Friday, October 30, 2015

Sajak-sajak Tjahjono Widarmanto

Delapan Esai: Percakapan tentang Puisi
*) mengenang Seamus Heaney

1/
tempayan selalu menyediakan perutnya menampung segala air
demikian pun puisi menyediakan baris dan baitnya menampung
air mata luka dan duka kehidupan yang tak sekedar jasmaniah
menampung segala ketegangan dan kejemuan antara yang kuno dan baru

2/
setiap kali puisi disabdakan ia akan menetes bagai air
kadang lembut dan hening melampaui isyarat meditasi
menanggalkan dahaga dan menyiram mekar bunga
kadang pula bagai badai yang gelisah menampar pantai
mengguncang benda-benda menghempaskan teka-teki

3/
setiap suara adalah ruh puisi
segala riuh dan bisik-bisik
juga decitan dan dengungan
adalah sinyal yang terpancar dari puisi
bunyi-bunyi yang mengisyaratkan menyenangkan dan tak menyenangkan

4/
acap kali ditulis puisi akan merambat di udara
berjalan dalam keleluasan perjalanan yang di setiap titik istirahnya
seseorang bisa berkaca kemudian memilih menjadi batu atau air

5/
bahasa butuh perahu untuk merantaukan makna,
puisilah, perahu yang berlayar itu
di antara perasaan gaib dan olah pikir penggoda yang sederhana
sama nilainya dengan: pesona yang takjub dan kemalangan yang meringis

6/
kesahajaan yang cerdas, kerumitan berpikir, dan pertanyaan tentang moral
adalah rayuan puisi memancing segenap lompatan penolakan-penolakan
atau justru pengukuhan-pengukuhan yang terang sekaligus samar
selalu menjadi putaran siklus-siklus tanpa tepi tanpa silam

7/
sebuah puisi selalu dua wajah kebenaran dan kepalsuan
mengungkap kebenaran sekaligus mempertanyakan habis-habisan
tak selalu meyakinkan namun tiba-tiba memungkiri bahkan mengutuknya
kadang dengan menawan dan menyenangkan lantas mengejutkan kengerian
menolak keseragaman berpikir sekaligus menyesali kebodohan dan kepatuhan

8/
puisi adalah hadiah terindah bagi dunia
sebab mengatakan apa yang terjadi dan bagaimana seharusnya terjadi
namun dunia selalu harus dikasihani
sebab ketakpeduliannya pada puisi.

(ngawi)




Pemuja Sajak

“Gusti, berkahilah nyala api!’” teriak mereka berkali-kali

mencoba sopan, kuajukan pertanyaan
“apa yang bisa menyala dengan sajak?”

merekapun menggoyangkan tangan
“kau bukan golongan kami, tak dapat ambil bagian, juga tak dapat bagian!”

bersikap seperti anak manis yang mengharap diberi gula-gula
kuajukan pertanyaan-pertanyaan yang kususun dengan amat hati-hati
karena ku dengar golongan mereka amat peka dengan kata dan suara
“apa yang menyala dengan sajak: pidato kemenangan atau gemuruh tangan terkepal?”

merekapun melotot, menuding-nuding dan dengan muka sedih bergumam
“kau tak berdarah pujangga. tak paham keindahan adalah api yang menyalakan apa saja!”

kehilangan kesantunan aku pun melotot dan memaki mereka
“sajak tak membuat rencana apa-apa! sajak bukan api sebab hanya mencatat.
itupun paling-paling hanya catatan kaki yang kau kutip sedikit-sedikit, seperti
saat kau mengupil hidung atau ngorek lubang telingamu.
bagaimana sajakmu bisa jadi api kalau hanya jadi cermin tempat
kau memoles muka dan dengan genit menepuk dada:aku penyair itu.”

(ketintang)


-----------
Tjahjono Widarmanto, lahir di Ngawi, 18 April 1969. Sarjananya dari Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra IKIP Surabaya (sekarang Unesa), Pascasarjana Bidang Linguistik dan Kesusastraan (2006), saat ini studi di program doktoral Unesa. Selain menulis juga bekerja sebagai Pembantu Ketua I dan Dosen di STKIP PGRI Ngawi, dan menjadi guru di beberapa SMA. Bukunya, antara lain: Marxisme dan Sumbangannya Terhadap Teori Sastra: Menuju Pengantar Sosiologi Sastra (2014), Sejarah yang Merambat di Tembok-Tembok Sekolah (2014), Mata Air di Karang Rindu (buku puisi, 2013), dan Masa Depan Sastra: Mosaik Telaah dan Pengajaran Sastra (2013).

 

Fajar Sumatera, Jumat, 30 Oktober 2015

No comments:

Post a Comment