Friday, January 29, 2016

Upaya Membunuh Umaya

Cerpen Atanasius Rony Fernandez


NIAT itu muncul semenjak saya melihat Umaya duduk sembari berpegangan tangan dengan seorang lelaki di acara musik yang diadakan di warung kecil. Musik mengalun menembus dinginnya malam yang saat itu tengah diterangi cahaya bulan bulat penuh. Para penonton seperti terbius oleh musik itu, tapi di telinga saya suara petikan gitar si penyanyi terasa seperti ujung jarum yang menusuk gendang telinga saya tepat ketika mata saya menangkap sosok Umaya yang kini menaruh kepalanya ke bahu lelaki di sampingnya.

Pandangan saya hanya tertuju kepada Umaya yang kian lama kian rekat dengan lelaki itu. Saya tak begitu mempedulikan suara-suara di sekitar saya, suara-suara yang ditangkap oleh telinga saya lebih mirip suara dengung lalat, dan dalam beberapa kesempatan terdengar suara seperti gesekan biola yang tak beraturan, nyaring dan sangat tajam namun sayup-sayup secara bersamaan, berputar di kepala saya.

Ada semacam bisul yang hendak meledak di dalam dada saya saat saya lihat tangan lelaki itu melingkar di punggung Umaya, menyibak dengan mesra rambut Umaya yang lurus panjang. Dan bisul itu terasa pecah mengeluarkan nanah saat sekelebat saya lihat Umaya mengecup dengan gerakan cepat pipi lelaki itu, meninggalkan luka tak terlihat di dalam dada saya, perihnya hampir membuat kantung mata saya tak kuasa menampung air mata.

Tentu saja saya tak punya alasan yang cukup kuat untuk marah atau bersedih melihat adegan itu. Saya bukan siapa-siapanya, dan bahkan Umaya tak mengenal saya. Kami bertemu, atau tepatnya saya yang melihatnya dua minggu lalu di tempat ini. Acara musik yang rutin diadakan setiap malam minggu di warung ini senantiasa menghadirkan banyak orang yang tak saling mengenal.

Pernah dalam sebuah kesempatan di warung ini, ada seorang bule entah dari negara mana datang saat malam minggu. Ia berbadan tinggi besar, berambut kriwil-kriwil mirip mie instan kering berwarna merah dan agak lepek, ia berpakaian lusuh seperti khas para gipsy. Para penonton yang kebanyakan pribumi begitu terpukau melihat bule itu datang. Bule itupun diminta menyumbangkan lagu. Ia mau dan mulai memetik gitar dengan sangat cepat dan bertenaga. Setelah mendengar petikan gitar dan suaranya, telinga saya seketika terasa seperti terkena pukulan godam.

Dan pukulan godam itu terasa sampai ke dada saya saat muncul niatan untuk membunuh Umaya. Dorongan itu terasa begitu kencang saat mereka—Umaya dan lelaki di sebelahnya—kian rekat seperti ada lem yang menyatukan pakaian yang mereka kenakan.

***

Saya menyeret kaki saya menuju dapur warung itu. Para pengunjung yang jumlahnya puluhan orang terlihat seperti patung-patung pasir, yang dengan hembusan angin saja bisa menghapus kehadiran mereka. Dari panggung sederhana, lagu sendu sedang didendangkan mengiringi seorang penyair membaca puisi suram. Udara dingin terasa giris, cahaya bulan seakan tertutup awan mendung musim penghujan. Tiba-tiba penyair itu berteriak, menghentakkan langkah kaki saya yang seketika melangkah dengan cepat menuju meja dapur dan mengambil pisau dan dengan gerakan loncat seperti kecoa menuju tempat duduk Umaya menikam dada kirinya hingga kaus ketatnya bersimbah darah. Dengan adegan supercepat melebihi kecepatan cahaya, semua adegan itu diakhiri dengan suara lolong penyair yang menyayat telinga.

Ah, seandainya saja itu dapat saya lakukan. Sayangnya tak ada musik suram dan penyair muram, udara tak begitu dingin dan awan sedang cerah karena ini bulan Agustus, bulan di saat para pendaki gunung berjalan menuju puncak gunung tanpa takut diserang hujan yang berlarut-larut. Terlebih lagi, saya hanya berdiam diri duduk di bangku yang jaraknya tiga rentangan tangan di belakang bangku Umaya. Khayalan tentu saja mudah dilakukan, karena hanya ada di dalam kepala saja.

Parahnya, semenjak saya melihat Umaya untuk pertama kalinya dua minggu lalu, saya seperti terhipnotis oleh kecantikannya. Rambut panjangnya sudah barang tentu menggambarkan aura keanggunan, dan parasnya yang sangat cantik, mungkin jika bisa diibaratkan mirip kecantikan Kleopatra yang bisa mengguncang keagungan Julio Cesar. Saat itu, saya beruntung mendengar ia dipanggil dari jarak yang cukup jauh, sehingga teriakan orang yang menyebut nama Umaya membuat saya bisa memastikan bahwa ia memang bernama Umaya.

Saya tak berani mendekat kemudian berkenalan dan meminta nomor hapenya atau kontak-kontak lainnya, saya merasa tubuh saya menciut menjadi batang korek api saat harus berdekatan dengan Umaya. Mau tak mau, setelah saya melihatnya untuk pertama kali, membuat saya menghabiskan waktu online saya—yang sangat lama—hanya untuk menelusuri seseorang yang bernama Umaya. Akhirnya saya temukan seseorang dengan wajah yang mirip dengannya, dengan akun facebook bernama Umaya Aliani. Saya seperti menemukan sebongkah emas dalam sekantung beras.

Emas itu benar-benar saya dapatkan setelah saya telusuri lini masa akunnya. Ternyata ia seorang penulis puisi atau mungkin penyuka puisi, banyak sekali ia menulis puisi-puisi di akunnya dan mengutip puisi milik para penyair; kau lupa bagaimana cara membaca buku dan menembakkan peluru ketika duka dan lara menyergapmu begitu lugu, ah, bagus sekali salah satu puisi yang dikutipnya itu.

Selain cantik, ia juga penggemar puisi. Itu membuat saya kian tertarik. Foto-foto di akunnya saya salin ke komputer jinjing saya, dan saban malam saya tatap gambar itu dengan dada yang terasa memberat. Ia seolah hidup dan mewarnai mimpi-mimpi saya dengan warna-warna yang tak pernah ada di muka bumi; asing dan tak mampu digambarkan.

