Friday, November 27, 2015

Gelombang Burung-burung

Cerpen Tjak S Parlan

BARDEM membuka jendela kamarnya. Di luar, cuaca lebih nyaman dengan gerumbul-gerumbul awan seputih kapuk, dilatari biru langit pada angkasa yang terbuka. Sinar matahari yang lebih teduh, memberikan kilau pada bulir-bulir air sisa hujan yang tertambat di rerumputan dan reranting perdu.

Angin menjelang sore terasa segar. Meski begitu, Bardem tak ingin membiarkan dirinya keluar rumah tanpa jaket dan sepatu boots. Baru sehari  ia terlepas dari serangan demam. Lagi pula ia tak mau repot-repot mendengarkan seisi rumah mengomeli dirinya.

Di rumah sepi. Pak Brandon—ayahnya Bardem—pasti sedang mengawasi kuda-kudanya di dekat bukit. Bu Sophia— ibunya Bardem—mungkin sedang di istal, mengerjakan apa saja seperlunya: membersihkan kotoran kuda, memukul-mukul sesuatu dengan palu, menyapu, apa pun, Bu Sophia selalu begitu –atau mungkin di rumah Bibi Maria, menemaninya menyulam. Dan, Minka? Minka datang lagi rupanya. Ini liburan kedua kalinya setelah setahun lalu Minka tinggal lebih lama di rumah Bibi Maria. Minka selalu senang mendengar Bardem bercerita tentang burung-burung.

Hari itu, Bardem berjanji mengajak Minka ke bukit. Mereka akan melihat kelompok burung-burung yang terbang bergelombang-gelombang. Dari atas bukit mereka bisa melihat burung-burung yang membentuk kelompok-kelompoknya sendiri, terbang berputar-putar di angkasa yang terbuka. Sebulan lalu, melalui kartu pos yang tiba Jumat sore, Minka bertanya soal burung-burung itu dalam sebuah kalimat pendek. Bardem membalasnya dengan sebuah surat yang panjang. Ia bercerita soal kelompok-kelompok burung-burung itu, mengenai manuver-manuvernya yang menawan dan beberapa kali bentukan formasi yang indah. Ia bahkan sempat mencatat jumlah acak burung-burung itu di setiap kelompoknya. Bardem menutup suratnya dengan sedikit menyinggung soal kuda-kuda piaraan ayahnya. Ia sengaja tak berpanjang-panjang cerita soal kuda itu, karena teringat insiden kecil di sebuah sore yang menimpa Minka— Minka terjatuh saat mencoba menaiki seekor kuda.

Namun, ada hal lain yang tak diceritakan Bardem dalam suratnya. Bardem menyebutnya sebagai sebuah ‘rahasia dari bukit’.

“Ini tidak seperti yang kamu bayangkan,” bisik Bardem seolah menyimpan sebuah rahasia besar. “Kamu tidak akan percaya kalau aku menceritakannya. Aku pernah menceritakannya pada ibuku, tapi ia tidak percaya. Kamu akan melihatnya sendiri nanti.”

Minka mengangguk serius. Ia menutup pintu pagar rumah Bibi Maria dan berjalan mengikuti Bardem ke arah bukit.

 “Baiklah Tuan Penunggu Bukit. Tak lama lagi, aku akan melihat rahasia besarmu itu,” kata Minka.

Di bukit, angin terasa lebih melimpah. Kuda-kuda Pak Brandon masih tekun merumput di kejauhan. Beberapa tampak girang berkejaran. Yang lainnya seperti sedang tiduran. Rumah Bibi Maria tampak lebih kecil dibanding rumah Pak Brandon yang sedikit terlindung barisan pohon cemara. Bardem dan Minka duduk bersebelahan, bergantian memandang ke kejauhan dengan teropong tua. Teropong tua itu diberikan Paman Nero pertama kali ketika Bardem berumur lima tahun. Ibunya pernah bercerita, kalau teropong itu dulunya sering dibawa Paman Nero ketika sedang mengikuti kakek—Pak Boris Tua— menggembalakan kuda-kudanya di peternakan. Paman Nero adalah saudara laki-laki Bu Sophia yang bekerja di kota.

“Kau lihat yang di sebelah sana itu?” kata Bardem seraya menunjuk di langit yang jauh. “Dari sanalah kelompok pertama itu sering muncul.”

Di kejauhan tampak titik-titik hitam yang bergerak perlahan. Titik-titik hitam itu terus berputar-putar, ke kiri dan ke kanan, turun-naik, naik-turun. Pada saat-saat tertentu titik-titik hitam itu menjadi sedemikian rapat, meliuk-liuk seperti tarian gelombang di kejauhan, timbul-tenggelam di antara gerumbul awan.

