan anakku masih hidup. Akan kuceritakan sedikit kepadamu mengenai mendiang isteri dan anakku.


Seperti suami yang berusaha menjadi baik lainnya, aku menganggap isteriku adalah perempuan paling pas untukku. Umumnya ikrar pernikahan, kami berjanji sehidup-semati tapi pada kenyataannya kami hidup sebagai suami isteri bersama tapi mati sendiri-sendiri. Isteriku meninggal dunia mendahuluiku setelah hampir empat dasawarsa menemaniku. Kami tak dikaruniai keturunan karena memang demikianlah yang digariskan Tuhan. Setelah mencoba selama sepuluh tahun dan tanpa hasil kami pun memutuskan mengadopsi anak dari panti asuhan. Anak laki-laki berumur tiga tahun itu sudah kami anggap sebagai darah daging sendiri. Dia mewarnai hidup kami selama hampir dua dasawarsa sebelum sebuah kecelakaan lalu lintas merenggutnya dari hidup kami. Kami dilanda kesedihan yang seakan tak tertanggungkan. Kesedihan ini, menurut isteriku, melebihi kesedihan ketika ia mengetahui beberapa perselingkuhanku dulu, yang selalu berhasil dimaafkan dan disembunyikannya sehingga predikat keluarga harmonis tetap dapat dibanggakannya di hadapan orang lain.

Duka berlarat itu kami lalui bersama hingga satu dasawarsa kemudian istriku meninggal dunia. Kesedihanku tak terperi. Aku merasa benar-benar sendirian tetapi juga gentar untuk kembali berumah tangga. Jiwa dan ragaku telah direntakan trauma perpisahan sehingga kuputuskan menikmati sisa hidupku sendirian.

Aku mencukupi hidupku dengan uang pensiun yang kuterima setelah hampir tiga puluh lima tahun bekerja sebagai PNS di lingkungan kecamatan. Tanpa sanak saudara aku berusaha hidup bahagia dan menunggu kematian dengan tenang. Setiap hari kuhabiskan waktuku dengan rutinitas yang hampir sama. Selepas subuh aku jalan-jalan, lalu menuju pemakaman kampung tempat jenazah isteri dan anakku disemayamkan. Ziarah rutin itu selalu melipurku, seakan menghadirkan mereka kembali dalam hidupku. Seusai ziarah aku akan menyambangi tetanggaku. Selain untuk beramah-tamah hal ini juga semacam absensi. Kehadiranku adalah tanda bahwa aku baik-baik saja. Pernah suatu ketika aku tak mengunjungi mereka selama dua hari berturut-turut karena sakit. Dengan serta-merta tetanggaku itu mendatangi rumahku lalu mengantarku ke dokter. Kepedulian mereka ini membuatku terharu. Aku membayangkan, kelak jika aku mati mereka jugalah yang akan mengurusi pemakamanku. Sebuah kunjungan rutin yang terkadang disertai buah tangan adalah caraku berterima kasih atas kebaikan mereka.

Kedatangan anak kucing itu menambah gairah hidupku. Kini aku harus berbagi makan dengannya. Untung saja ia jenis kucing penurut, tahu diri, dan tidak merepotkan. Ia berak dan kencing pada tempatnya. Aku selalu terhibur dengan perilakunya. Ia senang menggesek-gesekkan kepala di kakiku, mengajakku bermain, dan tidur di pangkuanku yang membuatku tak beranjak semata agar tidurnya tak terganggu. Aku senang mengelus-elusnya dan rajin mengajaknya ngobrol. Memang terlihat seperti monolog tapi aku sepenuhnya yakin ia menangkap kata-kataku sebagai bahasa kasih sayang. Aku sengaja tak memberinya nama karena kurasa itu adalah hal yang bodoh. Aku memanggilnya “Pus”, panggilan yang secara genetis tertanam di telinga setiap kucing. Kucing itu akan segera menghampiriku begitu mendengarnya.

