Friday, November 6, 2015

Sajak-sajak Hudan Nur

Ekspeditor Laut Cina Selatan

hati manusia sudah disekap megalumbago di musim kemarau. anak-anaknya tumbuh menjadi berhala. setiap pagi mereka ke utara melarung masa lalu. cuaca seperti cerita nenek moyang yang telah punah.

inilah kabar hari esok bagimu, bunga liar. satu dari mereka mengirim surat kepada hari, mereka ketuk pintu langit dan menyaksikan senja yang mabuk dan gagal mencumbu rembulan. adalah kau kilang purba yang selalu lingsir dikecai gerimis kelelakiannya.

ya pelawa,

kamulah yang kemarin berlumang di bibir laut cina selatan. angin mencubit pipi kirimu dan ombak membungkuk mengekalkan permintaanku.



Ilalang Mengekah di Musim Halba

musim sudah kupulangkan untuk mencari alamatnya sendiri. mengaitkan kenangan lewat layang-layang sempalai yang berkaca-kaca itu.

telah bermakam beribu sajak di sini, bergelimang megaluhung yang mengoyak jarak dan menghadiahi batu-batu halimun. malapancaka berkepang dadu telah kusampaikan lewat panus rima tak berkesudahan.

Ya, ilalang musim kemarau

kamulah yang terbaring di mataku mengumbar rindu-rindu sakaguru mengantongi paramasastra yang berkecai di pikiranku.



Batuah

gerimis di punggung masjid martapura telah lengkap dalam ingatan perempuanku. kami duduk di pelatar jalan memanggul matahari yang sekepala.

di barisan itu nampan menjejerkan gabus dan sahabatnya yang luntang lantang menukilkan takdirnya yang sangsai. kasturi dan dukupun bertukar tempat. aku berkitar-kitar menghempaskan angin menyudahi takdirnya. puisi-puisi kupulangkan bersama kiloan waktu yang luruh menyerempet ke rumahmu.

mengitari batuah adalah rampak yang tak sudah-sudah. ia terus mengekal di pundak sajak-sajakku yang mega.


Khitah Hari Ini

mendamik nada-nada yang punah itu seperti mendengar para cenayang mengisahkan nasibku hari ini. ketika pohon-pohon sekepala tersesat di labirin kehidupan, anak-anak berhati berhala tumbuh subur diantara sawit dan perkebunan karet.

dalam sekejab aku tertidur, malam menjadi api, dan senja mengoyak paralisis ingatan dunia yang berlumang di kacamataku. bongkahan batu-batu berpendar disepanjang musim, ia seperti tak habis-habis dikoyak, dibredel.

persis 40 tahun yang lalu, saat kabut asap pertama datang di pulau ini. nenekku masih ingat, zaman kecimus yang serba asri para penguasa itu masih bau ketek. mereka main bakar-bakaran, perang-perangan, dan musnah-musnahan. lalu dibangun istana, kastil yang mahamegah sekadar melumpuhkan ingatan alam akan takdirnya yang karam.

oya, barangkali adil bersikap karma. hari ini tuanku penghulu pulau ini semuanya disekap penyakit mematikan. khunsa yang mereka bunuh telah menebarkan bibit kesialan. mereka tidak bisa makan, dilarang bepergian, dikekang aturan, seperti mimesis landak yang berbulu domba, ular berkepala ayam, dan serigala yang mengembik!  


---------
Hudan Nur, lahir di Banjarbaru, 23 November 1985. Ia menerima hadiah sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan (2012). Buku puisinya: Si Lajang dan Tragedi 3 November. Sajak-sajaknya yang lain dimuat di berbagai media dan antologi bersama.

 

Fajar Sumatera, Jumat, 6 November 2015

No comments:

Post a Comment