Cerpen Riza Multazam Luthfy
Di tengah perjalanan menuju stasiun, keduanya
membayangkan alangkah indahnya kencan pertama yang akan dilalui.
Kenangan-kenangan manis akan tercipta dalam suasana sejuk-tenang, di kota
Guildford. Selain mengunjungi katedral, galeri seni, museum, menikmati bioskop
dan teater (Yvonne Arnaud), sepasang
kekasih tersebut juga dapat mengenang pemboman oleh gerilyawan Irlandia Utara
pada dua pub lokal. Betapa Jessica Subono dan Yoga Bradley ingin memetik
pengalaman berbeda dalam kencannya, dibanding mahasiswa-mahasiswa asal
Indonesia yang lain. Namun, sekali pun mereka tidak pernah membayangkan, di
sana, di dekat stasiun Woking sana, berlangsung demonstrasi ribuan mahasiswa
dari berbagai kampus, menentang rencana
pemerintah dalam mengurangi anggaran negara. Pun, dua mahasiswa yang baru
seminggu menjalin asmara tersebut, tidak pernah berpikir, bahwa demonstrasi
berdarah itulah yang ternyata bakal menyebabkan keduanya menjadi gila.
Selamanya. []
Fajar Sumatera, Jumat, 22 Januari 2016
PEREMPUAN
itu meraung. Keningnya melelehkan darah. Ia, yang sudah beberapa lama menanti
kehadiran seorang lelaki, akhirnya harus mengalah. Entah kepada diri sendiri,
atau kepada mereka yang menyebutnya gila. Ha? Gila? Kata yang disematkan pada
tubuhnya enam bulan terakhir.
Orang-orang
di sekeliling memandanginya, berdesis. Tanpa ragu, ia menyaring suara-suara
yang menyembul dari katup mulut mereka, satu persatu. Namun, menggeleng.
Pertanda bahwa desisan tersebut kurang jelas. Atau bisa jadi memang terlalu
sukar dialihbahasakan dua telinganya.
Heran.
Itulah kesan pada dirinya sendiri, yang genap menjadi magnet bagi sesiapa yang
melihatnya. Di jalan, jembatan, trotoar, atau bahkan alun-alun kota. Wajahnya
yang kotor-kusam namun masih ditempeli bulir-bulir kecantikan, rupanya menjadi
daya pukau tersendiri bagi kaum lelaki. Tak ayal, berkali-kali ia nampak
mengutuki diri sendiri. Bukan tuduhan gila yang digencarkan kepadanya, namun
lebih karena elok rupa yang terlanjur ia tampung, sejak kali pertama menghirup
udara untuk diputar di hidung.
Kini,
di telapak tangan kanannya melekat cairan kental merah tua. Ia mengusap sembari
memijat. Memastikan bahwa di keningnya tidak menganga lubang besar sebagaimana
di jalan raya di negara asalnya yang tak bosan-bosannya melahirkan kecelakaan
beruntun. Juga merekam wajah lelaki yang begitu tega melempar batu ke arahnya.
Padahal, selama ini, lelaki-lelaki yang menjumpai dan dijumpainya selalu
bertabiat serupa: mengulum ujung jakun, sambil menatap lekat-lekat buah dadanya
yang dibiarkan menggantung, terbuka.
.
Sepertinya,
ah, lelaki itu, lelaki dengan tindik di bawah bibirnya itu, pernah menjadi
bagian dari kehidupannya.
***
Mematung.
Memperhatikan lalu-lalang mereka yang berseliweran di depannya. Jangkap
berminggu-minggu ia tinggal di sudut stasiun itu. Sendirian. Menanti kedatangan
seorang perempuan. Hingga bosan. Tapi, tidak. Ia tetap menunjukkan sikap
seorang kekasih setia, yang mengawat erat setiap janjinya.
Beberapa
orang sering mempermainkan dirinya. Ada yang memiring-miringkan telunjuknya,
ada yang pura-pura mengajaknya tertawa, juga ada yang bahkan sengaja
mencelakainya. Ya, tak jarang mereka melemparkan kotoran ke kepalanya atau
mengencinginya ketika tidur.
