Friday, October 9, 2015

Kisah Terompah

Cerpen Tjak S Parlan


IA masih menyimpan benda itu: terompah usang yang pernah membekaskan luka jahit di keningnya. Itu sore hari, ketika ia berteriak girang memanggil Mak. Ia merasa kehausan sehabis mengejar layang-layang bersama kawan-kawannya. Haus yang seperti itu alangkah nikmatnya jika dibawa menikmati es cendol yang selalu mangkal di dekat jembatan.

“Mak, bagi uangnya. Haus sekali, Mak!”

Mak sedang berselonjor di dipan. Di keningnya menempel selembar obat koyo. Sudah berhari-hari Mak seperti itu. Mak sering mengeluhkan kepalanya— pening, berputar-putar.

“Mak, mau es cendol.”


Mak menggelung rambutnya, turun dari dipan dan langsung melenggang ke dapur. Ia mengikuti Mak ke dapur sambil terus merengek. Mak menuang air putih ke dalam gelas.

“Ini kalau haus. Jangan jadi anak manja,” kata Mak ketus.

“Haus sekali, Mak. Mau es …”

Lalu sesuatu melayang dari pintu dapur. Benda keras itu mendarat tepat di kepalanya. Ia terkaget hebat, tersengat oleh rasa sakit di keningnya. Ia tercekat oleh sosok yang berdiri angkuh di pintu dapur: Bapak dengan tatapan murka ke arahnya. Ia tahu arti tatapan itu. Dulu ia pernah melihat Bapak  menatap seperti itu kepada Mak sebelum kemudian menarik-narik rambut Mak dan mendorongnya hingga terjerambab ke kursi. Mak tidak membalas apa-apa waktu itu, Mak hanya bisa sesenggukan. Tapi sore itu berbeda. Mak balik menatap mata Bapak. Mak tidak mengatakan apa-apa, tidak juga membalas lemparan Bapak. Tapi tatapan Mak telah membuat Bapak pergi dari rumah.

“Makanya, jangan jadi anak manja. Kenapa tak mau bersabar dulu. Jangan teriak-teriak seperti itu. Lagi pula, setelah Bapak tak kerja, Mak jarang punya duit,” kata Mak sambil membersihkan luka di keningnya.

Namun darah terus mengucur. Sore itu juga, Mak membawanya ke rumah Pak Mantri, ayahnya Tito, kawan sekelasnya yang tidak begitu akrab. Sampai di sana, Pak Mantri memutuskan lukanya harus dijahit. Nyalinya ciut ketika Pak Mantri mulai mengeluarkan alat-alat untuk menjahit lukanya. Beberapa hari kemudian, saat kawan-kawannya bertanya apa yang menyebabkan luka di keningnya, ia mengatakan bahwa dirinya terjatuh sewaktu mengejar layang-layang. Ia mematuhi apa yang dikatakan Mak.

“Kalau ada yang bertanya apa yang terjadi dengan kepalamu, bilang saja habis terjatuh.”

“Kenapa tak boleh mengatakan kalau dilempar Bapak?” tanyanya tak mengerti.

“Jangan cerewet. Bilang saja seperti itu,” tandas Mak.

Ia tidak mengerti kenapa harus berbohong. Tapi ia berusaha untuk tidak memikirkannya. Sejak saat itu memang ada yang berubah di rumah. Bapak mulai jarang pulang ke rumah. Mak setiap pagi harus pergi ke pasar. Mak bercerita, dulu, jauh sebelum bertemu Bapak, Mak sudah sering pergi ke pasar. Tidak jadi masalah, bila kemudian Mak mengulangi pekerjaan lamanya. Mak mengambil barang-barang dari Koh Liem dan membawanya ke pasar yang jauh di desa sebelah.

Suatu hari, saat Bapak tidak pernah lagi muncul di rumah, Mak memanggilnya dan mengatakan sesuatu kepadanya.

“Bapak tak tinggal bersama kita lagi.”

Ia tersenyum. Diam-diam hatinya senang. Tapi Mak menangkap isyarat itu dan mulai kawatir.

“Ia tetap Bapakmu. Kenapa tersenyum, kamu senang kalau Bapak pergi?