Dada saya kerap kali bergemuruh saban kali ia menulis atau melakukan apa saja di akunnya, membuat saya bernafas lebih cepat dan berat. Tubuh serasa melayang-layang. Perjumpaan kita ialah perihal gelap dan terang, aroma cuka dan luka berpapasan sehasta kira-kira.  Itu pasti puisi untuk saya. Ia pasti menulis atau mungkin mengutip dan ditujukan kepada saya. Sepertinya ia juga memperhatikan saya saat pertama kali saya lihat, saya cukup yakin, karena waktu itu mata kami sempat bertemu walau hanya kurang dari sedetik saja.

Mata saya kembali tertuju kepada Umaya dan lelaki di sebelahnya. Saya benar-benar kecewa, ternyata ia sudah memiliki kekasih. Saat saya menelusuri akunnya, ia tak pernah menulis status berpacaran. Itulah yang membuat saya membencinya dan menimbulkan keinginan untuk membunuhnya. Jika tubuhnya ditikam kemudian bersimbah darah, lalu dipotong di setiap lekukan tubuhnya, tentu saja sebuah tindakan pembalasan yang cukup tepat, bukan?

Hanya saja saya masih kebingungan dengan cara melakukannya. Membunuhnya adalah satu-satunya cara paling tepat untuk mengubur rasa cemburu. Saya memang terlihat begitu aneh dengan memendam dendam pada orang yang tak saya kenal dekat dan tak memiliki hubungan atau keterikatan yang menjadi alasan kuat mendendam. Tapi dalam setiap urusan cinta, terkadang tak perlu banyak alasan dalam bertindak.

“Kamu mau ke mana?” tanya orang di sebelahku.

“Mau pinjam pisau di sana,” saya menunjuk dapur dan menjauhkan diri dari orang di sebalah saya itu.

Saya berjalan sedikit terhuyung, suara seperti berdenging halus mengitari otak saya. Saya mengambil pisau di dapur warung, tentu setelah berbasa-basi dengan pemilik warung yang sudah cukup saya kenal.

Dunia terasa sedikit berputar dan agak bergoyang setiap kali saya langkahkan kaki saya menelusuri setiap hasta menuju tempat duduk saya tadi. Saya melangkah ke bangku kosong di sebelah seorang perempuan berambut panjang. Deg, di sebelah saya ternyata Umaya, dan saya sedang memegang pisau untuk menikamnya. Sebenarnya saya hendak menikamnya dari belakang saat penonton mulai bubar. Kenapa saya malah duduk membawa pisau di sebelahnya?

“Kamu kenapa bawa pisau sampai berkeringat seperti itu?”

“Kamu Umaya?”

“Hah?” dahinya berkerut, menjadikan matanya agak menyipit.

“Iya, kamu Umaya, saya suka puisi yang sering kamu tulis di statusmu,” entah ada kekuatan apa yang membuat saya begitu lancar dan nyaman berbicara seperti itu.

“Hei! saya kan memang Umaya, pacarmu. Itu puisi-puisimu yang saya kutip, kan?”

Aduh, ia sangat pandai berbohong. Saya benar-benar hendak menikamnya. Secepatnya. []


Fajar Sumatera, Jumat, 29 Januari 2016

Sajak-sajak Hidayat Jasn

Lirik Embun

Bila matahari bangkit dan membuka matamu
Embun akan masih termangu di tampuk daun itu

Menunggu angin memukulnya jatuh ke tanah
Atau hawa hangat mengawangkannya ke udara

Di mana jejaknya kemudian menjadi pertanda
Kau terakan dalam cerita-cerita begitu sederhana

Atau mendekam sementara saja dalam ingatan
Lalu lesap oleh ingatan lain membuatnya terlupa

Beranda, 2015




Seutas Tali

Ulurkan seutas tali perlahan
Untuk menduga kedalaman sumur
Di tengah pesawahan ini, selagi
Badan belum jadi terjatuh
Oleh angin membadai

Sebenarnya seberapa dalam
Dan rapatkah sumur menyimpan
Sejuk airnya? Bisakah terjangkau
Oleh tangan kita hampir terkulai
Sebab deraan dahaga ini?

Perlahan ulurkan seutas tali
Senyampang masih tersisa tenaga
Untuk meyakini kedalamannya
Sebelum lantas dengan terpaksa 
Kita lepaskan sebuah sepatu

Dan menjadikannya seolah timba!

Beranda, 2015  




Ranting Layu
Panas yang demikian tajam
Menjadikan ranting-ranting pohon itu
Layu. Lunglai menyentuh rasa pedih
Di kedalaman dada kau aku

Hingga bibir kau aku bergetaran
Menggumamkan elegi panjang ihwal
Panas demikian tajam yang bisa
Menghantar pada kematian

Beranda, 2015



Gerumbul Bambu

1
Susurilah jalan menurun menuju
Selatan itu, akan kau temukan
Gerumbul bambu. Sebuah kehijauan
Sebelum sampai ke sawah

Suara-suara ritmis akan berarak
Dari sana menuju rongga telingamu
Manakala baris-baris angin bebas
Meliukkan ranting-rantingnya

Gerumbul bambu akan segera
Menyambutmu bila terus kau susuri
Jalan menurun itu. Parasnya hijau
Bagai hari-hari masa kecilmu

2
Pucuk-pucuk daun yang runcing
Melambai ke sana ke mari
Di musim berangin ini. Menangkup
Sulur-sulur cahaya matahari

Seperti sebuah doa, gerumbul
Bambu itu melayarkan suara-suara
Berirama di akhirnya. Simaklah
Getarnya yang merasuk jiwa

Gerumbul bambu. Terus saja
Merimbunkan batang-batang dan
Daun-daunnya. Tataplah lekat
Betapa niscaya meneduhkan mata

Beranda, 2015      




Tatap Mata

Tapi hati kemudian jadi tergetar
Oleh tatap mata yang kau lepaskan
Bagai kuntum bunga bergoyangan
Oleh hembusan angin petang
Yang menuturkan cerita-cerita biru:
Esok akan banyak turun gerimis
Menyalangkan keelokan warnanya
Usai debu-debu itu terbasuh

Beranda, 2015      


---------
Hidayat Jasn, kelahiran Jepara, 28 Agustus 1976. Saat ini tinggal dan beraktivitas di kota kelahirannya.. Sejumlah sajak di berbagai media dan antologi bersama.


