Friday, November 6, 2015

Yang Semakin Hilang

Cerpen Yuli Nugrahani


SEBELUM aku bertemu Rino, aku sangat suka berada di sekitar Bioskop Megaria. Gedung putih ini selalu menarik, entah untuk melewatinya, nongkrong di depannya, atau apa saja. Melihatnya saja sudah membuatku seperti kembali pada masa lalu, pada saat semangatku masih utuh untuk menggerakkan tubuh mudaku.

Aku tahu sejarah Megaria karena tempatnya dekat dengan rumah tinggalku. Banyak orang bilang aku ngawur mengarang cerita, tapi sungguh, aku bicara sebenarnya jika aku bilang aku tahu tentang hal ikhwal gedung ini.  Kakek buyutku adalah pemilik sebagian tanah di mana gedung itu dibangun. Walau aku tidak bisa menunjukkan buktinya, tapi memang begitulah kebenarannya.

Bahkan ketika gedung itu diresmikan, aku ikut hadir. Tentu saja bukan di deretan depan dengan jas hitam, dasi kupu-kupu atau sepatu Bally. Aku ada di sana, jauh di belakang, bersama rombongan orang-orang sekampungku.

Peresmian gedung film ini adalah peristiwa yang luar biasa. Banyak pejabat datang menyaksikan peristiwa hebat ini. Setelah cukup lama gedung itu dalam proses pembangunan, terhenti karena situasi negeri yang tidak stabil, akhirnya gedung itu diresmikan. Syukurlah, gedung ini diresmikan saat Indonesia sudah merdeka, dan syukurnya lagi, gedung ini tidak ikut dirusak saat ada peralihan kekuasaan yang dalam bayanganku menyisakan kenangan-kenangan buruk. Pengalaman tahun 1940-an bukanlah pengalaman enak bagi anak-anak keci. Orang mengingatnya sebagai perang kemerdekaan, tapi kenyataannya itu lebih seram dari sekadar rasa lapar yang menyengat, tidur yang tidak nyaman, waktu bermain yang penuh kekuatiran dan pakaian yang penuh kutu. Jadi lupakan saja.

Aku ingin mengingat peristiwa yang menyenangkan saja, dan peresmian bioskop termasuk bagian yang tak mungkin dilupakan. Orang-orang hebat hadir dengan pakaian-pakaian parlente. Aku tidak akan pernah lupa peristiwa luar biasa itu, karena pada saat itulah aku jatuh cinta untuk pertama kalinya di umur 12 tahun, pada seseorang yang hadir pada peresmian itu. Perempuan yang menarik hatiku itu melintas sekitar 10 meter di depanku, sangat cantik dengan baju kebaya dan kain yang tepat di tubuhnya. Duhai. Aku belum pernah melihat perempuan seperti itu sebelumnya.

Lihat saja caranya bersenyum. Kenapa bisa seperti itu jadinya sebuah senyuman ya? Sangat bagus. Seperti ditata, ditarik oleh ribuan tangan malaikat, sehingga ujung-ujung bibirnya yang penuh terangkat dengan manis. Lekukan ujung bibir itu mendorong kulit-kulit pipinya menggumpal dan menyembullah dekik cantik di kedua pipinya.

Perempuan itu tidak kurus, juga tidak gemuk. Wajahnya bulat segar menyiratkan keramahan. Dengan santun dia menoleh ke kanan dan kiri membalas sapaan orang-orang yang ada di sekitarnya. Cara berjalannya begitu anggun, menapakkan kaki dengan hati-hati di  pelataran gedung baru itu.

Di antara sekian banyak orang, wajahnya yang bersinar menarik jantungku ke segala arah, mengembang, menciut, berdebar-debar. Aku merangsek ke depan untuk mengamatinya lebih lama. Rasanya tidak rela kehilangan tubuhnya ditelan keramaian. Tapi orang-orang dewasa di depanku juga tidak rela tempatnya terebut olehku. Mereka pun ingin tetap berada di deretan depan, dan menutupi pandanganku.

Orang-orang berbisik,”Itu Rahmi. Ibu Rahmi.”

“Rahmi siapa ya?”

“Sembrono! Sopanlah sedikit. Itu istrinya Pak Hatta!”

Astaga! Hatiku langsung luruh. Pantas sekali jika Pak Hatta, wakil presiden negaraku memiliki istri yang begitu anggun, cantik, sederhana, dengan senyum yang selalu mengembang di wajah bulatnya. Alisnya. Aduh. Bagaimana bisa mengatur alis menjadi seperti itu? Badanku panas dingin saat itu. Antara bangga sekaligus nelangsa.

Katanya Pak Hatta tinggal tidak jauh dari tempatku. Berarti Bu Rahmi juga pasti sering berada di sekitar rumah tinggalku. Tapi mereka adalah kalangan yang lain. Dengan tembok pembatas dan pengawal-pengawal. Aku tak mungkin bisa mengenal mereka lebih dekat lagi. Aku jatuh cinta sekaligus patah hati pada Bu Rahmi. Aku tidak berani bermimpi lebi lagi. Tapi aku mengingat peristiwa itu, tepat saat bioskop pertama di Indonesia ini diresmikan, dan saat itu umurku 12 tahun.