Ia menggelengkan kepalanya meski tidak tahu apa artinya. Ketika ia dewasa, kadang-kadang ia masih mengingat Bapak. Setiap melihat Mak tertidur di kursi ruang tamu karena menunggunya pulang, ia mulai merindukan Bapak. Bagaimana pun jika Bapak masih ada di rumah, Mak tidak akan terlalu kesepian. Setidaknya ada yang menemaninya mengobrol di rumah. Masalah pekerjaan, ia sudah bisa membantu Mak. Jadi, biar pun Bapak tidak bekerja —misalnya—  ia dan Mak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Saat itu ia sudah terbiasa bekerja paruh waktu di pabrik milik Koh Liem.

Kadang-kadang saat ia merindukan Bapak, ia teringat begitu saja insiden kecil di sore hari itu. Aneh, bahwa kemudian ia tidak merasa benci sedikiput pun. Bahkan benda usang yang membuat luka jahit di keningnya itu masih ada di rumah sampai sekarang. Mak masih memakai terompah itu jika pergi ke masjid. Apa Mak juga merindukan Bapak? Tapi Mak hampir sama sekali tidak mengatakan apa-apa tentang Bapak. Seingatnya, hanya sekali pernah menyinggung sedikit tentangnya.

“Paman Dirman bilang, kalau Bapak sudah kerja di kota,” kata Mak suatu malam.

“Kerja apa?”

“Mak tak tahu. Bagaimana pekerjaanmu di pabrik?” Mak cepat-cepat mengalihkan pembicaraan.

Ia berpikir untuk menemui Paman Dirman esok harinya, tapi ia membatalkannya. Ia tidak begitu dekat dengan Paman Dirman, keluarga Bapak itu. Selama Bapak masih di rumah, Paman Dirman juga jarang sekali berkunjung ke rumah. Lagi pula, masih ada kesempatan lainnya jika ingin bertemu Bapak. Selama Mak tidak kelihatan sedih, ia berpikir bahwa Mak baik-baik saja. Oleh karenanya tidak perlu terburu-buru bertemu Bapak. “Hmm, kurang berguna juga memikirkan orang yang bahkan tak pernah muncul ketika Mak sedang sakit,” batinnya. 

Sepertinya, Mak lebih membutuhkan dirinya sering-sering berada di rumah. Mak senang jika sehabis pulang dari pabrik ia tidak kemana-mana. Sampai suatu saat Mak mulai sering sakit, dan ia memintanya agar Mak tidak ke pasar lagi.

***

Jiwanya sedang terharu. Diam-diam ia berterimakasih kepada benda usang itu. Ia percaya doa Mak-lah yang membuat hidupnya bisa seperti sekarang. Tapi bagaimanapun ia tidak bisa menghilangkan kenangan tentang terompah itu. Setelah Mak tidak memakainya lagi karena benda itu aus digerus waktu, Mak tetap tidak membuangnya. Ia sendirilah yang kemudian diam-diam menyimpannya

Suatu kali, ia pernah mengusulkan kepada Mak agar tidak memakai lagi terompah yang dulunya sering dipakai Bapak itu. Tapi Mak selalu mengelak. Kata Mak, lebih enak memakai terompah kalau pergi ke masjid. Bukan apa-apa, jalanan kecil menuju ke masjid itu selalu becek di musim hujan, jadi kalau memakai sandal yang lain mudah terpeleset. “Lagi pula, siapa yang akan tertarik dengan terompah rongsok seperti ini. Makanya, dijamin aman kalau memakai ini,” terang Mak.

Benar juga apa yang dikatakan Mak. Ia sendiri pernah memakai sandal lily yang dibelinya setelah menerima gaji pertamanya. Namun itu Jumat yang kurang beruntung bagi dirinya. Selepas turun dari masjid, ia tidak pernah melihat lagi sandal kesayanganya itu hingga hari-hari berikutnya. Peristiwa itu membuatnya harus memakai terompah selama berhari-hari. Sampai suatu saat, Koh Liem— bos yang baik itu— yang melihatnya sering memakai terompah,  memberikan sesuatu kepadanya. “Nih, cobalah pakai yang ini. Rupanya suka pakai terompah juga, ya.”

Ia menerima pemberian itu, seraya memuji kebaikan hati tauke itu.

“Yang ini tidak dijual di sini. Ini kiriman dari keluarga,” kata Koh Liem menceritakan asal-asul terompahnya.