Fajar Sumatera, Jumat, 29 Januari 2016


Friday, January 22, 2016

Sepasang Gila

Cerpen Riza Multazam Luthfy


PEREMPUAN itu meraung. Keningnya melelehkan darah. Ia, yang sudah beberapa lama menanti kehadiran seorang lelaki, akhirnya harus mengalah. Entah kepada diri sendiri, atau kepada mereka yang menyebutnya gila. Ha? Gila? Kata yang disematkan pada tubuhnya enam bulan terakhir.

Orang-orang di sekeliling memandanginya, berdesis. Tanpa ragu, ia menyaring suara-suara yang menyembul dari katup mulut mereka, satu persatu. Namun, menggeleng. Pertanda bahwa desisan tersebut kurang jelas. Atau bisa jadi memang terlalu sukar dialihbahasakan dua telinganya.

Heran. Itulah kesan pada dirinya sendiri, yang genap menjadi magnet bagi sesiapa yang melihatnya. Di jalan, jembatan, trotoar, atau bahkan alun-alun kota. Wajahnya yang kotor-kusam namun masih ditempeli bulir-bulir kecantikan, rupanya menjadi daya pukau tersendiri bagi kaum lelaki. Tak ayal, berkali-kali ia nampak mengutuki diri sendiri. Bukan tuduhan gila yang digencarkan kepadanya, namun lebih karena elok rupa yang terlanjur ia tampung, sejak kali pertama menghirup udara untuk diputar di hidung.

Kini, di telapak tangan kanannya melekat cairan kental merah tua. Ia mengusap sembari memijat. Memastikan bahwa di keningnya tidak menganga lubang besar sebagaimana di jalan raya di negara asalnya yang tak bosan-bosannya melahirkan kecelakaan beruntun. Juga merekam wajah lelaki yang begitu tega melempar batu ke arahnya. Padahal, selama ini, lelaki-lelaki yang menjumpai dan dijumpainya selalu bertabiat serupa: mengulum ujung jakun, sambil menatap lekat-lekat buah dadanya yang dibiarkan menggantung, terbuka.
.
Sepertinya, ah, lelaki itu, lelaki dengan tindik di bawah bibirnya itu, pernah menjadi bagian dari kehidupannya. 

***

Mematung. Memperhatikan lalu-lalang mereka yang berseliweran di depannya. Jangkap berminggu-minggu ia tinggal di sudut stasiun itu. Sendirian. Menanti kedatangan seorang perempuan. Hingga bosan. Tapi, tidak. Ia tetap menunjukkan sikap seorang kekasih setia, yang mengawat erat setiap janjinya.

Beberapa orang sering mempermainkan dirinya. Ada yang memiring-miringkan telunjuknya, ada yang pura-pura mengajaknya tertawa, juga ada yang bahkan sengaja mencelakainya. Ya, tak jarang mereka melemparkan kotoran ke kepalanya atau mengencinginya ketika tidur.

Tak habis pikir, mengapa ia diperlakukan sedemikian rupa. Seperti mainan. Bukan, bukan. Seperti sampah, barangkali. Ia, kalau suatu saat mereka menginginkan, bisa saja dibakar ramai-ramai, guna sekadar mencari hiburan atau mengusir dinginnya malam. Sebagaimana yang terjadi tadi malam, di mana seorang perempuan yang membawa korek api, hendak menjadikannya api unggun, ketika daun-daun sudah dirayapi jari embun. Tapi, bukannya bersama komplotan, perempuan itu melakukannya tanpa teman.

Untunglah, ia selamat. Berkat kesigapannya untuk segera kabur dalam kondisi basah kuyup, bermandikan bensin, yang telah diguyurkan ke serata tubuhnya. Lagi-lagi ia tak habis pikir, nekat benar perempuan itu. Hingga tanpa merasa berdosa sedikitpun, bermaksud mengirimnya ke neraka.

Sesampai di tempat yang agak jauh, nafasnya kembang kempis. Ia, yang sibuk memeras peluh di pelipis, mencoba merangkai ingatan tentang perempuan yang berniat menghabisi, namun seolah pernah menanamkan benih-benih cinta dalam hati. 

***

“Siapa kau?” Lelaki dan perempuan itu melanting pertanyaan, bersamaan.

“Kau siapa?” Kurang puas, sekali lagi, keduanya bersoal antara satu dengan yang lain.

Hening.

“Kenapa keningmu berdarah?”

“Kenapa tubuhmu berbau bahan bakar?”

“Orang gila menghadiahkan batu kepadaku.”

“Orang gila memberi kejutan untukku.”

“Orang gila? Hmmm…” Untuk kesekian kalinya mereka mengucap hal yang sama, berbarengan pula.

“Lelaki itu sangat kesepian. Menghujaniku dengan batu, berharap aku mengejarnya. Ia ingin ulang permainan yang mungkin biasa diikuti semasa kecil. Tapi, aku bukanlah perempuan bodoh!”

“Perempuan itu begitu akrab dengan kesunyian. Dari raut mukanya, aku bisa mengetahui isyarat itu dengan jelas. Barangkali dengan membakar tubuhku, ingin ia dapatkan kehangatan, yang selalu ditawarkan kekasih.”

“Kekasih?”

“Ya, kekasih. Kau punya?”

Ia mengangguk.

Kemudian menggeleng.

“Oh, sayang. Kau termasuk orang merugi.”

“Aku bukan mengatakan tidak punya.”

“Lantas?”

“Lupa, apa aku pernah punya kekasih atau tidak. Bagaimana denganmu?”

“Ini pertanyaan paling sulit kujawab.”

“Maaf.”

“Kalau boleh tahu, sedang apa kau di sini?”

“Kalau tidak salah, dulu seorang lelaki berjanji menungguku. Di stasiun ini.”

“Kekasihmu?”

“Sudah kubilang, aku benar-benar lupa. Tapi, mungkin saja ia memang lelaki istimewa.”

“Beruntunglah lelaki itu.”

“Beruntung?”

“Kekasihnya begitu setia.”

“Salah. Asal kau tahu, ikrar kesetiaan yang paling rentan dilanggar adalah melupakan ikatan antara sepasang kekasih.”

“Ikatan?”

