Friday, June 19, 2015

Bongkot Berlari Sepanjang Jalan(1)

Cerpen Syaiful Irba Tanpaka


BONGKOT berlari sepanjang jalan. Seperti seorang olahragawan yang membawa obor, ia melewati jala raya, melewati kota-kota, melewati kampung-kampung, melewati hutan-hutan, melewati pegunungan dan samudera. Berabad-abad ia berlari melintasi cakrawala.

Dengan nafas mendengus bagai kuda, Bongkot terus berlari sepanjang jalan yang bisa ia lewati. Pakaiannya yang semula rapih kini terlihat compang-camping tergores ranting-ranting. Tubuhnya yang semula bersih sekarang hitam kumal terbakar matahari dan dikarati debu. Tapi ia tidak peduli. Ia terus saja berlari. Berlari. Berlari. Heyyaaa...

“Apa yang kamu cari, Bongkot?” tiba-tiba terdengar suara bertanya di telinganya. Sambil terus berlari Bongkot menjawab.

“Aku mencari Lesly!”

“Siapa dia?”

“Gadis yang kucinta sekaligus kubenci!”

“Untuk apa kamu membawa obor?”

“Membakarnya!!”

“Membakarnya?!”

“Ya! Aku ingin melihatnya menjadi abu! Lalu diterbangkan angin ke angkasa raya, agar semesta leluasa mengutuknya!”

“Begitu besarkah amarahmu?”

“Teramat besar!”

“Dendam apa yang engkau kandung?”

“Dendam cinta!”

“Lantaran Lesly menolak cintamu?”

“Justru karena dia menerima cintaku!”

“Bagaimana mungkin?!”

Bongkot terdiam. Hanya kerutan kening dan tatapan matanya yang menajam seakan menjadi jawaban. Ia terus saja berlari. Berlari. Berlari. Heyyaaa...

Wajah Lesly membayang di benaknya. Lesly yang cantik jelita. Gadis kampung yang di kenalnya di stasiun kereta. Yang lugu dan bersahaja. Yang ingin mencari kerja di kota. Yang tinggal di rumah kost khusus wanita. Yang selalu diantarnya mengajukan lamaran dari kantor ke kantor, berbekal ijazah esema. Yang rajin beribadah sebagai cermin perempuan soleha. Yang kemudian suka curhat kepadanya. Yang kemudian pula membuatnya jatuh cinta. Ya!

“Lesly..., maukah engkau menjadi kekasihku?” suara Bongkot setengah bergetar saat  mengutarakan isi hatinya.

Lesly tersipu. Wajahnya yang jelita bersepuh merah jambu.

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang jadikannya tiada...”(2)

Lesly masih tersipu. Wajahnya yang jelita semakin bersepuh merah jambu.

“kuingin dikau menjadi ibu anak-anakku”(3)

Lesly tersenyum. Lalu ia mengangguk kepala.

“Abang..., akupun ingin rebah di pangkuanmu”

Ibarat butiran embun memantulkan cahaya matahari pagi. Betapa kesejukan menyirami hati Bongkot. Keindahan kasih sayang. Kemurnian cinta yang mekar berbunga-bunga. Laksana mendapatkan mutiara tiada bandingnya. Karena menurutnya, Lesly ialah sosok pribadi yang tidak ditemukan dalam diri gadis-gadis kota saat ini.   

“Lalu kalian menikah...?!” tiba-tiba terdengar kembali suara bertanya di telinganya. Sambil terus berlari Bongkot menjawab.

“Tidak!”

“Kenapa?”

“Dia berkhianat!”

“Kenapa?”

“Dia memilih jadi simpanan lelaki kaya raya!”

“Kenapa?”

“Dia bosan hidup miskin!”

“Lantas kamu tidak bisa menerima kenyataan itu?”

“Ya! Karena aku begitu memujanya!”

“Bukankah dia cuma seorang manusia?”

Bongkot terdiam. Hanya kerutan kening dan tatapan matanya yang menajam seakan menjadi jawaban. Ia terus saja berlari. Berlari. Berlari. Heyyaaa...