“Hoi! Aku juga melihat di sana. Itu, di sana. Sini, mari teropongnya!” ujar Minka kegirangan.

Bardem segera memberikan teropong tua itu kepada Minka. Minka menyambutnya dengan tak sabar. “Lebih jelas sekarang. Lebih jelas. Hoi, burung-burung!” teriak Minka seraya melonjak-lonjak.

“Tunggu lebih dekat. Nanti akan banyak yang lainnya. kita akan menghitungnya,” sambut Bardem tak kalah girang

Tak butuh waktu lama, burung-burung yang lainnya mulai membuat kelompok-kelompok. Burung-burung itu datang bergelombang-gelombang dari arah yang berlainan. Mereka membuat gerakan menyisir dalam sebuah putaran. Berulang-ulang. Berbaris tiga-tiga, empat-empat, lima-lima dan seterusnya.

Mereka terus berputar-putar menjaga keutuhan kelompoknya. Sejenak pun, tak ada yang terbang sendiri-sendiri. Mereka tetap setia membuat lingkaran, datang bergelombang-gelombang dari arah yang berlainan. Sesekali mereka melebarkan putarannya, terbang sedikit merendah, belok kiri-kanan. Lalu dengan keanggunan yang hanya bisa dilakukan oleh keunggulan jenisnya, burung-burung itu terbang meninggi mengejar awan-awan tipis yang terserak di sana-sini.

“Satu, dua, tiga, empat…”

“Sepuluh, empat belas yang sebelah sana. Itu di sana!”

Bardem dan Minka terus berusaha menghitung burung-burung itu dengan kegirangan masa kanak. Hingga senja turun sepenuhnya dan burung-burung itu kembali ke sarangnya, mereka baru turun dari bukit. Bardem dan Minka berpisah di depan rumah Bibi Maria. Mereka sepakat keesokan harinya akan pergi ke bukit itu lagi. Bardem akan membawa teropong tuanya. Minka berjanji akan membawa serta pensil dan buku gambarnya.

“Aku akan menggambar burung-burung itu,” katanya, “eh, tapi ngomong-ngomong, mana rahasia yang akan kau tunjukkan itu?”

Bardem menggaruk-garuk kepala. “Sebenarnya hanya sebuah pesawat kecil. Mungkin helikopter. Beberapa kali aku pernah melihatnya berputar-putar sambil menyemprotkan sesuatu yang berwarna putih.”

“Oh, hanya seperti itu? Dasar, kau ini!” kata Minka seraya membuat gerakan pura-pura memukul.

Bardem tersenyum usil, lalu bergegas menuju ke rumahnya yang tidak seberapa jauh dari rumah Bibi Maria.

***

Sejak berpisah hari itu, Minka tak pernah datang lagi ke tanah peternakan. Minka bahkan tak menepati janjinya menggambar burung-burung itu. Beberapa minggu setelahnya, Bibi Maria –yang pergi bersama Minka ke kota pagi harinya— menjelaskan, bahwa Minka mendapat telepon mendadak dari ayahnya agar segera pulang. Katanya, ayahnya menerima sepucuk surat yang sangat penting. Beberapa orang—tak terkecuali ayah  Minka— terkadang harus pergi ke tempat yang jauh sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap isi sebuah surat penting. Belakangan, dua puluh tahun berikutnya,  ketika ia bertemu Minka kembali, Bardem baru paham apa yang dimaksud dengan ‘tanggung jawab’ dalam surat itu sendiri. Minka tidak terlalu detil menjelaskan segala sesuatunya. Tapi Bardem cukup lega mengetahuinya bahwa saat itu Minka memang harus mengikuti ayahnya pindah ke kota yang lebih jauh.

“Jadi, kapan kau akan kembali?” tanya Bardem.

“Secepat mungkin. Sepertinya Bibi Maria sudah siap. Awalnya, agak susah membujuknya. Aku semakin mencemaskan kesehatannya,” jawab Minka.

“Aku dengar sebagian besar yang tinggal di permukiman sudah mengungsi,” kata Bardem, sesekali menahan batuk.

“Kau sendiri bagaimana?” Minka balik bertanya.

Bardem merapatkan masker yang menutupi sebagian wajahnya. Tali masker itu  tampak longgar di wajahnya yang tirus. “Entahlah, yang penting ayah dan ibuku sudah lebih aman di rumah Paman Nero,” katanya seraya merebahkan tubuhnya di atas rumput kering.