“Benar. Tentu kau pernah membuat ikatan bersama seorang perempuan?”
Lelaki itu tidak mengangguk. Tidak pula menggeleng. Sepenghisap pipa kemudian, ia bermaksud menerbangkan pikirannya ke masa-masa yang telah ia lewati, namun gagal.

***

Jessica Subono dan Yoga Bradley berjanji bertemu di stasiun Woking. Sesuai kesepakatan kemarin, mereka berdua hendak membelanjakan liburan di Guildford, empat puluh tiga kilometer barat daya London. Dua mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di ibu kota Inggris tersebut berangkat dari apartemen masing-masing.

Di tengah perjalanan menuju stasiun, keduanya membayangkan alangkah indahnya kencan pertama yang akan dilalui. Kenangan-kenangan manis akan tercipta dalam suasana sejuk-tenang, di kota Guildford. Selain mengunjungi katedral, galeri seni, museum, menikmati bioskop dan teater (Yvonne Arnaud), sepasang kekasih tersebut juga dapat mengenang pemboman oleh gerilyawan Irlandia Utara pada dua pub lokal. Betapa Jessica Subono dan Yoga Bradley ingin memetik pengalaman berbeda dalam kencannya, dibanding mahasiswa-mahasiswa asal Indonesia yang lain. Namun, sekali pun mereka tidak pernah membayangkan, di sana, di dekat stasiun Woking sana, berlangsung demonstrasi ribuan mahasiswa dari berbagai kampus,  menentang rencana pemerintah dalam mengurangi anggaran negara. Pun, dua mahasiswa yang baru seminggu menjalin asmara tersebut, tidak pernah berpikir, bahwa demonstrasi berdarah itulah yang ternyata bakal menyebabkan keduanya menjadi gila. Selamanya. [] 


Fajar Sumatera, Jumat, 22 Januari 2016

Sajak-sajak Eddy Pranata PNP

Tangan Waktu

andai waktu punya tangan dan tangan itu bisa kupanjangkan
pertemuan denganmu tidaklah sesingkat dan sepahit kenangan
dengan tangan waktu yang memanjang aku lebih erat dan lama memeluk
tubuh-cahaya yang memantul di lobby hotel
tapi segalanya serba tergesa; tubuhmu menyisakan wangi
dan kau ke stasiun aku kembali ke dermaga
kauhirup debu dan udara kota seraya menapaki
kelok-riuhnya jalan hidupmu
dan aku kembali melaut; mendayung sampanku
merayakan keringat hidupku yang asin-kelat!

Cilacap, 01 Desember 2015



Kepada Puisi Aku Kembali

hanya kepadaMu aku berserah
hanya kepadaMu aku merindu
hanya kepadaMu aku menanti
kepada Puisi jua aku kembali!

Cilacap, 30 Nopember 2015


Aku Melihat Dirimu Menjauh dengan Langkah Tergesa


kepergianmu yang sangat tergesa, meninggalkan secangkir kopi
yang belum sempat kauminum
meninggalkan kenangan dalam ruangan
; pertemuan abu rokokmu dan asbak
menyisakan bau-rindu akan wangi tubuhmu
juga sorot matamu yang menusuk-nusuk senyapku
engkau memang selalu terlihat tergesa; perempuan perkasa
yang mengemas hari-harimu dengan bulir-bulir keringat
dengan semangatmu yang ingin selalu menaklukkan kesendirianmu
dengan mata mimpi yang menyala; kau hendak menggenggam matahari
o, perempuan perkasa-- asap rokokmu masih mengepul?
aku melihat dirimu menjauh dengan langkah tergesa!

Cilacap, 26 Nopember 2015



Sahabatku
aku hanya bisa melihatmu dari kejauhan
dari lembah yang satu ke lembah yang lain
kaukumpulkan sisa mimpimu
keringatmu mengeras menjadi butiran-butiran api
yang tanpa kausadari perlahan membakar tubuhmu
o, aku hanya bisa melihatmu dari kejauhan-- sahabatku!

Cilacap, 25 Nopember 2015


Pada

pada keheningan aku belajar memahami segala derita
pada riuh ombak aku belajar riuhnya hidup
pada karang-karang aku memaknai cinta
pada kesetiaanmu kulabuhkan perahuku
pada puisimu yang tak sudah-sudah aku istirah
pada kedalaman lautmu aku menyerah.

Cilacap, 25 Nopember 2015



Selendang Senyap

sudah bertahun-tahun perempuan berselendang senyap sukar sekali memejamkan mata
tetapi ia terus berusaha menjaga suasana hatinya
agar tidak segera putus asa, tidak lekas gila
direndanya hari-harinya dengan nyala api dari dada     
: bertarung dengan debu dan sembilu
  dan sesekali tertawa
  pura-pura bahagia!

Cilacap, 24 Nopember 2015



Aduhai

sekerat apel, sesayat senja, segores saja luka
aduhai nikmatnya!

Cilacap, 22 Nopember 2015



------------------
Eddy Pranata PNP, sekarang tinggal di Cirebah --sebuah dusun di pinggiran barat Banyumas, Jawa Tengah. Lahir 31 Agustus 1963 di Padang Panjang, Sumatra Barat.  Sehari-hari beraktivitas di  Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap. Buku puisinya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), dan Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015).

Fajar Sumatera, Jumat, 22 Januari 2016

Friday, January 15, 2016

Cerita Kecil untuk Anakku

Cerpen Tarpin A Nasri


ANAK BUNGSUKU—Bunga Gita Bulan Hapsari,  jika aku cuti selalu minta tidur bareng denganku dan pasti merengek-rengek minta diceritakan tentang masa kecilku! Ini artinya aku harus membongkar kembali arsip masa laluku setelah tersimpan rapih selama beberapa puluh tahun ke belakang. Hadeeehhhh...

“Ayo dong Pak, tolong ceritain tentang masa kecil Bapak dulu,” pinta anakku dengan setengah merengek.

“Untuk apa Bapak ceritakan tentang masa kecil Bapak? Nanti nDuk Gita nangis lho. Karena masa kecil Bapak itu penuh dengan kesusahan, penuh dengan penderitaan, penuh dengan kepedihan, penuh dengan keprihatinan, penuh dengan kesulitan dan penuh dengan perjuangan, karena Bapak itu terlahir dari keluarga yang sangat-sangat miskin,” jawabku.

