Friday, November 13, 2015

Rumah Masa Lalu

Cerpen Risda Nur Widia


USAI pensiun sebagai guru sekolah dasar Lasmi menetapkan hati untuk tinggal pada sebuah desa di pinggiran kota Rangkasbitung. 60 tahun ia saat ini. Genap usia yang tak lagi bertenaga, tetapi matang pendirian untuk memastika pilihan hidup kalau: ia hanya ingin menghabiskan sisa umurnya pada sebidang tanah yang dibelinya dahulu dengan harga murah. Tak terlalu luas memang. Namun di sanalah ia mendirikan sebuah pondok kecil. Sederhana. Penuh dengan kenangan. Dan pintal harapan masa tua yang menenangkan.
   
Ada sebuah nisan orang tercinta di belakang rumah itu. Makam suaminya. Lasmi menguburnya di bawah pohon gandaria; pohon tua yang telah ada sebelum Lasmi membeli tanah tersebut. Sejuk tempatnya. Sering pula Lasmi menghabiskan waktu luang hanya untuk duduk di sana sembari memerhatikan cakrawala. Apalagi ketika malam musim kemarau. Betapa angin begitu berharga; langit berdandan gulita dengan beribu-ribu intan; derik-derik serangga malam; dengung suara anak-anak kecil yang mengaji di surau. 


Setelah suaminya meninggal lima tahun lalu, Lasmi memang hidup seorang diri. Kedua anaknya tak lagi tinggal bersama. Mereka semua merantau di tanah jauh. Anaknya yang pertama misalnya, ia adalah seorang tentara; berpangkat jendral. Dan saat ini tinggal di Jakarta. Anaknya yang kedua, telah menikah dengan seorang bangker Jepang; tinggal di Osaka.  Pelak, tak ada seorang pun yang menemani masa tuanya di Rangkasbitung.

Namun Lasmi tak sekali pun kecil hati. Ia tidak pernah merasa sendiri. Malah nyaman ia tinggal di dalam kesunyian gubuk mungilnya. Bahkan, ia sering ingin mengakhiri perjalanan hidupnya di rumah yang sederhana tersebut. Di kota Rangkasbitung. Di samping makam suaminya. Ketiga anak Lasmi pun bukan tidak peduli dengan nasibnya. Dua anaknya: Paryo dan Siska, kerab menawarinya untuk menjual tanah dan gubuk kecil tersebut. Lantas hidup bersama mereka di kota. Tetapi Lasmi selalu menolaknya. Halus.

Kata kedua anaknya seragam setiap kali membujuk Lasmi untuk pindah. “Tanah ini bisa dijual dan ibu tinggal bersama kami di Kota.”

Lasmi menolaknya lembut. Tak tertinggal seulas senyum yang selalu merekah hangat dari sudut bibirnya. “Tidak. Ibu sudah nyaman tinggal di sini. Ibu merasa tenang walau seorang diri.”

Raut kekecewaan terpampang di latar wajah anak-anaknya. Mendengus pula kedua anaknya mendengar penolakan itu. Akan tetapi mereka tidak jengah merayu; terus memaksa, agar Lasmi mau ikut pergi ke kota. Tinggal bersama. Dan selalu gagal. Karena acap tak berhasil membujuk Lasmi, kedua anaknya akan mengeluhkan hal yang sama: “Apakah karena makam ayah, maka ibu ingin terus bertahan tinggal di sini. Seandainya itu yang memberatkan ibu untuk pergi bersama kami, makam ayah bisa kami urus untuk dipindahkan.”

Lasmi terpekur. “Tidak! Bukan karena itu!”

“Lantas karena apa, Ibu?”

Ketiga orang itu terdiam. Bibir Lasmi pun ikut lelap tanpa penjelasan. Pertanyaan yang disodorkan itu seakan memang tak pernah memiliki jawaban. Terburai pikirannya bingung. Tetapi pada lamunannya, hati Lasmi sering berkata: //aku tinggal di rumah kecil ini bukan karena kuburan suami di bawah pohon gandaria. Bukan! Kuburan bagiku bisa dipindah kapan; dan di mana saja. Di dalam kuburan tinggallah jasad yang telah membusuk. Sedangan roh sumiku sudah berada di tempat-Nya. Kuburan hanya tapak tilas: tempat berbaring terakhir manusia di bumi. //

***

Pernah tanah Lasmi yang tak terlalu luas ini menjadi korban penggusuran. Tanah berukuran 70x20 meter ini di potong sebagian. Lantas dibangung sebuah jalan raya. Halaman rumahnya mengecil. Pun petak kebun di depan rumah semakin menyempit. Beberapa pohon mangga, nangka, dan bunga mawar kesukaan suaminya tergilas oleh aspal dan matrial beton. Seluruhnya terlihat gersang.

