Cerpen Tarpin A Nasri
ANAK BUNGSUKU—Bunga
Gita Bulan Hapsari, jika aku cuti selalu
minta tidur bareng denganku dan pasti
merengek-rengek minta diceritakan tentang masa kecilku! Ini artinya aku harus
membongkar kembali arsip masa laluku setelah tersimpan rapih selama beberapa
puluh tahun ke belakang. Hadeeehhhh...
“Ayo dong Pak, tolong ceritain tentang masa kecil Bapak dulu,” pinta anakku dengan setengah
merengek.
“Untuk apa
Bapak ceritakan tentang masa kecil Bapak? Nanti nDuk Gita nangis lho.
Karena masa kecil Bapak itu penuh dengan kesusahan, penuh dengan penderitaan, penuh
dengan kepedihan, penuh dengan keprihatinan, penuh dengan kesulitan dan penuh
dengan perjuangan, karena Bapak itu terlahir dari keluarga yang sangat-sangat
miskin,” jawabku.
“Susahnya, penderitaannya, kepedihannya, keprihatinannya,
kesulitannya, kemiskinannya dan perjuangannya seperti apa sih, Pak?” kejar Gita. “nDuk jadi
semakin ingin tahu nih, Pak,”
lanjutnya dengan tidak mau menyerah. “nDuk
jadi penasaran deh. Karena buat
diambil pelajarannya oleh nDuk, Pak.”
Karena anakku
Bunga Gita---panggilan sayangku untuknya, tidak kenal menyerah untuk aku
bercerita tentang masa laluku, maka akhirnya
aku menyeritakan saja mozaik-mozaik masa kecilku yang sampai saat ini masih aku
ingat betul. Inilah penggalan kisah masa laluku seperti yang kuceritakan kepada
Bidadari Kecilku---Bunga Gita.
APA YANG AKU
dapatkan saat ini, dulu sungguh tak berani aku membayangkannya secuilpun! Akan
tetapi itulah bukti nyata kecintaan dan kemurahan Allah SWT kepadaku. Dulu
untuk bisa makan nasi sehari tiga kali dengan sambal goang dan iwak pethek goreng
tepung saja, sungguh merupakan suatu kemewahan
buatku, karena keluargaku waktu itu hanya bisa makan dengan sega aking---yang terkadang masih dicampur
dengan bulgur, dengan lauk kepala
ikan asin sisa makan yang berasal dari pemberian tetangga yang sengaja diminta
oleh ibuku dari pada dibuang atau dijadikan makanan kucing. Keluargaku memang
waktu itu sungguh sangat miskin! Akan tetapi sekarang, syukur-alhamdulillah aku dan keluargaku bisa makan nasi putih yang pulen dan wangi, serta dengan lauk yang
bergizi dan sayuran yang bervitamin!
Aku juga
masih ingat. Dulu kalau aku nonton telivisi di rumah orang kaya yang sangat
jauh dari rumahku dan kebetulan yang punya rumah lagi makan, dari jauh aku
lihat lauk makannya pakai goreng paha ayam
dan minumnya dengan es buah, maka terbitlah ngiler-ku,
karena mereka makan dengan nikmat
sekali. “Ya Allah...apa nanti jika aku dewasa dan sudah bisa bekerja, aku bisa
makan dengan lauk seperti itu?” Itulah kalimat yang muncul di benakku waktu
itu. Kini, syukur-alhamdulillah, lauk
makan yang seperti itu sudah biasa kami santap, bahkan lauknya terkadang lebih bagus
dari itu!
Anak-anakku
juga tidak perlu nonton televisi jauh-jauh ke rumah tetangga, karena di rumah
juga ada TV. Dulu jika sudah belajar dan mengerjakan pe-er sekolah, kalau mau nonton televisi aku harus pergi ke rumah
tetangga yang jauhnya bukan main dan pulangnya larut malam dengan ketakutan menghantui
sepanjang jalan, karena aku takut dicegat kelong
wewe alias kuntilanak, atau di-kempit
genderuwo.
Dulu kalau
pagi dan pas mandi aku lupa membersihkan lubang hidung, maka bekas asap lampu
teplok yang nempel di bilik bambu, pasti tersisa. Kini anak-anakku tak perlu
begitu. Karena rumahku sudah berlistrik,
bahkan per anak punya kamar sendiri-sendiri. Lain dengan waktu aku kecil yang
sampai kelas tiga SMP saja aku masih tidur satu kamar bertiga dengan adik dan
kakakku.
