Friday, December 4, 2015

Sebatang Pohon yang Tegak di Seberang Jalan

Cerpen Adam Yudhistira



PEREMPUAN itu duduk diam seakan-akan sedang berpura menjadi batu. Matanya terkunci pada satu titik yang entah apa. Ia menekur, sesekali matanya berkedip. Sesekali pula ia memijat dada, memukul-mukul kepala, dan selebihnya, ia diam seperti batu. Perempuan itu bermata sendu. Pancaran matanya berkata: hidup adalah sebuah luka, luka yang sudah membusuk di dalam dada dan kepala.

Dari pagi sampai senja, perempuan itu duduk berjam-jam di depan rumahnya. Tidak ada sepotong kata pun yang meluncur dari mulutnya. Aku sering mencuri-curi pandang, berharap ia akan bernyanyi atau tersenyum, seperti dulu saat sedang menyiram bunga-bunga. Tetapi tidak, sepertinya perempuan itu lebih menyenangi diam dan berpura-pura menjadi batu.


Ia tinggal di rumah berdinding bata yang sebagian diselimuti rumpun-rumpun ilalang dan rumput teki. Pagar besi karatan mengelilingi rumah itu, sisi sebelah selatan, pagarnya sudah miring. Di halaman depan, ada satu gundukan tanah memanjang yang ditanami batu di kedua ujungnya. Itu kuburan anaknya yang mati ditabrak setahun yang lalu.

Sebenarnya perempuan itu tidak begitu. Dulu, ia perempuan yang riang dan senang bergaul. Namun serangkaian peristiwa menyedihkan telah merenggut kemampuannya berbicara. Ia berubah menjadi perempuan batu yang tak pernah peduli pada apapun dan siapapun.

Dulu rumah itu ramai, terutama saat anaknya masih ada. Ia pelan-pelan berubah menjadi batu dan semakin keras serupa batu ketika suaminya pergi dengan perempuan lain. Sejak saat itu ia tak pernah mau bicara, hanya menekur, sesekali menengadah, menekan-nekan dada dan memukul-mukul kepala, dan membisu seperti batu.

***

Aku memendam amarah pada diriku sendiri. Pada siang yang merenggut semuanya. Matahari tega membakar dan merajang luka dalam dada. Aku duduk dan bersumpah untuk menyimpan butir-butir dendam yang tajam. Bertarung dalam diam, berdoa dalam bungkam, berharap masih tersisa sebuah keajaiban. Seperti doa yang selalu kuucapkan dalam diam.

Mereka sudah kadung mengira aku gila. Tapi tak mengapa, aku tak apa-apa. Lagi pula perkiraan mereka justru membuatku lebih leluasa meresapi perihnya luka, pedihnya sayatan penyesalan yang bersemayam dalam dada dan kepala. Lalu setelah kutekan-tekan dada dan kupukul-pukul kepala, anakku akan tersenyum, berlarian di halaman depan dekat pohon jambu air, melintas di bawah pohon angsana dengan sepedanya.

***

Petang ini jalanan di depan rumah itu sepi. Hanya beberapa pejalan kaki saja yang lewat. Ada juga beberapa penjual makanan, namun penjual makanan itu tidak menawarkan jualannya pada perempuan yang duduk di depan rumah itu. Kabar tentang perempuan menjadi batu itu sudah dianggap bukan kabar. Tentu saja karena mereka mengetahui, jika ia tak akan pernah menjawab tawaran mereka, bahkan jika mereka berteriak sekalipun, perempuan itu tetap akan membatu. Mana mungkin menawari seonggok batu?

Keheningan petang menyurutkan laju waktu ke belakang. Aku ingat sebuah peristiwa paling menyedihkan. Sore itu, perempuan itu sedang menyirami bunga-bunga di taman kecil depan rumahnya. Dari bibirnya yang mungil, sayup kudengar ia bersenandung. Perempuan itu larut dalam keasikannya bercumbu dengan bunga-bunga. Tapi sekejapan kemudian, terdengar suara  berdecit sangat panjang, lalu disusul suara benda keras berbenturan. Suara itu amat keras, hingga senandung merdu dari bibir perempuan itu terhenti.