Angin kering yang dingin berhembus ke arah bukit. Minka merapatkan jaketnya  sambil memandang ke kejauhan. Kuda-kuda Pak Brandon— yang kini sepenuhnya diurus Bardem— yang sedang merumput, tampak kabur dalam jangkauan jarak panjang. Terkadang Bardem harus membawa kuda-kuda itu agak jauh dari tanah peternakan milik ayahnya. Kemarau panjang membuat rumput-rumput di sekitar peternakan jadi mengering. Bibi Maria sendiri harus merelakan kuda-kudanya. Ayah Minka yang tak lain adalah saudara laki-laki Bibi Maria berhasil membujuknya untuk menjual kuda-kuda itu. Sejak suaminya pergi tanpa alasan yang jelas puluhan tahun yang silam, Bibi Maria harus mengurus kuda-kudanya sendirian. Betapapun begitu, Bibi Maria tak pernah mengeluh. Ia bahkan yakin bahwa suatu saat suaminya akan kembali ke tanah peternakannya. Hingga akhirnya situasi mulai tidak menguntungkan dan Bibi Maria harus pindah ke rumah orang tua Minka. Bardem sendiri tidak pernah bertemu dengan suami Bibi Maria itu. Bardem mendengar cerita soal itu dari ibunya ketika ia masih kecil.

“Hei, apa ini teropong yang dulu itu? Waktu kita melihat burung-burung itu kan?” tanya Minka tiba-tiba.

Bardem mengangguk. Ia tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi tertahan oleh batuk yang menyerangnya. Belakangan saluran nafasnya sering terganggu.

“Batukmu semakin parah sepertinya. Saranku, sementara waktu kau harus meninggalkan tempat ini,” kata Minka.

“Jika aku pergi, bagaimana dengan kuda-kuda itu?” jawab Bardem.

Minka tak menjawab. Ia tampak berpikir keras. Diarahkannya teropong tua itu ke lembah. Kabut asap mengepung segalanya: sekawanan kuda yang sedang merumput, rumah Pak Brandon dan rumah Bibi Maria yang semakin tua, barisan pohon cemara di dekat istal. Saat ia mengalihkan pandangannya ke langit, ia tak mendapati angkasa yang lapang dan terbuka. Segalanya tampak putih, berat, dan pengap.

“Kapan yang seperti ini akan berakhir?” gumam Minka.

“Nanti, jika burung-burung itu terbang lebih tinggi,” jawab Bardem. “Beberapa hari ini aku mendengar deru pesawat yang berputar-putar. Semoga mereka bisa menembus lahan terbakar yang di sebelah sana.”

“Kau yakin?”

Bardem bergeming. Angin kembali melimpah di bukit, dan terasa lebih dingin. Minka merogoh sesuatu dari balik jaketnya. Ia mengeluarkan sebuah gulungan berwarna putih dan memberikanya kepada Bardem.

“Cob kau lihat. Ini untukmu.”

Bardem bangkit dari tidurnya. Perlahan ia membuka gulungan itu. Sebuah lukisan pemandangan lembah. Sekawanan kuda tampak kecil-kecil sedang merumput di kejauhan. Ada sebuah bukit kecil dengan dua anak kecil sedang menatap ke langit. Langit sore yang lembayung tersaput tipis-tipis awan putih. Lalu berlarik-larik gelombang berwarna hitam. Mula-mula gelombang dengan titik-titik hitam, selanjutnya titik-titik itu membentuk gelombang burung-burung.

“Demi Tuhan, ini pernah terjadi. Bagaimana kau melakukannya?” tanya Bardem seolah tak percaya. 

“Dengan ingatan. Maaf, sore itu aku tak bisa datang. Sekarang janji itu kutepati,” jawab Minka.

Bardem teringat kembali, Minka pernah berjanji membawa pensil dan buku gambar ke bukit itu. Minka berharap bisa melukis gelombang burung-burung itu keesokan harinya setelah pertemuan terakhir mereka saat itu.

“Terima kasih. Jadi, kau seorang pelukis, ya?”

“Bukan, aku mempelajari nama pohon-pohon,” jawan Minka sambil tersenyum.

Jika langit sedang cerah, sebenarnya sore masih cukup panjang. Tapi segalanya di tempat itu menjadi putih, berat, dan pengap. Kabut asap segera menyamarkan sosok mereka saat menuruni bukit. 


Fajar Sumatera, Jumat, 27 November 2015

No comments:

Post a Comment