Anak-anakku
kalau sekolah tidak perlu jalan kaki lebih dari sepuluhan kilometer
pergi-pulang di bawah siramn sinar matahari yang membacok kulit, karena istriku
pasti mengantarkannya dengan kendaraan roda dua, atau jika hujan dengan
kendaraan roda empat! Di zamanku kecil, kalau hujan aku biasa mengambil pelepah
daun pisang buat payung untuk menahan timbrisan hujan agar bisa sampai sekolah
karena tidak ada payung.
Di zamanku
kecil bisa sekolah naik sepeda Bapak saja sudah luar biasa senangnya, padahal
sepeda itu adalah sepeda onta tanpa rem dan pedalnya besi lancip, yang jika
tidak hati-hati bisa melukai kaki.
Anak-anakku
kalau sekolah tak perlu takut kelaparan, karena oleh istriku dibekali nasi
dalam packing yang baik dengan lauk
yang mantap pula! Pada waktu aku sekolah dulu, yang namanya sarapan pagi itu
tak pernah dan tidak pula selalu dapat uang jajan! Sehingga aku sering puasa
dan jika tak tahan, aku akan lari ke belakang sekolah mencari sumur timba! Bila
orang lain pada jajan waktu istirahat, aku minum air sumur yang langsung kutimba
dan aku pasti minum sekenyang-kenyangnya, bahkan sampai perutku kembung! Kadang
aku juga bisa jajan sih, akan tetapi aku
harus kuli di sawah atau di ladang orang dulu.
Anak-anakku
kalau sekolah seragamnya bisa ganti sesuai dengan harinya, demikian pula dengan
sepatunya! Zaman aku kecil, aku punya seragam serba satu. Dari Senen-Kamis
pakai putih-merah dan putih-biru. Kalau basah dan kotor, ya tetap saja dipakai,
sebab jika sekolah tidak pakai seragam, aku bisa kena hukuman dengan menghormat
bendera, angkat kaki satu, lari muterin
lapangan upacara, atau mungutin sampah!
Bahkan waktu SD aku sering tidak pakai seragam dan tak pakai sepatu. Aku hanya
pakai sandal jepit yang sudah sangat
tipis dan talinya sering copot-copot, karena lubangnya sudah longgar! Makanya
biar tidak mudah lepas-lepas, aku ikat tali sandal itu dengan karet, dan ketika
masih lepas-lepas juga, akhirnya aku kasih paku dengan melintang!
“SYUKUR-ALHAMDULILLAH
kini nDuk Gita dan Mas Ahmad Fiqri hidupnya tidak seperti
Bapak dulu ya?” ujar anakku Bunga Gita.
“Makanya
tidak ada alasan sedikitpun buat Bapak, juga bagi nDuk Gita, Mas Fiqri dan
Mama Tini, untuk tidak bersyukur dan berterimakasih kepada Allah SWT atas
anugerah yang terbaik dan karunia yang terindah ini,” jawabku dengan mantap.
”Karena Allah SWT sudah memberikan yang terbaik dan yang kita butuhkan kepada
kita,” lanjutku.
“Iya, betul
sekali kata Bapak, sebab jika kita tidak bersyukur dan tidak berterimakasih atas
nikmat yang diberikan oleh Allah SWT, kita akan diberikan azab yang sungguh angat
pedih,” ujar istriku sambil menyiapkan minuman dan makanan ringan untuk teman
nonton televisi layar datar yang super
lebar di ruang santai keluarga. “Sedangkan jika kita mensyukuri nikmat yang
Allah SWT berikan, insya Allah...Allah
SWT akan menambah nikmat yang lebih baik lagi kepada kita,” lanjut istriku.
“Caranya gimana itu, Ma?” tanya nDuk Gita.
“Kerjakan
perintah Allah SWT dan jauhi larangan-Nya,” kata Mas
Fiqri menjawabkan pertanyaan Bunga Gita setelah kuberi izin untuk menjawabnya.
“Berarti
sholat kita harus tepat waktu, bayar zakat dengan baik dan benar, serta jika
ketemu orang susah---maaf, maksudnya pengemis, kita harus ngasih sedekah ya, Pak?” ujar anakku Bunga Gita.
“Di
antaranya seperti itu, nDuk Gita,”
jawab Mama Tini---istriku yang telah mengantarkan dan membuatku bisa seperti
sekarang ini, setelah kuberi isyarat untuk menjawabnya.
“Kalau ada
kontak amal diisi ya, Pak? Dan jika ada pembangunan masjid, sekolah, madrasah, mushola
dan pesantren juga harus nyumbang.
Begitu kan, Pak?” lanjut anakku Gita.