“Susahnya,  penderitaannya, kepedihannya, keprihatinannya, kesulitannya, kemiskinannya dan perjuangannya seperti apa sih, Pak?” kejar Gita. “nDuk jadi semakin ingin tahu nih, Pak,” lanjutnya dengan tidak mau menyerah. “nDuk jadi penasaran deh. Karena buat diambil pelajarannya oleh nDuk, Pak.”

Karena anakku Bunga Gita---panggilan sayangku untuknya, tidak kenal menyerah untuk aku bercerita tentang masa laluku, maka  akhirnya aku menyeritakan saja mozaik-mozaik masa kecilku yang sampai saat ini masih aku ingat betul. Inilah penggalan kisah masa laluku seperti yang kuceritakan kepada Bidadari Kecilku---Bunga Gita.

APA YANG AKU dapatkan saat ini, dulu sungguh tak berani aku membayangkannya secuilpun! Akan tetapi itulah bukti nyata kecintaan dan kemurahan Allah SWT kepadaku. Dulu untuk bisa makan nasi sehari tiga kali dengan sambal goang dan iwak pethek goreng tepung saja,  sungguh merupakan suatu kemewahan buatku, karena keluargaku waktu itu hanya bisa makan dengan sega aking---yang terkadang masih dicampur dengan bulgur, dengan lauk kepala ikan asin sisa makan yang berasal dari pemberian tetangga yang sengaja diminta oleh ibuku dari pada dibuang atau dijadikan makanan kucing. Keluargaku memang waktu itu sungguh sangat miskin! Akan tetapi sekarang, syukur-alhamdulillah aku dan keluargaku bisa makan nasi putih yang pulen dan wangi, serta dengan lauk yang bergizi dan sayuran yang bervitamin!

Aku juga masih ingat. Dulu kalau aku nonton telivisi di rumah orang kaya yang sangat jauh dari rumahku dan kebetulan yang punya rumah lagi makan, dari jauh aku lihat lauk makannya pakai goreng  paha ayam dan minumnya dengan es buah, maka terbitlah ngiler-ku, karena  mereka makan dengan nikmat sekali. “Ya Allah...apa nanti jika aku dewasa dan sudah bisa bekerja, aku bisa makan dengan lauk seperti itu?” Itulah kalimat yang muncul di benakku waktu itu. Kini, syukur-alhamdulillah, lauk makan yang seperti itu sudah biasa kami santap, bahkan lauknya terkadang lebih bagus dari itu!

Anak-anakku juga tidak perlu nonton televisi jauh-jauh ke rumah tetangga, karena di rumah juga ada TV. Dulu jika sudah belajar dan mengerjakan pe-er sekolah, kalau mau nonton televisi aku harus pergi ke rumah tetangga yang jauhnya bukan main dan pulangnya larut malam dengan ketakutan menghantui sepanjang jalan, karena aku takut dicegat kelong wewe alias kuntilanak, atau di-kempit genderuwo.

Dulu kalau pagi dan pas mandi aku lupa membersihkan lubang hidung, maka bekas asap lampu teplok yang nempel di bilik bambu, pasti tersisa. Kini anak-anakku tak perlu begitu. Karena  rumahku sudah berlistrik, bahkan per anak punya kamar sendiri-sendiri. Lain dengan waktu aku kecil yang sampai kelas tiga SMP saja aku masih tidur satu kamar bertiga dengan adik dan kakakku.

Anak-anakku kalau sekolah tidak perlu jalan kaki lebih dari sepuluhan kilometer pergi-pulang di bawah siramn sinar matahari yang membacok kulit, karena istriku pasti mengantarkannya dengan kendaraan roda dua, atau jika hujan dengan kendaraan roda empat! Di zamanku kecil, kalau hujan aku biasa mengambil pelepah daun pisang buat payung untuk menahan timbrisan hujan agar bisa sampai sekolah karena tidak ada payung.

Di zamanku kecil bisa sekolah naik sepeda Bapak saja sudah luar biasa senangnya, padahal sepeda itu adalah sepeda onta tanpa rem dan pedalnya besi lancip, yang jika tidak hati-hati bisa melukai kaki.

Anak-anakku kalau sekolah tak perlu takut kelaparan, karena oleh istriku dibekali nasi dalam packing yang baik dengan lauk yang mantap pula! Pada waktu aku sekolah dulu, yang namanya sarapan pagi itu tak pernah dan tidak pula selalu dapat uang jajan! Sehingga aku sering puasa dan jika tak tahan, aku akan lari ke belakang sekolah mencari sumur timba! Bila orang lain pada jajan waktu istirahat, aku minum air sumur yang langsung kutimba dan aku pasti minum sekenyang-kenyangnya, bahkan sampai perutku kembung! Kadang aku juga bisa jajan sih, akan tetapi aku harus kuli di sawah atau di ladang orang dulu.

Anak-anakku kalau sekolah seragamnya bisa ganti sesuai dengan harinya, demikian pula dengan sepatunya! Zaman aku kecil, aku punya seragam serba satu. Dari Senen-Kamis pakai putih-merah dan putih-biru. Kalau basah dan kotor, ya tetap saja dipakai, sebab jika sekolah tidak pakai seragam, aku bisa kena hukuman dengan menghormat bendera, angkat kaki satu, lari muterin lapangan upacara, atau mungutin sampah! Bahkan waktu SD aku sering tidak pakai seragam dan tak pakai sepatu. Aku hanya pakai sandal jepit  yang sudah sangat tipis dan talinya sering copot-copot, karena lubangnya sudah longgar! Makanya biar tidak mudah lepas-lepas, aku ikat tali sandal itu dengan karet, dan ketika masih lepas-lepas juga, akhirnya aku kasih paku dengan melintang! 

“SYUKUR-ALHAMDULILLAH kini nDuk Gita dan Mas Ahmad Fiqri hidupnya tidak seperti Bapak dulu ya?” ujar anakku Bunga Gita.

“Makanya tidak ada alasan sedikitpun buat Bapak, juga bagi nDuk Gita, Mas Fiqri dan Mama Tini, untuk tidak bersyukur dan berterimakasih kepada Allah SWT atas anugerah yang terbaik dan karunia yang terindah ini,” jawabku dengan mantap. ”Karena Allah SWT sudah memberikan yang terbaik dan yang kita butuhkan kepada kita,” lanjutku.