Anak kucing itu tumbuh dewasa dengan cepat. Tak terasa ia telah meredakan sayatan sepiku selama setengah tahun.

Aku pernah mendengar mitos bahwa seekor kucing itu memiliki sembilan nyawa. Semula aku mengira itu sebatas tahayul tapi sebuah peristiwa tragis menggiringku untuk memercayainya. Ada seorang tetanggaku yang terkenal sebagai pembenci kucing dan aku mencurigainya telah meracuni kucingku. Kucingku itu pulang dengan limbung lalu muntah-muntah. Mulutnya berbuih. Saat itu aku panik sekali dan hanya mampu berdoa. Aku sungguh ingin percaya bahwa kucing itu bernyawa sembilan dan setelah tragedi ini saldo nyawanya tinggal delapan. Tetapi kucingku itu tetap sekarat. Dalam keputusasaan, aku berdoa dengan membabi-buta, memohon agar siapa pun arwah penasaran yang gentayangan di sekitar tempat ini bersedia merasuk ke raga kucingku dan membuatnya hidup kembali. Dan ajaibnya, doa itu dijawab. Kucingku yang sebelumnya kejang-kejang, perlahan-lahan bangkit dengan limbung. Lalu ia mengeluarkan suara aneh, muntah sekali disusul bersin tiga kali kemudian sehat seperti sedia kala.

Aku memeluknya erat dengan airmata bercucuran dan berjanji dalam hati akan menjaganya lebih baik lagi. Sedikit-banyak terbit kebencianku pada pembenci kucing itu walau kejahatannya itu masih sebatas sangkaanku saja. Tak ada bukti dan lagipula usia tidak memungkinkanku untuk membuat perhitungan dengannya. Aku hanya mampu berprasangka buruk dan mendoakan keburukan bagi siapa pun yang telah mencelakakan kucingku.

Entah ini terkait dengan doa burukku atau tidak, dua hari kemudian kabar buruk nengenai pembenci kucing itu terdengar. Dia meninggal karena kejatuhan dahan pohon mangganya sendiri. Batang kayu cukup besar itu menghantam telak bagian belakang kepalanya dan seketika mencabut nyawanya. Bersama kematiannya muncul pula gosip bahwa kucing piaraanku bertengger di pohon mangga itu saat kecelakaan terjadi. Dengan bumbu kisah mistis ini, banyak warga yang menganggap kematiannya itu sebagai karma. Laku kejamnya terhadap kucing telah mendapatkan balasan setimpal. Kilas balik kebengisannya pada kucing juga kembali santer terdengar seperti menyiram dengan air raksa, menggergaji kaki kucing hidup-hidup, membungkus kucing hidup-hidup lalu memasukkannya ke kolam lele, meracuni kucing, dan aneka tindakan sadis lainnya. Aku sendiri tak ambil pusing dengan kematiannya itu, yang kurasakan adalah dendamku kepadanya impas.

Dari hari ke hari penglihatanku makin berkurang. Pandanganku makin kabur dan suram. Aku sudah periksa ke toko kacamata tapi tampaknya gangguan ini tak bisa diselesaikan dengan pergantian lensa kacamata. Aku menduga bahwa ini gejala kebutaan. Ketakutan sempat mencekamku tapi keberadaan kucing itu menenangkanku. Aku tak sendirian dan kebutaan tak lebih menakutkan dari kematian. 

Kini aku harus meraba-raba jika ingin sampai ke suatu tempat. Aku menggunakan tongkat untuk mengetahui benda-benda dalam radius kurang dari satu meter di depanku. Lagi-lagi keajaiban terjadi. Kucing itu menolongku dengan caranya sendiri. Ia seakan dapat membaca keinginanku dan mampu menafsir perkataanku. Biasanya, aku akan mengatakan padanya tempat yang ingin kutuju dan ia akan mengeong, aku tinggal mengikuti suaranya. Suaranya seakan menggantikan sepasang mataku yang buta. Aku mulai terbiasa dituntun oleh suara kucingku dan hafal posisi benda-benda di rumahku.