“Bukan itu
saja yang harus kita kerjakan, nDuk
Gita...” kataku yang langsung disambung oleh anak sulungku Mas Fiqri. “...Kita juga harus menyumbang panti asuhan, menyantuni
anak yatim-piatu, membantu fakir-miskin...” kata anakku Fiqri yang langsung
kusambung, “...Membantu orang-orang tua yang sudah tidak mampu seperti mBah Atmo atau mBah Jeblug, itu juga perlu
kita lakukan,” paparku.
“Kalau semua
itu dikerjakan, habis dong nanti uang
kita, Pak...” kata anakku Bunga Gita sambil senyum.
“Apa yang
kita berikan untuk semua itu tidak akan membuat kita miskin, apalagi bangkrut, karena
Allah SWT akan mengganti dengan yang lebih baik lagi,” tegasku. “Jadi kita
tidak perlu takut!”
Obrolan-obrolan
yang seperti itulah yang sering aku lakukan jika kami kumpul bareng di rumah.
ADA
PENGALAMAN YANG tak terlupakan yang dikerjakan oleh kedua anakku. Pada suatu
ketika anakku Bunga Gita kuberi uang dalam jumlah tertentu. Ketika kuajak ke supermarket, uang yang kuberikan
berkurang banyak sekali. Jatuhkah uang itu? Hilangkah uang itu? Dijambretkah
uang itu? Atau dicopetkah uang itu?
“Kalau nanti
nDuk Gita mau beli baju atau boneka,
pakai uang nDuk Gita yang tadi Bapak
berikan lho ya...” kataku.
“Kayanya nDuk gak
minta baju dan boneka deh, Pak,”
katanya membuatku agak terkejut.
“Lha kenapa?” kejar istriku.
“Tadi
uangnya sebagaian sudah nDuk kasihkan
ke pengemis yang cacat di depan supermarket
itu, Pak...” katanya yang kusambut dengan semakin kaget. “Koq nggak ngasih tahu Bapak sih, nDuk?!”
“Beramal itu
harus ikhlas, tidak boleh ketahuan orang lain, nggak minta dipuji dan kata Bapak tangan di atas itu lebih baik
dari tangan di bawah. Lagi pula kata Bapak juga, kan apa yang kita berikan kepada mereka, pasti Allah SWT
menggantinya dengan yang lebih baik dan dengan yang lebih banyak lagi,”
jawab nDuk Gita santai saja. “Gitu saja koq repot sih, Pak,”
lanjutnya tanpa beban.
Bukan
berhenti sampai begitu saja ternyata yang dikerjakan oleh anakku Bunga Gita,
begitu mobil kami melewati pembangunan Masjid, anakku Gita menyuruh pelan Mas Fiqri yang bawa mobil. “Nanti di
depan masjid itu pelanp-pelan ya, Mas...”
“Lho... Kenapa harus pelan-pelan?” tanya Mas Fiqri.
“Di situ ada
orang yang pegang serok minta sumbangan untuk pembangunan masjid,” katanya.
“Lha nanti kita gak bisa beli es krim di supermarket
lho,
nDuk Gita,” kata Mas Fiqri
mengingatkan adiknya.
“Kita sudah
sering menikmati es krim,” jawabnya. “Nyumbang untuk pembangunan masjid itu lebih
penting dan lebih baik. Nanti kita gak usah
beli es krim, kita beli air mineral botolan saja,” katanya.
Aku---juga
istriku, terharu sampai kami menangis. Dalam hati aku berkata, “Ya Allah...
terimakasih untuk semua yang telah Engkau berikan kepada kami. Terimalah syukur
kami, karena kami telah Engkau beri anak-anak yang soleh dan soleha...”
Karena semua
yang aku butuhkan untuk hidup di dunia ini sudah kudapat, maka sebagai bukti
syukur dan terimakasihku kepada Allah SWT, apa yang aku dapat tidak banyak yang
aku simpan di bank, jadi kebun, jadi sawah,
jadi tanah, jadi gedung, jadi perkantoran, jadi hotel, jadi supermarket, atau jadi deposito. Karena
titipan dari Allah SWT itu, aku salurkan tanpa sedikitpun kami takut miskin. Karena
yang nanti dibawa mati toh bukanlah banyaknya
harta, tingginya tahta, megahnya jabatan, juga bukan wanita cantik, akan tetapi
amal-saleh. Saat jasad kita kembali ke tanah nanti, yang membungkusnya pun
hanya selembar kain kafan warna putih.
Bratasena Adiwarna, November-Desember 2015-Januari2016.
Fajar
Sumatera, Jumat, 15 Januari 2016
No comments:
Post a Comment