Friday, October 30, 2015

Berpisah dengan Butet

Cerpen Budi Hatees


KITA akhirnya terpisah meskipun tidak menghendakinya. Perpisahan itu berlangsung bertahun-tahun hingga saya tidak lagi punya keyakinan bahwa suatu saat kita akan bertemu. Saya pun tidak lagi mencarimu ketika pada hari yang cemerlang itu kau muncul di halaman rumah dengan niat hendak membeli salah satu lukisan yang saya buat. 

Hari itu, 1958 pada almanak. Kau pergi ke kanan, saya bergerak ke kiri.  Saya ingin ke kanan, tapi sebuah kekuatan memaksa agar saya ke kiri.  Kau tahu kekuatan itu?  Moncong senapan SS diarahkan ke punggung saya. Saya tahu tak ada peluruh pada magazin, tapi saya ketakutan bukan main. Bukan karena senapan serbu itu, tapi karena orang yang memegangnya, yang mengarahkan moncongnya ke punggung saya, adalah Ja Soimbangon.


Saya mengenal Ja Soimbangon sejak lama sebagai seorang pemabuk yang sinting. Saya sering mentraktirnya minum tuak di lapo milik Ja Tigor, dulu lapo itu berdiri di Lobu Jelok. Tapi sebuah peristiwa politik yang terjadi di Jakarta tiba-tiba mengubahnya menjadi komandan pasukan gerilya, yang memimpin sebanyak tiga puluhan orang, dan bergerilya di dalam hutan di lereng Tor Sibual-buali.  Konon ia diangkat oleh Kolonel Simbolon, pimpinan pemberontakan yang keluar dari kesatuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) karena ingin mengembalikan Negara Kesatuan Indonesia Timur. Tapi tidak seorang pun pernah tahu ada upacara militer untuk pengangkatan itu.

Jabatan baru itu membuat Ja Soimbangon tinggi hati. Ia sangat kasar, bengis, dan tidak mau berkompromi. Senjata di tangannya tidak mampu mengenali siapa pun. Peluruh di dalam magazin sering meletup dan bersarang di dada sembarang orang. Tidak ada ampunan. Ia sangat berkuasa. Ia pula yang menentukan siapa yang harus mati ditembak, dan siapa yang harus diajak bergabung sebagai gerilyawan.

Ia memaksa saya bergabung dengan gerilyawan yang dipimpinnya. Saya sudah menolak dengan alasan bahwa kau masih kecil dan sangat membutuhkan kasih sayang, sedangkan ibumu sudah meninggal. Ja Soimbangon tidak mau tahu. Ia beralasan, setiap orang harus punya pilihan, dan setiap pilihan selalu punya resiko. “Di dalam peperangan, tidak ada seorang pun yang tidak berkorban,” katanya.

“Saya sudah terlalu banyak berkorban.” Saya berusaha mengingatkan Ja Soimbangon bahwa ibumu belum lama meninggal karena terkena peluruh nyasar yang diberondongkan gerombolan pemberontak ke tempat pemandian umum di Aek Lappesong. Di tempat itu, ada satu regu tentara pusat yang dipimpinpin Kapten Sunaryo sedang beristirahat sambil mandi. Gerombolan pemberontak yang dipimpin Ja Soimbangon memergoki mereka, lalu memberondongi regu itu dengan peluruh secara membabi-buta. Salah satu peluruh nyasar ke dada ibumu, yang menyebabkan kematiannya.

Usiamu belum tiga tahun ketika kehilangan ibu. Belum sepekan duka cita itu berlalu, kau harus kehilangan saya. Ja Soimbangon memaksa saya ikut bergerilya sambil mengancam akan menyebarluaskan berita bohong bahwa saya mata-mata tentara pusat jika menolak bergerilya. Ketika itu, siapa saja yang disebut mata-mata, nasibnya tidak akan indah. Saya tak punya kuasa untuk menolak. Saya membayangkan betapa malang nasibmu jika harus kehilangan ayah pula.

Itu sebabnya, saya menerima menjadi bagian dari gerombolan pemberontak yang bergerilya di dalam hutan di Tor Sibualbuali. Di dalam hutan belantara itu, kami menyusun strategi perang gerilya. Kami hanya keluar malam hari setelah beberapa mata-mata dikirim siang hari untuk memantau markas tentara pusat, juga untuk melihat apakah ada penduduk yang menjadi pengkhianat.

Bila kami keluar dari hutan, hal pertama yang akan kami lakukan adalah mencari bahan-bahan makanan di rumah-rumah penduduk. Kami tidak seperti pejuang, tapi lebih mirip gerombolan perampok yang bersembunyi di dalam hutan. Kami terpaksa melakukannya, karena tidak punya lagi bahan makanan. Di dalam hutan, kami menyantap apa saja yang kami temukan. Kami sering makan ular. Rasa dagingnya selalu tinggal seperti serbuk di lidah.
   
Kami hidup di dalam hutan entah berapa lama. Selama itu pula saya selalu berusaha mencari tahu kabar tentang dirimu. Tanpa sengaja, suatu hari saya mendengar kabar kalau kau dipungut salah seorang tentara pusat bernama Muhammad. Ia seorang  prajurit berpangkat rendah, bertugas di pos tentara pusat yang ada di Desa Baringin. Suatu malam saya pergi ke pos itu diam-diam untuk menemui Muhammad. Tapi, laki-laki bodoh itu memberi perlawanan, dan saya terpaksa melumpuhkannya. Sebelum Muhammad menghembuskan nafas terakhir, saya tanyakan keberadaan dirimu. Dari Muhammad saya tahu, kau dipungut salah seorang komandan tentara pusat, dan telah dibawanya ke Medan karena perwira itu dipindahtugaskan ke wilayah tersebut.