Untuk keperluan di luar rumah, aku perlu mengikatkan tali ke lehernya. Kucing itulah yang akan menuntunku sampai ke tujuan. Aku tak akan tersinggung jika kau tersenyum geli membayangkan hal ini karena tetanggaku pun kurasa demikian juga. Aku paham, kakek buta yang dituntun seekor kucing memang bukan pemandangan jamak. Mungkin lain cerita jika yang menuntunku seekor anjing tapi inilah yang terjadi. Aku selalu menikmati perjalanan ketika dituntun kucingku. Kami menyambangi pemakaman dan tempat lainnya bersama-sama dan orang-orang di sekitarku pun mulai terbiasa.

Ketika hari mengambil dana pensiun tiba, aku berencana mengajak kucingku ke kantor pos. Seperti obrolan-obrolan yang tampak seperti monolog biasanya, aku mengikatkan tali di lehernya sembari mengatakan jalan-jalan yang harus dilalui untuk sampai di kantor pos. Kucingku itu mengeong pendek sebagai tanda bahwa ia memahami perkataanku.

Kami pun berangkat ke kantor pos. Tak seperti jalanan kampung, jalan menuju kantor pos lebih ramai meski jaraknya tak begitu jauh dari rumahku. Barangkali hari itu memang sedang sial, di tengah keramaian tali pengikat kucingku terputus. Aku kebingungan dan orang-orang di sekitarku, yang mungkin tak mengenaliku sebagai orang buta, tak peduli padaku sementara kucingku entah berada di mana. Mungkin ia lari atau tertendang orang-orang lewat. Aku memanggil-manggil kucingku tapi tak mendapat sahutan. Aku minta pertolongan pada seseorang untuk menuntunku tapi tak seorang pun mau mendekat padaku. Mungkin mereka mengira aku tukang gendam seperti yang pernah kubaca dulu di koran. Dengan cemas, aku berjalan sendiri. Tanpa kusadari, justru aku mengarah ke tengah jalan. Aku sempat mendengar orang-orang berteriak histeris, suara motor mendekat dengan kecepatan tinggi dilanjutkan jerit rem mendadak sekitar dua meter di samping kananku lalu disusul suara motor rubuh. Di antara aku dan motor rubuh itu, kudengar suara kucingku..

Orang-orang segera mengerumuni kami. Kini mereka tahu bahwa aku benar-benar buta. Aku membungkuk mengelus-ngelus kucingku yang mengusap-usapkan kepalanya ke kakiku. Setelah mendapat pertolongan, pengendara sepeda motor itu menjabat tanganku dan berkata, “Lain kali lebih hati-hati Kek. Untung aku tidak menabrak kucing itu.”

Aku tak tahu apakah dia lebih bersyukur karena tidak jadi menabrakku atau kucingku. Aku hanya tersenyum lalu memintanya mengikatkan tali pada leher kucingku. Kami melanjutkan perjalanan ke kantor pos. Lagi-lagi kubayangkan tatap geli mereka saat melihatku dituntun kucing tapi itu bukan urusanku.

Sepanjang jalan menuju kantor pos aku justru berpikir bahwa kucing ini telah menyelamatkan nyawaku. Aku jadi teringat anakku yang meninggal karena tertabrak mobil yang kukira terjadi di ruas jalan yang sama. Konon orang yang meninggal karena kecelakaan arwahnya tak pernah tenang. Tiba-tiba aku teringat doa ketika kucing itu sekarat. Sebuah kemungkinan mekar dalam benakku. Sebuah benang merah yang akan membuatku lebih menyayangi kucing itu.

Kamu percaya jika dalam raga kucing itu bersemayam jiwa anakku? n


Fajar Sumatera, Jumat, 16 Oktober 2015

No comments:

Post a Comment