Sketsa Retas
Tak perlu berandai-andai perihal waktu
yang terus berlalu di kepalamu. Sebab ia
akan terus berlalu dalam detak jantung
lalu berlalu terbenam dalam imajimu.
Sebagaimana ia menunjuk perhitugan
dengan tepat lewat gigil tubuhmu.
Berputar naik turun, melingkar bak ular
Embus nafas lembutmu menggesek lonceng
hingga lahirkan denting ritmis. Lalu kita sama-sama
pulas di atas alas kertas dengan seketsa retas.
Yogyakarta, 25 November 2013
Riwayat sebagai Isyarat
Daun-daun patah dari rantingnya,
lalu jatuh di pelupuk matamu
dan berubah menjadi airmata.
Ia mengalir pada ilir, pun akhirnya
menggenang di sudut tirus bibirmu
yang meranum selepas hangat ciumku.
Matahari bergetar menghapus jejak
lekat di pusara hatiku. Butuh tujuh
kematianku untuk hidup abadi
dalam rasa jiwamu yang penuh cinta,
sarat padat oleh rindu. Merindu.
Aku dan dirimu adalah radius,
dan kita perlu menjelma kutub
agar senantiasa tarik ulur segala
riwayat sebagai bisik isyarat
: tentangmu dan tentangku.
Yogyakarta, 28 November 2013
Jawabnya Hanya Sunyi
Siapa sangka naluri yang terbungkus ini
lebih tajam untuk merobek-robek hatimu.
Bahkan logika tak sampai menjangkau radiusnya.
Kenyataan pun mementahkan perangai murahan
pada dinding jaman yang mulai usang. Tiada arti.
Lantas masa lalu hanya merayap senyap dalam gelap
meresap bersama waktu, serupa kenang menjulang.
Segalanya hanya berjalan pada nilai-nilai
serta aturan logis sekali pun nyaris tiada pasti.
Saat ada tanya, jawabnya hanya sunyi.
Yogyakarta, 28 November 2013
Terdampar
Aku terasing di duniamu
aku bagai kapal terdampar
dan hanya terayun lembut
oleh ombak kecil pikiranmu.
Aku tak hendak menunggu
terjang badai perasaanmu
meski kutahu pastilah awakku
akan karam ke dasar hatimu.
Yogyakarta, 28 November 2013
Dua Musim
Dirimu adalah musim semi,
dan aku adalah musim gugur.
Jika kita bertemu dalam satu musim,
maka takkan ada lagi kematian.
Bisa jadi kita menjelma hujan,
atau mewujud matahari.
Yogyakarta, 29 November 2013
Bermain Perasaan
Sekali lagi, kuingin bermain
dengan perasaanmu, perawanku.
Seperti kita menembus hujan
bercampur cahaya matahari.
Atau saat kita berteduh
ketika angin menari-nari
bersama gerai hujan; lebat
bergelombang begitu jalang.
Yogyakarta, 29 November 2013
-----------------
Anam Khoirul Anam, novelis sekaligus penyair kelahiran Ngawi, 26 Juni ini sangat gemar membuat puisi-puisi bermadzabkan puitik-romantik. Saat ini bergiat dan mengasuh komunitas literasia, Anam Khoirul Anam Reader (AKAR). Karya-karyanya telah dipublikasikan di berbagai media dan antologi bersama.
Fajar Sumatera, Jumat, 12 Juni 2015
Tak perlu berandai-andai perihal waktu
yang terus berlalu di kepalamu. Sebab ia
akan terus berlalu dalam detak jantung
lalu berlalu terbenam dalam imajimu.
Sebagaimana ia menunjuk perhitugan
dengan tepat lewat gigil tubuhmu.
Berputar naik turun, melingkar bak ular
Embus nafas lembutmu menggesek lonceng
hingga lahirkan denting ritmis. Lalu kita sama-sama
pulas di atas alas kertas dengan seketsa retas.
Yogyakarta, 25 November 2013
Riwayat sebagai Isyarat
Daun-daun patah dari rantingnya,
lalu jatuh di pelupuk matamu
dan berubah menjadi airmata.
Ia mengalir pada ilir, pun akhirnya
menggenang di sudut tirus bibirmu
yang meranum selepas hangat ciumku.
Matahari bergetar menghapus jejak
lekat di pusara hatiku. Butuh tujuh
kematianku untuk hidup abadi
dalam rasa jiwamu yang penuh cinta,
sarat padat oleh rindu. Merindu.
Aku dan dirimu adalah radius,
dan kita perlu menjelma kutub
agar senantiasa tarik ulur segala
riwayat sebagai bisik isyarat
: tentangmu dan tentangku.
Yogyakarta, 28 November 2013
Jawabnya Hanya Sunyi
Siapa sangka naluri yang terbungkus ini
lebih tajam untuk merobek-robek hatimu.
Bahkan logika tak sampai menjangkau radiusnya.
Kenyataan pun mementahkan perangai murahan
pada dinding jaman yang mulai usang. Tiada arti.
Lantas masa lalu hanya merayap senyap dalam gelap
meresap bersama waktu, serupa kenang menjulang.
Segalanya hanya berjalan pada nilai-nilai
serta aturan logis sekali pun nyaris tiada pasti.
Saat ada tanya, jawabnya hanya sunyi.
Yogyakarta, 28 November 2013
Terdampar
Aku terasing di duniamu
aku bagai kapal terdampar
dan hanya terayun lembut
oleh ombak kecil pikiranmu.
Aku tak hendak menunggu
terjang badai perasaanmu
meski kutahu pastilah awakku
akan karam ke dasar hatimu.
Yogyakarta, 28 November 2013
Dua Musim
Dirimu adalah musim semi,
dan aku adalah musim gugur.
Jika kita bertemu dalam satu musim,
maka takkan ada lagi kematian.
Bisa jadi kita menjelma hujan,
atau mewujud matahari.
Yogyakarta, 29 November 2013
Bermain Perasaan
Sekali lagi, kuingin bermain
dengan perasaanmu, perawanku.
Seperti kita menembus hujan
bercampur cahaya matahari.
Atau saat kita berteduh
ketika angin menari-nari
bersama gerai hujan; lebat
bergelombang begitu jalang.
Yogyakarta, 29 November 2013
-----------------
Anam Khoirul Anam, novelis sekaligus penyair kelahiran Ngawi, 26 Juni ini sangat gemar membuat puisi-puisi bermadzabkan puitik-romantik. Saat ini bergiat dan mengasuh komunitas literasia, Anam Khoirul Anam Reader (AKAR). Karya-karyanya telah dipublikasikan di berbagai media dan antologi bersama.
Fajar Sumatera, Jumat, 12 Juni 2015
No comments:
Post a Comment