Komandan berpangkat letnan itu kemudian pindah ke Jakarta, ditugaskan sebagai komandan untuk pasukan khas yang bermarkas di Cilandak. Saya tidak tahu persis tentang perwira itu. Saya terus berusaha mencari kabar, memastikan bahwa kau benar-ben ar diasuhnya sebagai anak.

Kabar itu tidak kunjung saya peroleh hingga masa pemberontakan berakhir.  Kau tahu kenapa berakhir. Semua karena Ja Soimbangon. Komandan pasukan itu terlalu percaya diri, dan tidak waspada saat beraksi. Suatu siang, tentara pusat memergoki saat Ja Soimbangon sedang menemui seorang janda yang tinggal di Desa Mandurana. Saat sedang bertamu di rumah janda itu, tentara pusat mengepung. Ja Soimbangon diminta menyerah, tetapi ia memilih melawan dan akhirnya mati diberondong.

Kematian Ja Soimbangon menjadi alasan kuat bagi kami—para gerilyawan—untuk menyerah. Kami turun gunung dan mengakui kekeliruan. Kami meminta ampunan. Presiden Soekarno kemudian berpidato di radio, yang menegaskan bahwa pemerintah pusat mengajak seluruh pemberontak untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saya kembali menjadi warga biasa. Sejak itu pula, saya mencari informasi tentang dirimu. Setiap orang yang saya kenal, saya tanyakan kebenaran tentang dirimu. Tak seorang pun yang tahu. Bertahun-tahun saya mencarimu. Saya pernah ke Jakarta, tapi karena saya tidak tahu siapa perwira yang telah menjadikanmu anak angkatnya, perjalanan ke Jakarta menjadi sia-sia.

Akhirnya saya kembali ke kampung dan hidup sebagai pelukis.  Hanya melukis yang bisa saya lakukan. Saya melukis pengalaman selama mengikuti perang gerilya. Saya memilih melukis tema itu untuk menunjukkan kepada siapa saja bahwa saya punya kenangan yang sangat pahit tentang pemberontakan. Saya berharap tidak ada seorang manusia pun yang akan mengalami apa yang saya alami.

Sebuah lukisan yang menceritakan perpisahan kita di persimpangan itu, ketika kau pergi ke kanan dan saya harus bergerak ke kiri, yang saya buat dominan memakai warna hitam dan oranye, mendapat pujian dari para pengamat seni rupa. Lukisan itu kemudian dibeli oleh seorang kolektor yang tinggal di Jakarta, yang kemudian memamerkannya dalam sebuah peristiwa pameran yang digelar di Taman Ismail Marzuki.

Lukisan itu saya beri judul namamu, “Berpisah dengan Butet”.  Konon, media banyak mengulas tentang lukisan itu, dan para kritikus seni rupa memuji goresan dan sapuan kuas pada permukaan kanvas sebagai teknik baru dalam seni rupa di negeri ini.

Saya tak peduli pujian-pujian itu. Saya hanya perduli pada suatu hal, bahwa tema lukisan itu akan menggetarkan hati siapa saja yang punya kenangan pahit tentang pemberontakan. Saya berharap, suatu saat kau akan melihat lukisan itu. Kau akan merasakan getaran yang sama. Getaran itu akan membawamu kepada saya.

Dan, benar, kita akhirnya bertemu setelah bertahun-tahun berpisah. Saya sudah renta saat kau muncul di halaman rumah. Meskipun kau sudah banyak berubah, saya tahu persis bahwa kau adalah gadis kecilku yang hilang bertahun-tahun. Kau tak tahu soal itu, meskipun kau mengaku sangat tergetar ketika pertama sekali menatap lukisan berjudul “Berpisah dengan Butet” itu.

Kau sengaja menghubungiku lewat telepon, dan mengatakan ingin menemui pelukis yang menghasilkan lukisan berjudul “Berpisah dengan Butet” itu. Katamu, kini lukisan itu ada di ruang tamu rumahmu setelah kau membelinya dengan harga mahal dalam sebuah acara amal yang digelar sebuah lembaga sosial yang mengurus anak-anak terlantar korban kerusuhan.

“Entah kenapa, setiap kali melihat lukisan itu, saya merasa tidak asing. Entahlah. Saya merasa seperti pernah mengalami peristiwa yang ada dalam lukisan itu,” katamu.

Saya ingin menangis. Saya ingin mengatakan bahwa kau tidak keliru. Tapi saya tahankan perasaan itu. Saya takut kau tak percaya seandainya saya bicara jujur. Saya tidak ingin kau mendebat, karena hal itu akan membuat impian saya menjadi luluh. Saya ingin menikmati sendiri bahwa akhirnya bisa bertemu dengan dirimu.

“Dari mana asalmu, Nak?” tanyaku.

“Aku anak tentara. Dulu, ayahku pernah dikirim untuk memberantas pemberontakan ke daerah ini,” katanya.

“Siapa nama ayahmu? Siapa tahu saya pernah bertemu. Zaman pemberontakan, saya sudah di daerah ini.”

“Ketika itu ayah masih berpangkat letnan. Ayah pensiun dengan pangkat terakhir mayor jenderal.”

Butet! Saya berteriak dalam hati. Saya ingin meluaskan teriakan saya, tapi saya tahankan. Saya menatapmu, begitu lekat. Sungguh, saya tak ragu lagi, kau adalah anak yang saya rindukan.

Tapi biarlah hanya saya yang tahu soal itu.


Fajar Sumatera, Jumat, 30 Oktober 2015

No comments:

Post a Comment