UJIAN termudah bagi setan bisa ditemui di suatu
tempat yang memajang ratusan wajah. Di sana setan-setan berkeliling sesuka hati
dan memilih wajah sesuai harapan. Wajah-wajah itu hidup dan bicara. Punya mata,
mulut, hidung, pipi, dan telinga. Namun sebagian wajah sulit diambil untuk
jadikan topeng.
"Hal termanis bagi setan adalah
ketika dimanjakan dengan wajah pasrah sumarah. Di tempat itulah kau temukan
wajah semacam ini. Kau bermain topeng sepuasnya dan membikin senang negeri
kita. Kau naik pangkat dan kebanggaan buatmu sekalian," kata kakakku, senior di sekolah,
yang kini sukses di kota peradaban tempat tinggal manusia.
Ketika itu awan menggelap dan hujan turun begitu deras. Kami
duduk berjejalan di bus terbang yang dikendali setan warna abu-abu. Pemberhentian pertama, katanya, agak
mengagetkan.
"Tak apa," hibur sang sopir.
"Nanti kalau kalian penat karena bergelut dengan dosa dan tipu daya setiap
hari, bisa juga mengentas masalah otak di tempat itu."
Seturun dari bus pengantar SKKS (Sekolah
Khusus Kaum Setan), jalan-jalan dunia manusia bukan terlihat bergulung liar,
berpilin tak keruan sebagaimana di negeriku, tapi bercorak garis-garis putih halus. Lampu dipasang di
tiang-tiang dan kami tidak boleh memetiknya, karena itu bisa mengurangi nilai
rapor.
"Berani memetik lampu-lampu hingga
padam, berarti kau rusak fasilitas tempat ini. Kau akan kekurangan wajah.
Sebagian wajah yang mudah kau jadikan mainan, akan kabur dari sini setelah
protes dalam pertemuan besar."
"Kok bisa?"
"Wajah-wajah itu sudah nyaman tinggal
di sini dan mereka tak mau kau rusak tempat mereka dengan sabotase fasilitas. Tugasmu bukan di situ. Tugasmu wajah-wajah
itu!"
Kami mengangguk. Seorang pembina berjalan
di baris paling depan dan menunjuk
sana-sini, memberitahu
beberapa larangan. Kami berbaris dan memandang sana-sini riang. Dunia manusia
jauh berbeda dengan dunia kami. Penuh aturan yang aku sendiri justru sulit
menjalani andaikan aku lahir sebagai manusia. Tapi aku lahir sebagai setan,
yang menempuh ujian level ringan hari ini. Tidak sekali pun jalan cerita akan
berubah.
"Bisa kau bayangkan jika saja kita
yang jadi manusia?" celetuk temanku tiba-tiba. Kami bersisian.
"Tak tahu."
"Alangkah menyebalkan. Di balik
kehidupan kita yang khusyuk—andai kita ini manusia—ada sistem yang telaten, tempat di mana kaum setan membentuk
konspirasi demi merusak tatanan hidup keturunan Adam."
"Itu menyakitkan, bukan lagi
menyebalkan," timpalku setengah tertawa.
Kupikir, meski tidak mulia, kami tahu cara
senang-senang. Tepatnya, akan belajar soal itu. Jika setan ditakdirkan ada di
level makhluk rendahan,
manusia berada di tengah. Itu takdir dan kesemestian yang dibuat sejak Adam dan
Hawa diusir dari surga karena kebodohan. Tugas kitalah, kaum setan, membawa
mereka yang terombang-ambing ke bawah sampai tak bisa memanjat!
Alangkah hebat bila itu terjadi. Misalnya
saja aku bisa membawa manusia jatuh ke titik terendah. Lalu kuajak dia bermain. Aku tidak lagi kesepian dan tidak takut ucapan seorang guru terwujud: "Jika kau
gagal, buang saja dirimu ke jurang! Kau tidak bisa membagi jatahmu. Dan kau
menangis tanpa satu pun teman!"
Aku tidak mau menangis dan aku tidak suka
tidak punya teman. Bagaimanapun, kegagalan murid sekolah setan adalah ketika
dia lulus dalam keadaan tipis wajah. Setan hanya sukses
diwisuda dalam keadaan wajah tebal dan kulit mengapal, karena sering buka-tutup
topeng. Topeng-topeng itu disediakan buat kita. Topeng wajah berbagai sifat
manusia. Setiap setan jenius mampu meraup puluhan, bahkan ratusan wajah dalam
setahun ujian pertama. Itu dibuktikan dari seberapa tebal wajah mereka.
"Keluar dengan wajah tipis membuktikan kelasmu rendahan. Dan kau sebaiknya
pergi jauh dari dunia manusia," kata seorang senior.
Aku berharap bisa melakukan yang terbaik.
Menjadi setan nomor satu tahun ini.