Tetapi untunglah, pemerintah masih mengganti kerugian yang Lasmi emban. Dengan sisa-sisa matrial: pohon mangga, nangka, beberapa batang bambu, genteng, paku, dan uang ganti rugi yang tak seberapa; Lasmi dapat kembali membangun rumah kecilnya. Empat kali lima meter. Terlihat rapuh. Sisa halaman rumahnya pun Lasmi tanami sebuah pohon pepaya, dan rumpun pisang tanduk. Rumah kecil itu kembali berdiri; bangkit dengan seluruh keiklhasan hati Lasmi. 

Kondisi rumah yang memerihatinkan sama sekali tidak mengurangi ketenangan Lasmi. Wanita tua itu malah semakin nyaman tinggal di tanah yang telah terpangkas tersebut. Setiap malam ia masih sering berbicang seorang diri di bawah pohon gandaria; menyaksikan bintang-bintang di tengah malam musim kemarau.

“Belasan tahun aku tinggal di sini, tak ada yang berubah. Aku tetap tenang dan nyaman. Rumah ini begitu berharaga. Walau waktu itu aku harus menabung untuk membeli tanahnya.”

Lasmi mengerling ke arah makam suaminya; menempelkan senyum manisnya di sana. Hangat. Lasmi berpikir: //mungkin roh suaminya sedang memerhatikannya; memadangnya penuh rindu di langit.// Lasmi pun semakin yakin untuk tinggal, dan menghabiskan usia tuanya di rumah yang telah menyempit itu.

***

Kedua anak Lasmi: Paryo dan Siska, selalu mendebatkan kesengsaraan Lasmi tinggal seorang diri di desa kecil, di pinggiran Rangkasbitung. Walau hakikinya Lasmi tak pernah merasa merana, atau sengasara tinggal di sana. Bahkan pada sebuah pagi yang tak terduga, kedua anaknya datang secara mendadak. Mereka meluangkan waktunya yang padat di kota hanya untuk sekedar berkumpul; mengenang kebersamaan ketika masih menjadi keluarga yang utuh.

Siang harinya setelah makan bersama dengan lauk seadanya, Lasmi menceritakan pada mereka tentang perjalan hidupnya di Rangkasbitung. Mereka tampak takzim mendengarkan tentang keseharian yang banyak Lasmi habiskan untuk: membaca, menulis, dan termenung di bawah pohon gandaria pada malam hari. Terkadang ia membacakan sajak-sajak kesukaan suaminya dahulu di samping makam.

Tanya Siska dengan mata berkaca-kaca. “Apakah ibu sunguh-sunguh mencintai Rangkasbitung?”

Jawab Lasmi yakin. “Ya. Aku sangat cinta tempat ini.”

Paryo menyelipkan pertanyaan susulan. “Apakah karena makam ayah di sini?”

Pertanyaan itu lagi, pekik Lasmi. Ia membusungkan senyum kepada mereka. Tetapi kali ini ia mencoba untuk menjawab; memberikan alasan yang jelas kepada anak-anaknya. “Tidak. Aku tinggal di sini bukan karena itu. Bisa saja aku dahulu meninggalkan tempat ini, kemudian pindah dan melanjutkan hidup ke tempat yang lebih baik.”

Tukas Siska lagi. “Lantas apa yang membuat ibu betah tinggal di sini?”

“Betul! Bukankah kalau ibu tinggal di kota akan lebih enak daripada di sini. Di kota semuanya ada,” tambah Paryo.

Lasmi terhenyak. Ia menelan ludah getir. Bukan itu yang Lasmi cari. Hidup tak sekedar damai di tengan kesegalaan yang tercukupi. Lirik matanya berpindah; mengerling ke arah daun pintu yang terbuka. Suasana di luar tampak ramai. Dengung suara kendaraan umum berseliweran; membawa penduduk serta bule untuk berwisata.