Tak
habis pikir, mengapa ia diperlakukan sedemikian rupa. Seperti mainan. Bukan,
bukan. Seperti sampah, barangkali. Ia, kalau suatu saat mereka menginginkan,
bisa saja dibakar ramai-ramai, guna sekadar mencari hiburan atau mengusir
dinginnya malam. Sebagaimana yang terjadi tadi malam, di mana seorang perempuan
yang membawa korek api, hendak menjadikannya api unggun, ketika daun-daun sudah
dirayapi jari embun. Tapi, bukannya bersama komplotan, perempuan itu
melakukannya tanpa teman.
Untunglah,
ia selamat. Berkat kesigapannya untuk segera kabur dalam kondisi basah kuyup,
bermandikan bensin, yang telah diguyurkan ke serata tubuhnya. Lagi-lagi ia tak
habis pikir, nekat benar perempuan itu. Hingga tanpa merasa berdosa sedikitpun,
bermaksud mengirimnya ke neraka.
Sesampai
di tempat yang agak jauh, nafasnya kembang kempis. Ia, yang sibuk memeras peluh
di pelipis, mencoba merangkai ingatan tentang perempuan yang berniat
menghabisi, namun seolah pernah menanamkan benih-benih cinta dalam hati.
***
“Siapa
kau?” Lelaki dan perempuan itu melanting pertanyaan, bersamaan.
“Kau
siapa?” Kurang puas, sekali lagi, keduanya bersoal antara satu dengan yang
lain.
Hening.
“Kenapa
keningmu berdarah?”
“Kenapa
tubuhmu berbau bahan bakar?”
“Orang
gila menghadiahkan batu kepadaku.”
“Orang
gila memberi kejutan untukku.”
“Orang
gila? Hmmm…” Untuk kesekian kalinya mereka mengucap hal yang sama, berbarengan
pula.
“Lelaki
itu sangat kesepian. Menghujaniku dengan batu, berharap aku mengejarnya. Ia
ingin ulang permainan yang mungkin biasa diikuti semasa kecil. Tapi, aku
bukanlah perempuan bodoh!”
“Perempuan
itu begitu akrab dengan kesunyian. Dari raut mukanya, aku bisa mengetahui
isyarat itu dengan jelas. Barangkali dengan membakar tubuhku, ingin ia dapatkan
kehangatan, yang selalu ditawarkan kekasih.”
“Kekasih?”
“Ya,
kekasih. Kau punya?”
Ia
mengangguk.
Kemudian
menggeleng.
“Oh,
sayang. Kau termasuk orang merugi.”
“Aku
bukan mengatakan tidak punya.”
“Lantas?”
“Lupa,
apa aku pernah punya kekasih atau tidak. Bagaimana denganmu?”
“Ini
pertanyaan paling sulit kujawab.”
“Maaf.”
“Kalau
boleh tahu, sedang apa kau di sini?”
“Kalau
tidak salah, dulu seorang lelaki berjanji menungguku. Di stasiun ini.”
“Kekasihmu?”
“Sudah
kubilang, aku benar-benar lupa. Tapi, mungkin saja ia memang lelaki istimewa.”
“Beruntunglah
lelaki itu.”
“Beruntung?”
“Kekasihnya
begitu setia.”
“Salah.
Asal kau tahu, ikrar kesetiaan yang paling rentan dilanggar adalah melupakan
ikatan antara sepasang kekasih.”
“Ikatan?”
“Benar.
Tentu kau pernah membuat ikatan bersama seorang perempuan?”
Lelaki
itu tidak mengangguk. Tidak pula menggeleng. Sepenghisap pipa kemudian, ia bermaksud
menerbangkan pikirannya ke masa-masa yang telah ia lewati, namun gagal.
***
Jessica
Subono dan Yoga Bradley berjanji bertemu di stasiun Woking. Sesuai kesepakatan
kemarin, mereka berdua hendak membelanjakan liburan di Guildford, empat puluh
tiga kilometer barat daya London. Dua mahasiswa salah satu perguruan tinggi
swasta di ibu kota Inggris tersebut berangkat dari apartemen masing-masing.
Fajar Sumatera, Jumat, 22 Januari 2016
No comments:
Post a Comment