“Iya, betul sekali kata Bapak, sebab jika kita tidak bersyukur dan tidak berterimakasih atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT, kita akan diberikan azab yang sungguh angat pedih,” ujar istriku sambil menyiapkan minuman dan makanan ringan untuk teman nonton televisi  layar datar yang super lebar di ruang santai keluarga. “Sedangkan jika kita mensyukuri nikmat yang Allah SWT berikan, insya Allah...Allah SWT akan menambah nikmat yang lebih baik lagi kepada kita,” lanjut istriku.

“Caranya gimana itu, Ma?” tanya nDuk Gita.

“Kerjakan perintah Allah SWT dan jauhi larangan-Nya,” kata  Mas Fiqri menjawabkan pertanyaan Bunga Gita setelah kuberi izin untuk menjawabnya.

“Berarti sholat kita harus tepat waktu, bayar zakat dengan baik dan benar, serta jika ketemu orang susah---maaf, maksudnya pengemis, kita harus ngasih sedekah ya, Pak?” ujar anakku Bunga Gita.

“Di antaranya seperti itu, nDuk Gita,” jawab Mama Tini---istriku yang telah mengantarkan dan membuatku bisa seperti sekarang ini, setelah kuberi isyarat untuk menjawabnya.

“Kalau ada kontak amal diisi ya, Pak? Dan jika ada pembangunan masjid, sekolah, madrasah, mushola dan pesantren juga harus nyumbang. Begitu kan, Pak?” lanjut anakku Gita.

“Bukan itu saja yang harus kita kerjakan, nDuk Gita...” kataku yang langsung disambung oleh anak sulungku Mas Fiqri. “...Kita juga harus menyumbang panti asuhan, menyantuni anak yatim-piatu, membantu fakir-miskin...” kata anakku Fiqri yang langsung kusambung, “...Membantu orang-orang tua yang sudah tidak mampu seperti mBah Atmo atau mBah Jeblug,  itu juga perlu kita lakukan,” paparku.

“Kalau semua itu dikerjakan, habis dong nanti uang kita, Pak...” kata anakku Bunga Gita sambil senyum.

“Apa yang kita berikan untuk semua itu tidak akan membuat kita miskin, apalagi bangkrut, karena Allah SWT akan mengganti dengan yang lebih baik lagi,” tegasku. “Jadi kita tidak perlu takut!”
Obrolan-obrolan yang seperti itulah yang sering aku lakukan jika kami kumpul bareng di rumah.

ADA PENGALAMAN YANG tak terlupakan yang dikerjakan oleh kedua anakku. Pada suatu ketika anakku Bunga Gita kuberi uang dalam jumlah tertentu. Ketika kuajak ke supermarket, uang yang kuberikan berkurang banyak sekali. Jatuhkah uang itu? Hilangkah uang itu? Dijambretkah uang itu? Atau dicopetkah uang itu?

“Kalau nanti nDuk Gita mau beli baju atau boneka, pakai uang nDuk Gita yang tadi Bapak berikan lho ya...” kataku.

“Kayanya  nDuk gak minta baju dan boneka deh, Pak,” katanya membuatku agak terkejut.

Lha kenapa?” kejar istriku.

“Tadi uangnya sebagaian sudah nDuk kasihkan ke pengemis yang cacat di depan supermarket itu, Pak...” katanya yang kusambut dengan semakin kaget. “Koq nggak ngasih tahu Bapak sih, nDuk?!”

“Beramal itu harus ikhlas, tidak boleh ketahuan orang lain, nggak minta dipuji dan kata Bapak tangan di atas itu lebih baik dari tangan di bawah. Lagi pula kata Bapak juga, kan apa yang kita berikan kepada mereka, pasti  Allah SWT  menggantinya dengan yang lebih baik dan dengan yang lebih banyak lagi,” jawab nDuk Gita santai saja. “Gitu saja koq repot sih, Pak,” lanjutnya tanpa beban.

Bukan berhenti sampai begitu saja ternyata yang dikerjakan oleh anakku Bunga Gita, begitu mobil kami melewati pembangunan Masjid, anakku Gita menyuruh pelan Mas Fiqri yang bawa mobil. “Nanti di depan masjid itu pelanp-pelan ya, Mas...”

Lho... Kenapa harus pelan-pelan?” tanya Mas Fiqri.

“Di situ ada orang yang pegang serok minta sumbangan untuk pembangunan masjid,” katanya.

Lha nanti kita gak bisa beli es krim di supermarket  lho, nDuk Gita,” kata Mas Fiqri mengingatkan adiknya.

“Kita sudah sering menikmati es krim,” jawabnya. “Nyumbang untuk pembangunan masjid itu lebih penting dan lebih baik. Nanti kita gak usah beli es krim, kita beli air mineral botolan saja,” katanya.

Aku---juga istriku, terharu sampai kami menangis. Dalam hati aku berkata, “Ya Allah... terimakasih untuk semua yang telah Engkau berikan kepada kami. Terimalah syukur kami, karena kami telah Engkau beri anak-anak yang soleh dan soleha...”

Karena semua yang aku butuhkan untuk hidup di dunia ini sudah kudapat, maka sebagai bukti syukur dan terimakasihku kepada Allah SWT, apa yang aku dapat tidak banyak yang aku simpan di bank, jadi kebun, jadi  sawah, jadi tanah, jadi gedung, jadi perkantoran, jadi hotel, jadi supermarket, atau jadi deposito. Karena titipan dari Allah SWT itu, aku salurkan tanpa sedikitpun kami takut miskin. Karena yang nanti dibawa mati toh bukanlah banyaknya harta, tingginya tahta, megahnya jabatan, juga bukan wanita cantik, akan tetapi amal-saleh. Saat jasad kita kembali ke tanah nanti, yang membungkusnya pun hanya selembar kain kafan warna putih.

Bratasena Adiwarna, November-Desember 2015-Januari2016.     
  