Pengguntingan pita mengawali peresmian gedung itu. Aku melihatnya! Orang-orang bahkan cucu-cucuku tertawa kalau aku cerita tentang itu. Mereka tidak percaya bahwa aku ada di sana ketika pengguntingan pita dilakukan. Ya, memang aku tidak pernah masuk ke gedung untuk nonton film di situ. Kata Emak, orang seperti aku tidak bisa masuk ke dalamnya. Kalau ingin masuk ke sana harus pakai sepatu, sedang terompah pun aku tidak punya. Dan Emak menandaskan, kalau mau nonton di situ harus bayar! Kami tidak punya uang. Jadi aku memilih nonton film di lapangan saja, gratis dan boleh hanya pakai sarung saja.

Sebanyak apa pun kuceritakan kisah itu, mereka tak lagi mendengarkanku. Bahkan ketika aku mengingatkan mereka tentang Bendera Merah Putih yang selalu berkibar di sana, mereka cuma tersenyum sambil menggeleng-geleng. Soal rasa cintaku pada Bu Rahmi, lebih-lebih, tak akan dipercaya oleh mereka.

“Tanya Sukro kalau tidak percaya. Dia temanku bermain di sana. Kami sering dimarahi mandor-mandor tapi kami tetap bermain di sana saat gedung itu dibangun. Tanya Sukro! Jangan tertawa! Apa? Sukro sudah mati?”

Aku selalu sedih mendengar kematian seseorang. Apalagi kalau yang mati adalah Sukro, teman dekatku. Teman mainku. Air mataku tak bisa kutahan.

“Kek, orang itu sudah mati lima tahun yang lalu. Gak usah menangis lagi.”

Aku tabok kepala cucuku itu. Tadi tidak percaya saat aku cerita aku hadir dalam peresmian gedung Bioskop itu, sekarang melarangku menangisi kematian sahabat dekatku. Anak tak berguna! Aku harus memakinya supaya dia paham menghargai orang lain.

Baiklah mereka tidak mempercayaiku. Baiklah, tak apa-apa. Kadang aku masih ingin ketemu lagi dengan Rahmi, eh Bu Rahmi yang cantik itu. Tapi sejujurnya sekarang aku  tidak mau lagi berjalan lewat gedung itu atau nongkrong di situ. Lebih baik tidak ke sana lagi untuk kepentingan apapun! Bukan karena katanya gedung itu mau dijual. Itu sama sekali bukan urusanku. Atau karena diusir anaknya Saleh. Ah, itu kan aku sudah tahu aturan mainnya. Jadi kalau aku sampai masuk ke sana dan diusir olehnya, ya sudah sewajarnya.

Rino aku jumpai di seberang Megaria, dalam posisi sedang jongkok, kadang berdiri, atau mondar-mandir di situ. Wajahnya jauh memandang ke halaman dan gedung Megaria dengan galur-galur di pipinya bekas kotoran bercampur air mata. Ketika aku lihat dia menangis tersedu-sedu sangat lama, aku mendatanginya. Dia malah berteriak-teriak ketika aku datang dengan terpincang-pincang.

“Ayaaah! Ayah...”

Dia mengeluarkan panggilan itu sambil menangis, melambai-lambai serabutan ke arah Megaria. Menduga dia ingin menyeberang, aku pegang tangannya. Kulitnya hangat seperti demam. Tapi dia berontak, kukuh bandel berdiri di tempatnya.

“Ayahmu di sana?”

Dia tetap di posisinya, memanggil ayahnya berulang kali, terus menangis, terus melambai. Aku ikut mengamati arah Megaria. Adakah laki-laki di sana? Yang mana yang dia maksud sebagai ayahnya?

“Mari aku antar. Apakah ayahmu di sana?”

Seolah suaraku hilang ditelan angin, tak didengarnya. Posisinya tak berubah. Memanggil ayah, menangis, melambai.

“Ayolah!”

Aku berusaha merayu. Dia malah duduk, dengan tangis tak berhenti. Aku ikut duduk di sebelahnya. Tidak menyentuhnya. Sampai dia tenang dan aku bisa kembali bertanya.

“Namamu siapa?”

Kali ini dia menoleh. Mengusap matanya.

“Rino. Ayah...”

“Ayahmu tidak pulang?”

Dia mengangguk.

“Dia di sana?” Aku menunjuk Megaria.

Dia mengangguk dengan ragu.

“Kamu menunggunya?”

Dia menoleh aku.

“Ayah tidak pulang. Dia di sana. Aku menunggu. Ibu menunggu.”

Lalu dia menangis dengan lebih keras. Seseorang dari para penjual di lampu merah mendatangi kami.

