Friday, January 15, 2016

Cerita Kecil untuk Anakku

Cerpen Tarpin A Nasri


ANAK BUNGSUKU—Bunga Gita Bulan Hapsari,  jika aku cuti selalu minta tidur bareng denganku dan pasti merengek-rengek minta diceritakan tentang masa kecilku! Ini artinya aku harus membongkar kembali arsip masa laluku setelah tersimpan rapih selama beberapa puluh tahun ke belakang. Hadeeehhhh...

“Ayo dong Pak, tolong ceritain tentang masa kecil Bapak dulu,” pinta anakku dengan setengah merengek.

“Untuk apa Bapak ceritakan tentang masa kecil Bapak? Nanti nDuk Gita nangis lho. Karena masa kecil Bapak itu penuh dengan kesusahan, penuh dengan penderitaan, penuh dengan kepedihan, penuh dengan keprihatinan, penuh dengan kesulitan dan penuh dengan perjuangan, karena Bapak itu terlahir dari keluarga yang sangat-sangat miskin,” jawabku.

“Susahnya,  penderitaannya, kepedihannya, keprihatinannya, kesulitannya, kemiskinannya dan perjuangannya seperti apa sih, Pak?” kejar Gita. “nDuk jadi semakin ingin tahu nih, Pak,” lanjutnya dengan tidak mau menyerah. “nDuk jadi penasaran deh. Karena buat diambil pelajarannya oleh nDuk, Pak.”

Karena anakku Bunga Gita---panggilan sayangku untuknya, tidak kenal menyerah untuk aku bercerita tentang masa laluku, maka  akhirnya aku menyeritakan saja mozaik-mozaik masa kecilku yang sampai saat ini masih aku ingat betul. Inilah penggalan kisah masa laluku seperti yang kuceritakan kepada Bidadari Kecilku---Bunga Gita.

APA YANG AKU dapatkan saat ini, dulu sungguh tak berani aku membayangkannya secuilpun! Akan tetapi itulah bukti nyata kecintaan dan kemurahan Allah SWT kepadaku. Dulu untuk bisa makan nasi sehari tiga kali dengan sambal goang dan iwak pethek goreng tepung saja,  sungguh merupakan suatu kemewahan buatku, karena keluargaku waktu itu hanya bisa makan dengan sega aking---yang terkadang masih dicampur dengan bulgur, dengan lauk kepala ikan asin sisa makan yang berasal dari pemberian tetangga yang sengaja diminta oleh ibuku dari pada dibuang atau dijadikan makanan kucing. Keluargaku memang waktu itu sungguh sangat miskin! Akan tetapi sekarang, syukur-alhamdulillah aku dan keluargaku bisa makan nasi putih yang pulen dan wangi, serta dengan lauk yang bergizi dan sayuran yang bervitamin!

Aku juga masih ingat. Dulu kalau aku nonton telivisi di rumah orang kaya yang sangat jauh dari rumahku dan kebetulan yang punya rumah lagi makan, dari jauh aku lihat lauk makannya pakai goreng  paha ayam dan minumnya dengan es buah, maka terbitlah ngiler-ku, karena  mereka makan dengan nikmat sekali. “Ya Allah...apa nanti jika aku dewasa dan sudah bisa bekerja, aku bisa makan dengan lauk seperti itu?” Itulah kalimat yang muncul di benakku waktu itu. Kini, syukur-alhamdulillah, lauk makan yang seperti itu sudah biasa kami santap, bahkan lauknya terkadang lebih bagus dari itu!

Anak-anakku juga tidak perlu nonton televisi jauh-jauh ke rumah tetangga, karena di rumah juga ada TV. Dulu jika sudah belajar dan mengerjakan pe-er sekolah, kalau mau nonton televisi aku harus pergi ke rumah tetangga yang jauhnya bukan main dan pulangnya larut malam dengan ketakutan menghantui sepanjang jalan, karena aku takut dicegat kelong wewe alias kuntilanak, atau di-kempit genderuwo.

Dulu kalau pagi dan pas mandi aku lupa membersihkan lubang hidung, maka bekas asap lampu teplok yang nempel di bilik bambu, pasti tersisa. Kini anak-anakku tak perlu begitu. Karena  rumahku sudah berlistrik, bahkan per anak punya kamar sendiri-sendiri. Lain dengan waktu aku kecil yang sampai kelas tiga SMP saja aku masih tidur satu kamar bertiga dengan adik dan kakakku.