Apakah orang miskin tidak boleh merasakan bahagia? Mengecap kesenangan yang tidak disebabkan oleh kelimpahan harta benda. Menikmati senyum dan tawa dalam keadaan yang sederhana. Bongkot menimbang-nimbang. Tentu saja tidak! Karena kebahagiaan adalah hak setiap manusia. Tapi kenapa Lesly meninggalkannya. Apakah ia tidak bisa bahagia hidup dengan seorang pegawai rendahan yang sore hari terkadang menjual jasa sebagai tukang ojek di stasiun kereta? Ataukah budaya kota yang hedonistik, konsumtif dan sekuler telah merebutnya dari kehangatan kasih sayang dan cinta? Wajah Bongkot memerah. Semakin mengingat Lesly, semakin berkobar amarahnya, dendamnya, api yang menyala pada obornya.

Ya!
Tapi..., di mana Lesly? Lesly di mana? Di mana...?

Bongkot bertanya-tanya. Ia sudah melintasi tujuh samudra. Ia sudah mendaki pegunungan tertinggi di dunia. Ia sudah menempuh jarak dari kutub Selatan ke kutub Utara. Namun, Lesly belum juga ditemukannya. Orang-orang yang dijumpainya di suatu tempat di suatu waktu – ketika ia tanya – selalu menjawab tidak tahu atau tidak mengenal Lesly.

“Tapi aku harus menemukannya. Aku harus mendapatkannya. Lesly, ya, Lesly. Gadis yang kucinta sekaligus kubenci. Jangankan di ujung dunia, di lubang semutpun dia sembunyi, akan kukejar. Akan kubongkar! Karena aku harus menemukannya. Agar obor yang kubawa tidak sia-sia...” 

Bongkot berlari sepanjang jalan. Dengan nafas mendengus bagai kuda, ia melewati jala raya, melewati kota-kota, melewati kampung-kampung, melewati hutan-hutan, melewati pegunungan dan samudera. Nyala api pada obor yang digenggamnya menderu-deru di tiup angin. Pemandangan di kanan kiri yang dilaluinya berkelebat-kelebat.  Dari kutub Utara kini ia berlari ke arah Timur. Melewati cakrawala Timur Laut. Wajah Lesly yang membayang memacu semangatnya untuk berlari kencang. Ia berharap, di Timur, ia akan menemukan Lesly. Lalu membakarnya! Dan membiarkan abunya diterbangkan angin ke angkasa raya, agar semesta leluasa mengutuknya.

Bongkot berlari sepanjang jalan. Hingga ia tiba di satu dataran yang luas di ujung dunia. Dataran tandus dengan tanah merah retak-retak lantaran kekeringan. Langit dipenuhi awan kelabu. Dan dari awan itu turun asap kelabu. Semakin mendekati tanah, asap itu berubah warna menjadi hitam. Bertambah hitam. Memekat. Menjadi hitam pekat!

Ia mendongakkan wajah ke atas. Memperhatikan asap yang perlahan-lahan turun dari gumpalan awan kelabu itu. Ia mencari-cari asalnya. Menelusuri dengan pandangannya. Ia terkejut. Lantaran asap itu – ternyata – berasal dari obornya. Ia mencoba mengingat-ingat; sejak kapan obornya mengeluarkan asap. Tapi ingatannya zonk! Sama sekali tidak bisa memastikan. Karena itu ia pandangi saja asap kelabu yang keluar dari api di obornya. Kemudian asap itu terbang ke awan dan kembali lagi turun ke bumi dengan warna yang berubah, semakin mendekati tanah semakin berwarna hitam. Bertambah hitam. Memekat. Menjadi hitam pekat!

Bahkan kemudian seluruh dataran luas itu dipenuhi gumpalan-gumpalan asap yang hitam pekat. Hingga cahaya obor yang dibawanya tidak mampu menembus kepekatan itu.

“Apa yang kamu lihat, Bongkot?” tiba-tiba terdengar kembali suara bertanya di telinganya. Sambil terus berlari Bongkot menjawab.

 “Kegelapan!”

“Lalu apa lagi?”

“Kegelapan!”

“Lalu apa lagi?”

“Kegelapan!”

“Dari mana kegelapan itu?”

“Asap yang keluar dari oborku!”

“Asap yang keluar dari obormu?”

“Ya!”

“Kenapa itu bisa terjadi?”

“Aku tidak tahu!”

“Kenapa kamu tidak mencari tahu?”

“Karena aku tidak tahu caranya mencari tahu!”

“Kalau begitu, apa bedanya dengan kegelapan yang kau temui saat ini?”

Bongkot terdiam. Hanya kerutan kening dan pandangan matanya yang gelap gulita seakan menjadi jawaban. Ia terus saja berlari. Berlari. Berlari. Heyyaaa...