Sepanjang hidup ia sering melihat terompah. Orang-orang di desanya jika pergi ke masjid juga lebih sering memakai terompah. Di masjid ada beberapa pasang yang memang disiapkan untuk para musafir yang sedang singgah untuk keperluan sewaktu mengambil air wudu. Namun ia tidak pernah melihat terompah yang dibuat sebagus itu. “Kalau modelnya seperti ini, orang pasti akan lebih suka memakainya,” gumamnya.

Beberapa waktu kemudian ia memutuskan berhenti bekerja di pabrik  dan membuka sebuah gerai sederhana di dekat perempatan. Di tempat itu ada sepetak tanah warisan Kakek untuk Mak. Dari waktu ke waktu ia tekun mengasah kemampuannya membuat terompah. Mula-mula para kenalan saja yang memesan terompah buatannya. Namun dalam perkembangannya—seperti dalam cerita-cerita tentang keberhasilan— terompah buatannya pun lumayan tersohor. Bahkan, akhirnya ia mempekerjakan dua anak buah yang mahir di bidangnya. Sebagai sebuah bentuk peringatan dan kenangan ia menyimpan sepasang terompah usang itu di ruang belakang gerai. Ia senang memandanginya pada saat jam-jam istirahat. Bagaimanapun sepasang terompah itu tak bisa dihilangkan dari bagian hidupnya di masa lalu.

Terlebih hari ini, saat ia memandangi terompah peninggalan Bapak, benda usang yang membekaskan luka jahit di keningnya itu, hatinya dilingkupi oleh rasa haru yang tidak biasa. Ia berusaha menguatkan hatinya lagi agar mampu mengambil sikap yang tepat menghadapi tamunya. Tamu yang datang dari jauh— tamu yang kedatangannya hanya bisa digenapi oleh kenangan.

Meski lebih kurus, namun kumis tebalnya —terutama tatapan matanya yang tampak angkuh— tidak bisa disembunyikan dari ingatannya yang kental. Laki-laki itu datang ke gerainya beberapa saat lalu. Ia bersama seorang anak laki-laki enam tahunan. Setelah beberapa saat beradu tatap, laki-laki itu memeluknya dengan cara yang paling kikuk. Ia sendiri dibuatnya salah tingkah. Ia tidak tahu harus marah atau bahagia. Laki-laki itu adalah Bapak. Bapak yang pergi dari rumah beberapa tahun lalu. Bapak yang meninggalkan Mak. Bapak yang membuatnya harus berbohong tentang penyebab luka-luka di keningnya. Bapak yang diam-diam pernah dirindukannya.

“Bapak senang bisa melihatmu seperti ini. Bapak ikut merasa bahagia.”

“Tak ingin memberi tahu Mak?”

Pandangan mata Bapak tertunduk, seolah menekuni sesuatu yang hanya ada di masa lalu. “Sampaikan saja salam Bapak untuk Mak. Bapak minta maaf kepadamu, juga… kepada Mak,” katanya kemudian.

Dari Paman Dirman, Bapak tahu tempat ini. Dalam pertemuan yang singkat itu, Bapak menceritakan sedikit tentang kehidupan barunya di kota.

“Oh, ya. Ini Anaz, adik kecilmu,” kata Bapak sambil mengelus rambut bocah laki-laki itu.

Ia tersenyum menyapa adik barunya. Bocah laki-laki itu menatapnya keheranan. Dari tatapan bocah itu, ia menemukan sebentuk wajah yang sudah dikenalnya sejak masih kanak-kanak. Tidak salah, itu adalah wajah Bapak. Ia sendiri—kata orang-orang— lebih mirip Mak.

“Bapak tak bisa berlama-lama. Sudah senang bisa melihatmu. Sekali waktu, jenguklah adik kecilmu ini,” kata Bapak berpamitan.

Ia tidak bisa menahan langkah Bapak. Saat Bapak mulai menjauh dari gerai, ia teringat sesuatu. Ia bergegas mengejar Bapak.

“Pak, tunggu. Ini ada sesuatu untuk Bapak… dan adik,” katanya, seraya menyerahkan sebuah bungkusan dengan tangan gemetar. Bungkusan itu adalah dua pasang terompah buatan tangannya sendiri. 

Mataram, 18 Januari 2015


Fajar Sumatera, Jumat, 9 Oktober 2015

No comments:

Post a Comment