Anak-anakku kalau sekolah tidak perlu jalan kaki lebih dari sepuluhan kilometer pergi-pulang di bawah siramn sinar matahari yang membacok kulit, karena istriku pasti mengantarkannya dengan kendaraan roda dua, atau jika hujan dengan kendaraan roda empat! Di zamanku kecil, kalau hujan aku biasa mengambil pelepah daun pisang buat payung untuk menahan timbrisan hujan agar bisa sampai sekolah karena tidak ada payung.

Di zamanku kecil bisa sekolah naik sepeda Bapak saja sudah luar biasa senangnya, padahal sepeda itu adalah sepeda onta tanpa rem dan pedalnya besi lancip, yang jika tidak hati-hati bisa melukai kaki.

Anak-anakku kalau sekolah tak perlu takut kelaparan, karena oleh istriku dibekali nasi dalam packing yang baik dengan lauk yang mantap pula! Pada waktu aku sekolah dulu, yang namanya sarapan pagi itu tak pernah dan tidak pula selalu dapat uang jajan! Sehingga aku sering puasa dan jika tak tahan, aku akan lari ke belakang sekolah mencari sumur timba! Bila orang lain pada jajan waktu istirahat, aku minum air sumur yang langsung kutimba dan aku pasti minum sekenyang-kenyangnya, bahkan sampai perutku kembung! Kadang aku juga bisa jajan sih, akan tetapi aku harus kuli di sawah atau di ladang orang dulu.

Anak-anakku kalau sekolah seragamnya bisa ganti sesuai dengan harinya, demikian pula dengan sepatunya! Zaman aku kecil, aku punya seragam serba satu. Dari Senen-Kamis pakai putih-merah dan putih-biru. Kalau basah dan kotor, ya tetap saja dipakai, sebab jika sekolah tidak pakai seragam, aku bisa kena hukuman dengan menghormat bendera, angkat kaki satu, lari muterin lapangan upacara, atau mungutin sampah! Bahkan waktu SD aku sering tidak pakai seragam dan tak pakai sepatu. Aku hanya pakai sandal jepit  yang sudah sangat tipis dan talinya sering copot-copot, karena lubangnya sudah longgar! Makanya biar tidak mudah lepas-lepas, aku ikat tali sandal itu dengan karet, dan ketika masih lepas-lepas juga, akhirnya aku kasih paku dengan melintang! 

“SYUKUR-ALHAMDULILLAH kini nDuk Gita dan Mas Ahmad Fiqri hidupnya tidak seperti Bapak dulu ya?” ujar anakku Bunga Gita.

“Makanya tidak ada alasan sedikitpun buat Bapak, juga bagi nDuk Gita, Mas Fiqri dan Mama Tini, untuk tidak bersyukur dan berterimakasih kepada Allah SWT atas anugerah yang terbaik dan karunia yang terindah ini,” jawabku dengan mantap. ”Karena Allah SWT sudah memberikan yang terbaik dan yang kita butuhkan kepada kita,” lanjutku.

“Iya, betul sekali kata Bapak, sebab jika kita tidak bersyukur dan tidak berterimakasih atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT, kita akan diberikan azab yang sungguh angat pedih,” ujar istriku sambil menyiapkan minuman dan makanan ringan untuk teman nonton televisi  layar datar yang super lebar di ruang santai keluarga. “Sedangkan jika kita mensyukuri nikmat yang Allah SWT berikan, insya Allah...Allah SWT akan menambah nikmat yang lebih baik lagi kepada kita,” lanjut istriku.

“Caranya gimana itu, Ma?” tanya nDuk Gita.

“Kerjakan perintah Allah SWT dan jauhi larangan-Nya,” kata  Mas Fiqri menjawabkan pertanyaan Bunga Gita setelah kuberi izin untuk menjawabnya.

“Berarti sholat kita harus tepat waktu, bayar zakat dengan baik dan benar, serta jika ketemu orang susah---maaf, maksudnya pengemis, kita harus ngasih sedekah ya, Pak?” ujar anakku Bunga Gita.

“Di antaranya seperti itu, nDuk Gita,” jawab Mama Tini---istriku yang telah mengantarkan dan membuatku bisa seperti sekarang ini, setelah kuberi isyarat untuk menjawabnya.

“Kalau ada kontak amal diisi ya, Pak? Dan jika ada pembangunan masjid, sekolah, madrasah, mushola dan pesantren juga harus nyumbang. Begitu kan, Pak?” lanjut anakku Gita.