Namun di sekelilingnya yang ada hanyalah kegelapan. Hingga ia tidak lagi mengenali arah kemana kakinya melangkah. Apakah ia berlari menuju ke arah Timur seperti yang diinginkannya, atau justru menuju ke Barat, ke Utara atau ke Selatan? Ia tidak tahu!

Yang ia tahu hanya berlari dan berlari,  dengan nafas mendengus bagai kuda. Entah sudah berapa jauh jarak yang ditempuh. Entah sudah berapa waktu yang meluruh. Ia tidak dapat mengukur. Ia tidak dapat menghitung. Karena di sekelilingnya yang ada hanyalah kegelapan. Kegelapan dan kegelapan.

Ia mulai cemas dan putus asa. Di saat itulah  ia teringat kembali dengan suara yang bertanya di telinganya. Spontan ia berteriak.

“Wahai suara yang bertanya, apakah sekarang kamu mendengar aku...?!”

“Ya, aku mendengarmu. Bahkan aku bisa melihat dirimu berlari di dalam kegelapan itu”

“Apakah itu mungkin?”

“Jika Tuhan berkehendak segalanya menjadi mungkin!”

“Siapa kamu sebenarnya?”

“Apa itu penting buatmu!”

“Bahkan seekor nyamukpun sangat berarti dalam kesendirian dan kegelapan serupa ini”

“Bukankah kamu membawa obor?”

“Ya!”

“Tidakkah obormu bisa menerangi?”

“Justru oborku penyebab kegelapan ini!”

“Kalau begitu matikanlah!”

“Tapi obor ini kupersembahkan untuk, Lesly!”

“Kalau begitu teruslah berlari”

“Duhai suara! Siapa kamu sebenarnya??!”

“Aku...?”

“Ya! Katakanlah, siapa kamu?!”

“Aku seorang hamba yang telah diberi rahmat dan ilmu dari sisi-Nya”(4)

“Karena itu kamu bisa mengikuti aku?”

“Ya! Sejak kamu berlari sepanjang jalan. Dengan nafas mendengus bagai kuda,  melewati jala raya, melewati kota-kota, melewati kampung-kampung, melewati hutan-hutan, melewati pegunungan dan samudera. Berabad-abad berlari melintasi cakrawala”

“Kamu mengikuti aku?”

“Aku mengikuti kamu!”

“Hingga aku sampai di dalam kegelapan ini?”

“Hingga kamu sampai di dalam kegelapan itu!”

“Kalau begitu tolonglah, keluarkan aku dari kegelapan ini...”

“Sungguh! Aku tidak punya kekuatan untuk menolongmu!”

“Bukankah engkau telah diberi rahmat dan ilmu dari sisiNya?!”

“Lantas kenapa engkau tidak meminta pertolonganNya?”

Bongkot terdiam. Hanya kerutan kening dan pandangan matanya yang gelap gulita seakan menjadi jawaban. Ia terus saja berlari. Berlari. Berlari. Heyyaaa...

Wajah Lesly yang membayang  memacu semangatnya untuk berlari kencang. Ia berharap, suatu saat, ia akan menemukan Lesly.  Kapanpun. Dimanapun. Lalu membakarnya! Dan membiarkan abunya diterbangkan angin ke angkasa raya, agar semesta leluasa mengutuknya.
Tapi..., dimana lesly? Lesly dimana? Dimana...? n


Bandar Lampung,  02-05/2015


Catatan:

(1) Cerpen ini terinspirasi dari cerpen Sukab Menggiring Bola karya Seno Gumira Ajidarma dalam buku kumpulan cerpen Negeri Kabut, Penerbit Grasindo, Cetakan ketiga – Agustus,2003

(2) Kalimat ini dikutip dari sajak “Aku Ingin” karya Sapardi Djoko Damono

(3) Kalimat ini merupakan bait terakhir dari sajak “Surat Cinta” karya WS Rendra

(4) Disarikan dari QS Alkahfi: 65 yang seutuhnya berbunyi “Lalu keduanya bertemu dengan   seorang hamba di   antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami..” (Menurut mayoritas ahli tafsir yang dimaksud keduanya pada ayat ini ialah Nabi Musa Alaihi Salam dan anak muda pengiringnya Yusya’ bin Nun. Sedang yang dimaksud seorang hamba ialah Nabi Khidr Alaihi Salam)


Fajar Sumatera, Jumat, 19 Juni 2015


No comments:

Post a Comment