“Dia itu sudah beberapa hari di situ, kek. Tidak bisa diajak ngomong. Tidak ada alamat di kantongnya. Kalau tidak bisa bantu, sudah tinggal saja. Nanti kan ada yang nyari juga kalau dia anak gedongan. Kalau gak ada yang nyari ya biar jadi anakku.”

Penjual itu mengangsurkan makanan ke Rino. Jelas dia bukan gelandangan walau wajahnya sudah lusuh dan basah. Anak itu mengambil makanan, langsung melahapnya.

“Lalu kenapa di sini?”

“Mana tahu? Dia tak bisa ditanya apa pun.”

Aku menyenggol Rino.

“Jadi ayahmu di sana? Dengan siapa?”

Suara Rino kembali meledak menangis. Memanggil ayahnya dan melambaikan tangannya tak beraturan. Aku tidak tahan dan menyingkir, membiarkannya tenang dan melanjutkan makan. Lebih baik jika aku menyeberang dan masuk ke halaman Megaria. Aku tanya setiap laki-laki yang ada di sana.

“Di mana ayahnya Rino? Apakah kau ayahnya Rino?”

Saat itu semua laki-laki menggeleng. Seterusnya, setiap ada kesempatan, aku mengulanginya. Jika ada wajah yang penuh tanya jawab, aku tunjukkan Rino yang tengah menangis di seberang jalan. Aku bertanya begitu ke setiap orang laki-laki setiap  kali lewat Megaria. Mereka menggeleng, kadang menjawab : “Bukan.” Atau : “Aku belum punya anak.”

Keesokan harinya aku melakukan hal yang sama. Aku bertanya pada siapa pun tentang ayah Rino. Sesekali aku mendatangi Rino, tapi dia tak bisa diajak bicara. Begitu tiap hari kulakukan sampai kemudian Rino tak lagi kulihat di seberang jalan. Para penjual tak tahu kemana perginya.

“Tapi, kalian tahu yang mana ayahnya Rino?”

Setiap orang menggeleng, kebanyakan lalu mengerinyit jika masih kutanya juga.

“Kakek kan sudah tanya kemarin. Aku bukan ayahnya Rino.”

Hari itu aku masuk ke gedung Megaria. Kepentinganku cuma bertanya tentang ayahnya Rino. Tapi aku sangat marah ketika seorang tukang bersih Megaria menyilangkan jari di dahinya, seolah-olah aku ini laki-laki tua yang sinting. Aku marah. Aku sebut segala hal, soal kesedihan Rino yang kehilangan ayahnya di gedung ini. Aku teriakkan asal muasal gedung ini.

“Aku ini cucu buyut pemilik tanah ini. Aku hadir dalam kibaran bendera Merah Putih saat gedung ini diresmikan. Kalian ini hanya menikmatinya saja malah menghilangkan ayahnya Rino, anak yang menderita itu. Ke mana ayahnya kalian sembunyikan? Aku tidak gila.”

Anaknya Saleh, si satpam, datang membawa pentungnya menghalauku pergi. Aku pergi, tapi masalahnya adalah aku tidak tahan untuk tidak bertanya tentang ayah Rino jika aku ada di sekitar Megaria. Aku ingin tahu siapa ayah Rino. Dengan siapa? Mengapa? Seperti apa wajah laki-laki yang membiarkan anak dan istrinya menunggu? Bahkan anaknya sampai menangis meraung seperti itu berhari-hari. Apa yang dilakukan oleh ayahnya Rino di gedung yang dibangun saat Indonesia belum merdeka ini? Aku penasaran dan tidak tahan untuk bertanya. Ujungnya, selalu sama setiap kali. Memaki-maki anaknya Saleh karena dia mengusirku dengan pentungnya. Lalu anak-anakku juga memarahiku ketika pentung anaknya Saleh itu mengenai bahuku hingga kini lengkaplah cacatku, pincang dan satu tangan tak bisa kugerakkan. Padahal jelas kalau aku tidak salah.

“Bapak tak usah pergi lagi kemana-mana. Di rumah saja.”

Begitu kata mereka setelah aku pulang dari rumah sakit. Dan aku rasa, aku tak punya pilihan lain. Aku bisa menahan diri tidak bertanya soal ayahnya Rino jika tidak ke Megaria. Jika aku ada di sekitar Megaria, aku pasti bertanya dan ujungnya marah karena semua orang mengabaikanku. Aku cukup puas dengan keputusanku itu, dan anak-anakku lebih puas lagi. Walau aku masih penasaran, sekarang aku hanya berdiam diri saja di bilikku, mengenang satu hari di tahun 1949 saat bertemu Bu Rahmi yang cantik berkebaya dalam peresmian bioskop yang indah itu. Aku tidak akan menuntaskan penasaranku dengan bertanya : “Di mana ayahnya Rino? Apakah kau ayahnya Rino?” Aku menelan semuanya dalam hati. 

2012 - 2015



Fajar Sumatera, Jumat, 6 November 2015

No comments:

Post a Comment