*
Di sini, di tempat inilah, ujian pertama dilangsungkan. Dalam tujuh
hari awal kami akan dipantau oleh tim pembina yang dibayar khusus oleh Raja
Iblis. Sesudahnya kami dilepas dan dipantau dari neraka. Di tempat ini pula nanti
kami akan belajar sekaligus
berpesta.
"Berpesta?"
"Pertama," jawab seorang
pembina, "kalian diberi wewenang mengontrol manusia, dengan catatan:
sanggup menguasai jiwa mereka. Peluk dan rayu sehalus mungkin. Jerat dan jangan
lepaskan mereka. Tapi lebih dulu amati, karena kadang-kadang setiap wajah di
tempat ini menipu. Kau boleh jadi merayu manusia suci bertampang maling, atau
kau juga boleh jadi tengah merayu manusia terbejat berparas nabi. Tidak sulit membedakan. Kau
hanya perlu melihat tingkah lakunya."
Peluk dan rayu sehalus mungkin. Jerat dan
jangan lepaskan. Tak sulit. Anggap kau bocah di toko mainan. Ibumu memberi
kebebasan memilih mainan. Bagaimana bisa kamu tolak? Kau hanya perlu berkeliling
rak demi rak dan meraih wajah-wajah
itu dengan sabar.
"Kedua, penguasaan materi membuatmu
sadar tempat semengerikan ini sejatinya adalah surga bagi kita. Surga bagi
setan yang mencari teman berbagi. "
Tempat itu memang mengerikan. Indah, tapi sangat tidak pas untuk kami. Ratusan manusia berkumpul dan duduk
di kursi, sehingga aku percaya kami akan sulit berpesta di sini jika kelak
bosan karena tiap hari kumpul dengan stok dosa dan tipu daya, seperti ucapan
sopir bus tadi.
"Kita di tengah lautan manusia!
Bagaimana bisa berpesta?!"
"Apa masalahnya?"
"Kita akan terbakar dan mati!"
"Hei, ini ujian termudah. Kau pikun?!"
"Jadi?"
"Kau tidak terbakar dan mati hanya
karena mereka lebih mulia. Kau
justru lebih lapang dan sejuk, karena di sini penuh kaum munafik dan
pendosa!"
"Itukah kenapa ini disebut ujian
termudah di SKKS?"
"Ya! Tolol!"
Aku mengerti, meski heran. Tentu aku
senang. Tidak terbakar di tengah lautan manusia, itu hal yang baru. Wajah-wajah
atau topeng-topeng, yang ternyata interpretasi hati manusialah, yang harus kami taklukkan. Namun, sebagai murid kelas satu, pikiran
lain datang. Hidup di tengah ratusan wajah bermata, bermulut, berhidung,
berpipi, dan bertelinga apakah tidak membuatmu merasa sebagai si asing? Kau pikir dirimu bukan
siapa-siapa. Kau pikir dirimu rendah. Kau pikir dirimu layak dibuang di tempat
sampah atau sekalian jurang neraka sehingga menangis sebagai lulusan SKKS
paling gagal, sementara orang-orang itu tertawa dan tidur-tiduran di meja
panjang penuh tumpukan tugas kantor. Tapi, sebagai murid paling ambisi meraih gelar setan nomor satu tahun
ini, aku kira semua itu tinggal dibalik.
"Kita lagi belajar," temanku
menimpali. "Lihat manusia-manusia ini. Seperti kata Senior, kita baca
tingkah mereka. Topeng-topeng berkeliaran dan tugas kita menjerat mereka yang
senang bertopeng."
"Lalu dengan itu kita mengajak mereka
bermain?"
"Nah!"
Baiklah, kita mulai hari ini dengan
manusia pertama. Target pertama. Mohon maaf, aku tak menyebut nama. Aku tahu
dia berwajah santun, namun hatinya kotor. Kuraih topengnya dan kupeluk. Kami
bertopeng berdua. Kami bermain berdua. Amat mudah. Menjerat tubuh berbahan
dasar tanah sehingga bergerak-gerik semacam boneka. Lantas mencuri dan menimbun
uang-uang yang bukan haknya. Lantas berkoar di depan kamera bahwa ia berdiri
untuk manusia lain yang dia pimpin.
Dan, oh, bermain dengan gadis muda nakal
juga menyenangkan. Bermain di suatu
hotel. Bermain dasi dan daster dan bir. Bermain air dan busa sabun. Bermain
uang dan koper. Bermain topeng, yang entah pada hari ke berapa kebersamaan
kami, tayang di sebuah halaman koran dengan judul: Anggota Dewan Terseret
Kasus Korupsi. Topeng yang amat jelek!
Apakah kami berhenti?
Ini ujian termudah di sekolah setan. Tahun
depan, temui aku di level yang lebih sulit. Itu pun kalau kau lulus! []
Gempol, 12-13 September - 16 Desember 2015
Fajar Sumatera, Jumat, 8 Januari 2016
No comments:
Post a Comment