Ketenangan sore itu pecah berantakan oleh raungan orang-orang. Tampak dari jauh, aku melihat sesosok anak kecil yang terbaring di atas jalan. Namun sedikit terasa aneh bagiku, sebab anak  mengingatkanku pada sosok anak kecil yang sering bermain bersama perempuan yang gemar menyiram bunga-bunga.

Mendengar suara decit dan suara keras tadi, perempuan itu mencari asal suara. Jeritannya pecah membelah angkasa. Benar dugaanku, anak itu adalah anaknya. Anak kecil riang yang senang bermain sepeda. Perempuan itu berlari dan menjatuhkan diri di dekat tubuh anaknya yang diam. Kepala, tangan, kaki, bahkan sekujur tubuhnya telah merah. Ia tiba-tiba lunglai. Tubuhnya turut tergeletak di samping anaknya. Orang-orang lalu mengangkat tubuh keduanya. Sejak saat itulah perempuan itu tak pernah lagi bicara.

Dua tahun sejak peristiwa itu, saat itu kira-kira tengah hari, mobil hitam mengilat berhenti. Seorang lelaki turun dan berjalan cepat. Lelaki itu tentu saja sangat kukenal, itu adalah suaminya. Wajah lelaki itu masam. Ia melewati perempuan yang duduk di beranda itu tanpa menegurnya. Dari dalam rumah, aku mendengar bunyi perabotan dibanting atau dilemparkan. Aku tak tahu pasti, tapi yang jelas bunyi benda-benda itu riuh sekali.

“Aku tak akan melakukan semua ini jika kamu mau berhenti dengan kegilaanmu itu, Dewi!” teriakan itu melesat keluar. Satu dua pejalan kaki menoleh, memelankan langkah, menoleh sekilas, lalu seperti biasa, berlalu dengan dingin. Kegaduhan seperti itu, sudah ratusan kali terjadi. Orang-orang sekitar sudah terbiasa dengan kegaduhan seperti itu.

“Anak kita tidak akan mati, kalau kau bisa menjadi ibu yang baik! Tapi apa? Kau memang perempuan tidak berguna!” hardikan itu menampar nuraniku. Tapi reaksi yang ditunjukkan perempuan itu masih sama: membatu. Tapi tunggu dulu! Aku melihat ada bulir bening mengalir di pipinya ketika itu. Perempuan itu menangis dengan tatapan mata hampa.

Angin seakan bersekutu dengan kepiluan yang kurasa. Angin tak mampu menyejukkan hatiku yang tiba-tiba panas membara. Ini bukan kali pertama hatiku melepuh melihat kelakuan lelaki itu. Pada malam-malam terkutuk, yah, aku pantas menyebutnya malam terkutuk, sebab setiap malam-malam yang kusebut terkutuk itu, lelaki itu pulang diantar oleh seorang perempuan bermobil hitam.

Aku menduga, ia telah melakukan sebuah kegilaan yang tak sepatutnya dengan perempuan bermobil hitam itu, misalnya bercinta sepuasnya tanpa sekalipun memikirkan bagaimana recahnya perasaan istrinya. Entah iblis apa yang merasuki kepala lelaki itu, hingga begitu teganya mengkhianati perempuan batu itu.

“Sekarang aku sudah tak tahan lagi!” teriakan lelaki itu melayang bersama sebuah vas keramik yang pecah menghantam batu-batu tersusun di depan rumah. Pecahan vas itu berhamburan di sekitar anyelir dan pohon jambu air.

“Aku akan meninggalkanmu! Kau dengar itu, hah!? Aku akan pergi meninggalkanmu!” teriakan lelaki itu kali ini berujung tangis. Ia menangis di dalam rumahnya. Ingin sekali aku melihat wajahnya saat menangis. Lelaki keji itu masih bisa menangis  juga rupanya.

“Bicara, Dewi! Bicaralah padaku, jangan diam!” lelaki itu tiba-tiba kulihat sudah berdiri di samping istrinya. Ia berteriak-teriak kalap sembari mengguncang-guncang bahu perempuan yang dipanggilnya Dewi.