Debu pun beserak tak karuan tertiup angin. Daun-daun pepaya gugur, lantas kering terkena cercah sinar matahari. Dan pada saat itulah, Lasmi seakan dapat melihat pintu semesta yang terbuka; terpampang diorama jagat alam raya. Lasmi seakan masuk ke dalam pangkuan-Nya, syhdan mendengar dengingan suara-suara lembut: gemersik daun, tampias air hujan, desir ombak. Lasmi kembali dapat menghirup semerbak aroma minyak wangi orangtuanya, serta kulit suaminya.

“Entahlah? Namun ada sesuatu...,” lanjut Lasmi mendesis.

Lasmi memang tak pernah tahu, musabab apa yang sedang ia cari di dalam rumahnya. Yang jelas bukan segala yang mencukupi diri. Karena bila ia mencari itu, Lasmi pernah melakukannya di waktu lain dahulu. Selain menjadi guru SD, Lasmi juga pernah menjadi pengurus restoran dan pegawai sebuah bank di kota. Tetapi itu semua hanya melengakapi hidup.

“Kalau tak ada: mengapa ibu masih kukuh ingin tinggal di sini?” Siska, anak perempuannya terus mengejar.

“Entahlah, Nak. Di sini ibu merasa sangat nyaman. Rangkasbitung memang bukan ibu kota seperti Jakarta atau Osaka yang ramai. Tetapi di sini, ibu mendapat ketenangan hidup yang tak pernah ibu dapatkan ketika muda dahulu. Ibu memiliki sebuah alasana untuk pulang.”

Kedua anaknya: Paryo dan Siska tertonggok. Mereka berdua telah putus asa merayu. “Pulang?”

“Ini mungkin soal cinta,” Lasmi mendekat ke arah Siska yang matanya selalu indah walau sedang bersedih. Mata yang diturunkan oleh suaminya. “Ibu benar-benar sudah jatuh cinta dengan kota dan rumah ini. Tempat yang penuh kenangan. Bahkan Ibu ingin berpesan pada kalian nanti: jika ibu meninggal pulanglah. Jangan jual tanah ini. Dan kuburlah ibu di samping makam ayahmu.”

Mereka menggeleng tak mengerti. Lasmi menyeringai.

“Ahh, betapa sulit menjabarkan persoalan cinta. Karena cinta itu seperti roh. Dan peristiwa yang terjadi di dalam roh. Sukar sekali dijelaskan dengan akal. Kita hanya bisa melukisnya lewat bayang-bayang yang ragamnya berlaska-laska. Kita hanya mampu mengalami  atau melewati pristiwa itu. Dan, seandainya kalian bisa merasakannya juga...”

Leher Lasmi tertunduk. Air mata datang tanpa diundang. Mereka pun akhirnya dapat mengerti posisi Lasmi yang rumit. Tiga hari kemudian, mereka meniggalkan Lasmi seorang diri di Rangkasbitung; menikmati ketenangan dan kesunyain yang bergelayut pada hari tuanya.

***

Derit sarangga malam menyergah. Dengung anak-anak mengaji terdengar lamat-lamat dari surau yang tak jauh dari rumah. Malam berjelaga; perlahan menua di atas pohon gandaria. Lasmi pun merasa sedang duduk di hamparan sabana; memperhatikan gemerlap gejora di malam musim kemarau. Desau pawan menyebul. Begitu lembut; menggoyangkan daun-daun pohon tua tersebut. Lasmi merasakan kedamaian. Dan air matanya mentes.

Ia menerawang; mencoba menggapai-gapai jalan pikirannya. Mengapa ia ingin terus tinggal di rumahnya yang sempit ini? Apakah karena seluruh kenangan yang sampai kapan pun tak dapat digantikan? Pada lamunannya, ia merasakan hangat pelukkan gaib yang membuatnya tenang untuk duduk lama di bawah pohon gandaria; di samping makam suaminya. n

Catatan:
Cerpen ini berangkat dari ide puisi WS Rendra, Orang Biasa.

Fajar Sumatera, Jumat, 13 November 2015

No comments:

Post a Comment