Fajar Sumatera, Jumat, 15 Januari 2016

Sajak-sajak Husen Arifin

Di Studio Jeihan

kau membaca isi di kepalaku
dengan baik-baik dan hati-hati
sebelum suasana ramai sekali

kau yang menuntun diriku
menuju ruang baru
seperti labirin biru
lalu kau genggam tanganku
dan berlari-lari ke dalam lorong waktu

ah, tetapi aku mengenalimu
sebagai buku-buku
yang kubaca lewat ritualku
di setiap hari Rabu

dalam lembaranmu
sungguh ada cinta yang berkelindan bagai ibu
menghangatkan tubuhku

Bandung, 2015



Pendekar Kebahagiaan

ketika berkelebat ingatan
kepada cinta yang bertarung melawan
hawa nafsu dan dukacita berkepanjangan
ambillah pedang pencakar langit

dari dalam tubuh tabib yang berhasil
mengawal kesetiaan lebih 50 tahun
sambil mengucapkan doa penakluk
agar akhirnya musuh takluk

sehingga kau mudah mengingat
betapa sedih itu pasti menyayat
tampak kau takut pada kegagalan
bahkan sudah tertanam dalam kepala tangan

jadikanlah mata pendekarmu
melampaui ratapanmu yang kelabu
melihat cinta di atas bulan
dan mengamati kenangan
yang berujung lebih tua dari usiamu

Bandung, 2015




Cium Kopiah Glenmore


bukan bibir yang dibubuhi gula
atau tangan putih membelai kepala
sehingga meresap ke tenggorokan

bahkan kancing tak harus lepas
dan celana pendek kecil bisa
waspada tetapi segera hilang
dari peredaran pandangan

maka sudahi petualanganmu
bila terdapat di kopiahmu
cerita agung dan abadi
cium dan kulum

Bandung, 2015



Sarung yang Merahasiakan Masa Depan


aku memiliki cara melipat
kertas putih menjadi pesawat
yang menembus ke langit tujuh
dan membawakan pintu surga separuh
berwarna putih dan beberapa apel merah

aku bisa mengutus pesawat itu
menjadi kuda-kuda berkaki emas
yang berperang melawan nama buruk
di dunia yang kelam nan hitam

namun aku merasa asing ketika bersarung
seperti rahasia di kepala terpasung
aku tak mampu merdeka untuk melompat
dari kuda, bahkan kakiku sangat berat

setiap aku ingin melangkah
maka kulipat sarungku
yang merahasiakan masa depan
dengan kuterbangkan
bersama pesawat kertasku

Bandung, 2015



Pasarku 

kepada penjual apa pun
jangan membunuh diri
meski urusan sekotak nasi
juga dompet tetap tak terisi

kepada pembeli apa pun
jadikanlah sabar
sebagai penunjuk radar
bukan semata urusan perut besar

kenyataan sejauh ini
aku menyaksikan pasar ramai
lantaran daging tak sepi
dan baju juga tak sepi
dan sayur-sayur pun bersemi

Bandung, 2015



-----------------
Husen Arifin, lahir di Probolinggo 28 Januari 1989. Karya-karyanya dimuat di berbagai media dan antologi bersama. Pernah meraih penghargaan dalam Lomba Cipta Puisi Thulabi Club Bandung (2007), Lomba Cerpen Tingkat Nasional IPB (2011), Lomba Cerpen Islami Se-Jawa Timur di ITS (2011), Lomba Cipta Cerpen tingkat Nasional STF Al-Farabi Malang (2013), dan Lomba Cipta Cerpen tingkat Nasional UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2014). Kumpulan cerpennya: Lampion (2014).


Fajar Sumatera, Jumat, 15 Januari 2016

Friday, January 8, 2016

Sekolah Khusus Kaum Setan

Cerpen Ken Hanggara


UJIAN termudah bagi setan bisa ditemui di suatu tempat yang memajang ratusan wajah. Di sana setan-setan berkeliling sesuka hati dan memilih wajah sesuai harapan. Wajah-wajah itu hidup dan bicara. Punya mata, mulut, hidung, pipi, dan telinga. Namun sebagian wajah sulit diambil untuk jadikan topeng.

"Hal termanis bagi setan adalah ketika dimanjakan dengan wajah pasrah sumarah. Di tempat itulah kau temukan wajah semacam ini. Kau bermain topeng sepuasnya dan membikin senang negeri kita. Kau naik pangkat dan kebanggaan buatmu sekalian," kata kakakku, senior di sekolah, yang kini sukses di kota peradaban tempat tinggal manusia.

Ketika itu awan menggelap dan hujan turun begitu deras. Kami duduk berjejalan di bus terbang yang dikendali setan warna abu-abu. Pemberhentian pertama, katanya, agak mengagetkan.

"Tak apa," hibur sang sopir. "Nanti kalau kalian penat karena bergelut dengan dosa dan tipu daya setiap hari, bisa juga mengentas masalah otak di tempat itu."

Seturun dari bus pengantar SKKS (Sekolah Khusus Kaum Setan), jalan-jalan dunia manusia bukan terlihat bergulung liar, berpilin tak keruan sebagaimana di negeriku, tapi bercorak garis-garis putih halus. Lampu dipasang di tiang-tiang dan kami tidak boleh memetiknya, karena itu bisa mengurangi nilai rapor.

"Berani memetik lampu-lampu hingga padam, berarti kau rusak fasilitas tempat ini. Kau akan kekurangan wajah. Sebagian wajah yang mudah kau jadikan mainan, akan kabur dari sini setelah protes dalam pertemuan besar."

"Kok bisa?"

"Wajah-wajah itu sudah nyaman tinggal di sini dan mereka tak mau kau rusak tempat mereka dengan sabotase fasilitas. Tugasmu bukan di situ. Tugasmu wajah-wajah itu!"

Kami mengangguk. Seorang pembina berjalan di baris paling depan dan menunjuk sana-sini, memberitahu beberapa larangan. Kami berbaris dan memandang sana-sini riang. Dunia manusia jauh berbeda dengan dunia kami. Penuh aturan yang aku sendiri justru sulit menjalani andaikan aku lahir sebagai manusia. Tapi aku lahir sebagai setan, yang menempuh ujian level ringan hari ini. Tidak sekali pun jalan cerita akan berubah.

"Bisa kau bayangkan jika saja kita yang jadi manusia?" celetuk temanku tiba-tiba. Kami bersisian.

"Tak tahu."

"Alangkah menyebalkan. Di balik kehidupan kita yang khusyuk—andai kita ini manusia—ada sistem yang telaten, tempat di mana kaum setan membentuk konspirasi demi merusak tatanan hidup keturunan Adam."

"Itu menyakitkan, bukan lagi menyebalkan," timpalku setengah tertawa.