“Bukan itu saja yang harus kita kerjakan, nDuk Gita...” kataku yang langsung disambung oleh anak sulungku Mas Fiqri. “...Kita juga harus menyumbang panti asuhan, menyantuni anak yatim-piatu, membantu fakir-miskin...” kata anakku Fiqri yang langsung kusambung, “...Membantu orang-orang tua yang sudah tidak mampu seperti mBah Atmo atau mBah Jeblug,  itu juga perlu kita lakukan,” paparku.

“Kalau semua itu dikerjakan, habis dong nanti uang kita, Pak...” kata anakku Bunga Gita sambil senyum.

“Apa yang kita berikan untuk semua itu tidak akan membuat kita miskin, apalagi bangkrut, karena Allah SWT akan mengganti dengan yang lebih baik lagi,” tegasku. “Jadi kita tidak perlu takut!”
Obrolan-obrolan yang seperti itulah yang sering aku lakukan jika kami kumpul bareng di rumah.

ADA PENGALAMAN YANG tak terlupakan yang dikerjakan oleh kedua anakku. Pada suatu ketika anakku Bunga Gita kuberi uang dalam jumlah tertentu. Ketika kuajak ke supermarket, uang yang kuberikan berkurang banyak sekali. Jatuhkah uang itu? Hilangkah uang itu? Dijambretkah uang itu? Atau dicopetkah uang itu?

“Kalau nanti nDuk Gita mau beli baju atau boneka, pakai uang nDuk Gita yang tadi Bapak berikan lho ya...” kataku.

“Kayanya  nDuk gak minta baju dan boneka deh, Pak,” katanya membuatku agak terkejut.

Lha kenapa?” kejar istriku.

“Tadi uangnya sebagaian sudah nDuk kasihkan ke pengemis yang cacat di depan supermarket itu, Pak...” katanya yang kusambut dengan semakin kaget. “Koq nggak ngasih tahu Bapak sih, nDuk?!”

“Beramal itu harus ikhlas, tidak boleh ketahuan orang lain, nggak minta dipuji dan kata Bapak tangan di atas itu lebih baik dari tangan di bawah. Lagi pula kata Bapak juga, kan apa yang kita berikan kepada mereka, pasti  Allah SWT  menggantinya dengan yang lebih baik dan dengan yang lebih banyak lagi,” jawab nDuk Gita santai saja. “Gitu saja koq repot sih, Pak,” lanjutnya tanpa beban.

Bukan berhenti sampai begitu saja ternyata yang dikerjakan oleh anakku Bunga Gita, begitu mobil kami melewati pembangunan Masjid, anakku Gita menyuruh pelan Mas Fiqri yang bawa mobil. “Nanti di depan masjid itu pelanp-pelan ya, Mas...”

Lho... Kenapa harus pelan-pelan?” tanya Mas Fiqri.

“Di situ ada orang yang pegang serok minta sumbangan untuk pembangunan masjid,” katanya.

Lha nanti kita gak bisa beli es krim di supermarket  lho, nDuk Gita,” kata Mas Fiqri mengingatkan adiknya.

“Kita sudah sering menikmati es krim,” jawabnya. “Nyumbang untuk pembangunan masjid itu lebih penting dan lebih baik. Nanti kita gak usah beli es krim, kita beli air mineral botolan saja,” katanya.

Aku---juga istriku, terharu sampai kami menangis. Dalam hati aku berkata, “Ya Allah... terimakasih untuk semua yang telah Engkau berikan kepada kami. Terimalah syukur kami, karena kami telah Engkau beri anak-anak yang soleh dan soleha...”

Karena semua yang aku butuhkan untuk hidup di dunia ini sudah kudapat, maka sebagai bukti syukur dan terimakasihku kepada Allah SWT, apa yang aku dapat tidak banyak yang aku simpan di bank, jadi kebun, jadi  sawah, jadi tanah, jadi gedung, jadi perkantoran, jadi hotel, jadi supermarket, atau jadi deposito. Karena titipan dari Allah SWT itu, aku salurkan tanpa sedikitpun kami takut miskin. Karena yang nanti dibawa mati toh bukanlah banyaknya harta, tingginya tahta, megahnya jabatan, juga bukan wanita cantik, akan tetapi amal-saleh. Saat jasad kita kembali ke tanah nanti, yang membungkusnya pun hanya selembar kain kafan warna putih.

Bratasena Adiwarna, November-Desember 2015-Januari2016.     
  

Fajar Sumatera, Jumat, 15 Januari 2016

No comments:

Post a Comment