Perempuan itu tetap menjadi batu, namun matanya menerawang. Aku hanya bisa melihat adegan itu dengan kegeraman yang menusuk-nusuk. Seandainya aku ada kuasa, ingin kurengkuh tubuh itu dan membawanya pergi. Lelaki itu tak pantas melakukan kekejian itu padanya. Aku mengutuknya untuk segera mati, sebab kurasa cuma mati yang bisa menghentikannya.

“Bicara padaku, Dewi ... demi Tuhan bicaralah padaku,” ucap lelaki itu melemah. Suaranya tidak sekeras tadi. Ia menangis tersedu-sedu.

Setelah cukup lama duduk dan menangis, lelaki itu bangkit. Ia mengusap airmata yang membasahi pipinya dan berkata, “Baik. Kalau ini memang tidak bisa lagi diperbaiki. Jangan pernah menyalahkan aku.”

Suasana hening kembali. Hanya suara deru kendaraan yang berlalu lalang sesekali. Lelaki itu memandang tubuh batu istrinya beberapa lama, mengusap kepalanya, dan mulai terisak kembali. Kali ini lebih pilu dari yang pertama.

“Aku hanya ingin bahagia, Dewi. Hanya ingin bahagia. Maafkan aku....” ia berkata dengan airmata. Mulutnya terkatup rapat, wajahnya merah menahan tangis. Lelaki itu mengecup kening istrinya beberapa detik, mencium tangannya, lalu pergi dengan tas besar tersampir di bahu. Ia pergi tanpa menoleh sedikit pun.

Aku ingin marah melihat adegan itu. Tapi apa yang bisa kulakukan? Hanya desah angin yang mewakili kesedihanku. Daun-daun berguguran. Andai aku bisa menangis, airmataku pasti jatuh deras saat itu. Tapi karena aku tak bisa menangis, hanya guguran daun-daun itu yang mewakili kepedihanku.

Sepeninggal suaminya, perempuan itu menunjukkan raut tak biasa. Bibir yang selama ini kusaksikan bergaris rata tanpa senyum, kini merekah bagai kuncup-kuncup lantana tamara yang banyak tumbuh di sekitarku. Bukan, bukan senyum, perempuan itu sama sekali tidak tersenyum. Ia menangis, mula-mula tangisnya pelan, lalu lama kelamaan menjadi histeris. Tubuhnya sampai terguncang-guncang. Aku terhenyak dalam beragam tanya.

Mungkinkah ia terluka hebat?

***

Aku merapal seribu doa penolak bala.  Setiap inci tubuhku berguncang, bumi seperti masuk ke dalam lubang maha hitam. Suara-suara itu mendengung di dalam kepalaku, “Aku akan meninggalkanmu! Kau dengar itu, hah!? Aku akan pergi meninggalkanmu!” seru suara itu terus bergema.

Aku panik, mencakar-cakar gundukan tanah. Aku mencari tangan lembut yang biasa kuciumi jemarinya, mencari tubuh yang biasa kupeluk setiap malamnya,  mencari suara yang dulu memanggilku “Mama”. Namun tidak ada apa pun. Cuma luka, cuma sayatan yang kian pedih. Kian perih.

***

Berminggu-minggu sejak suaminya pergi, perempuan batu itu menunjukan kebiasaan baru. Ia sering menangis, bahkan tangisan itu merobek-robek perasaanku. Ia menangis, lalu berteriak, menangis, berteriak lagi, lalu dengan histeris menggaruk-garuk kuburan anaknya. Aku lagi-lagi terhenyak dalam beragam tanya.

Luka itu pasti begitu dalam, sanggupkah ia bertahan?

Aku bisa merasakan kepedihan hatinya, tapi tak bisa menyapanya, tak bisa pula menghiburnya walau cuma sepatah kata tentang aku yang setia menemaninya, aku yang diam-diam selalu memerhatikannya, aku yang setiap saat selalu menitipkan doa untuknya. Tapi aku bisa berbuat apa? Aku hanya sebatang pohon yang tegak di seberang jalan.


Fajar Sumatera, Jumat, 4 Desember 2015

No comments:

Post a Comment