Kupikir, meski tidak mulia, kami tahu cara senang-senang. Tepatnya, akan belajar soal itu. Jika setan ditakdirkan ada di level makhluk rendahan, manusia berada di tengah. Itu takdir dan kesemestian yang dibuat sejak Adam dan Hawa diusir dari surga karena kebodohan. Tugas kitalah, kaum setan, membawa mereka yang terombang-ambing ke bawah sampai tak bisa memanjat!

Alangkah hebat bila itu terjadi. Misalnya saja aku bisa membawa manusia jatuh ke titik terendah. Lalu kuajak dia bermain. Aku tidak lagi kesepian dan tidak takut ucapan seorang guru terwujud: "Jika kau gagal, buang saja dirimu ke jurang! Kau tidak bisa membagi jatahmu. Dan kau menangis tanpa satu pun teman!"

Aku tidak mau menangis dan aku tidak suka tidak punya teman. Bagaimanapun, kegagalan murid sekolah setan adalah ketika dia lulus dalam keadaan tipis wajah. Setan hanya sukses diwisuda dalam keadaan wajah tebal dan kulit mengapal, karena sering buka-tutup topeng. Topeng-topeng itu disediakan buat kita. Topeng wajah berbagai sifat manusia. Setiap setan jenius mampu meraup puluhan, bahkan ratusan wajah dalam setahun ujian pertama. Itu dibuktikan dari seberapa tebal wajah mereka. "Keluar dengan wajah tipis membuktikan kelasmu rendahan. Dan kau sebaiknya pergi jauh dari dunia manusia," kata seorang senior.

Aku berharap bisa melakukan yang terbaik. Menjadi setan nomor satu tahun ini.

*

Di sini, di tempat inilah, ujian pertama dilangsungkan. Dalam tujuh hari awal kami akan dipantau oleh tim pembina yang dibayar khusus oleh Raja Iblis. Sesudahnya kami dilepas dan dipantau dari neraka. Di tempat ini pula nanti kami akan belajar sekaligus berpesta.

"Berpesta?"

"Pertama," jawab seorang pembina, "kalian diberi wewenang mengontrol manusia, dengan catatan: sanggup menguasai jiwa mereka. Peluk dan rayu sehalus mungkin. Jerat dan jangan lepaskan mereka. Tapi lebih dulu amati, karena kadang-kadang setiap wajah di tempat ini menipu. Kau boleh jadi merayu manusia suci bertampang maling, atau kau juga boleh jadi tengah merayu manusia terbejat berparas nabi. Tidak sulit membedakan. Kau hanya perlu melihat tingkah lakunya."

Peluk dan rayu sehalus mungkin. Jerat dan jangan lepaskan. Tak sulit. Anggap kau bocah di toko mainan. Ibumu memberi kebebasan memilih mainan. Bagaimana bisa kamu tolak? Kau hanya perlu berkeliling rak demi rak dan meraih wajah-wajah itu dengan sabar.

"Kedua, penguasaan materi membuatmu sadar tempat semengerikan ini sejatinya adalah surga bagi kita. Surga bagi setan yang mencari teman berbagi. "

Tempat itu memang mengerikan. Indah, tapi sangat tidak pas untuk kami. Ratusan manusia berkumpul dan duduk di kursi, sehingga aku percaya kami akan sulit berpesta di sini jika kelak bosan karena tiap hari kumpul dengan stok dosa dan tipu daya, seperti ucapan sopir bus tadi.

"Kita di tengah lautan manusia! Bagaimana bisa berpesta?!"

"Apa masalahnya?"

"Kita akan terbakar dan mati!"

"Hei, ini ujian termudah. Kau pikun?!"

"Jadi?"

"Kau tidak terbakar dan mati hanya karena mereka lebih mulia. Kau justru lebih lapang dan sejuk, karena di sini penuh kaum munafik dan pendosa!"

"Itukah kenapa ini disebut ujian termudah di SKKS?"

"Ya! Tolol!"

Aku mengerti, meski heran. Tentu aku senang. Tidak terbakar di tengah lautan manusia, itu hal yang baru. Wajah-wajah atau topeng-topeng, yang ternyata interpretasi hati manusialah, yang harus kami taklukkan. Namun, sebagai murid kelas satu, pikiran lain datang. Hidup di tengah ratusan wajah bermata, bermulut, berhidung, berpipi, dan bertelinga apakah tidak membuatmu merasa sebagai si asing? Kau pikir dirimu bukan siapa-siapa. Kau pikir dirimu rendah. Kau pikir dirimu layak dibuang di tempat sampah atau sekalian jurang neraka sehingga menangis sebagai lulusan SKKS paling gagal, sementara orang-orang itu tertawa dan tidur-tiduran di meja panjang penuh tumpukan tugas kantor. Tapi, sebagai murid paling ambisi meraih gelar setan nomor satu tahun ini, aku kira semua itu tinggal dibalik.

"Kita lagi belajar," temanku menimpali. "Lihat manusia-manusia ini. Seperti kata Senior, kita baca tingkah mereka. Topeng-topeng berkeliaran dan tugas kita menjerat mereka yang senang bertopeng."

"Lalu dengan itu kita mengajak mereka bermain?"

"Nah!"

Baiklah, kita mulai hari ini dengan manusia pertama. Target pertama. Mohon maaf, aku tak menyebut nama. Aku tahu dia berwajah santun, namun hatinya kotor. Kuraih topengnya dan kupeluk. Kami bertopeng berdua. Kami bermain berdua. Amat mudah. Menjerat tubuh berbahan dasar tanah sehingga bergerak-gerik semacam boneka. Lantas mencuri dan menimbun uang-uang yang bukan haknya. Lantas berkoar di depan kamera bahwa ia berdiri untuk manusia lain yang dia pimpin.

Dan, oh, bermain dengan gadis muda nakal juga menyenangkan. Bermain di suatu hotel. Bermain dasi dan daster dan bir. Bermain air dan busa sabun. Bermain uang dan koper. Bermain topeng, yang entah pada hari ke berapa kebersamaan kami, tayang di sebuah halaman koran dengan judul: Anggota Dewan Terseret Kasus Korupsi. Topeng yang amat jelek!

Apakah kami berhenti?

Ini ujian termudah di sekolah setan. Tahun depan, temui aku di level yang lebih sulit. Itu pun kalau kau lulus! []

Gempol, 12-13 September - 16 Desember 2015

Fajar Sumatera, Jumat, 8 Januari 2016