Friday, June 26, 2015

Sajak-sajak Kurnia Hidayati

Pebidik Tupai

angin
senapan
sepasang gaman

sebelum sampai perkebunan

dari hala utara pohon-pohon cokelat merapat
bagai barisan gelita yang menceritakan enigma
hantu penunggu kebun
yang diam-diam menepuk kuduk
jerit perempuan tanpa badan
menelisik telinga tatkala mendekati rawa

semampai pohon kelapa
batangnya tinggi melampaui kepala
tupai-tupai sembunyi
jeri menanti kersik kaki
manusia yang menjamah rumah kami
membawa pesan tentang mati.


“wahai pengerat yang lihai melompat
terkalah! ke mana peluru akan mengarah.” teriaknya.

seketika peluru mengoyak tabir waktu
seekor tupai terjatuh
dari perkiraannya yang jauh

Batang, 26 Februari 2015


Dian

dian, dalam nyalamu aku tersesat berkali-kali
masa kanakku
yang alpa menitipkan surat kedewasaan
tatkala lampu padam, ibu mengajariku mencipta hewan dari dua telapak tangan
dan mengarangkan cerita tentang kepak merpati yang merandai satu per satu hari
riang waktu itu, dian, menandai hatiku sampai saat ini

namun, kini hanya jelaga
menyembur dari panjang corong yang memagut liukan nyala
usai kucoba menghidupkannya
dengan kobar dari gesek ujung korek api

masa kanaku telah pergi
usia nyatanya bagai sumbu yang dibakar takdir
pelan-pelan menjelma jelaga-jelaga lain
yang pekatnya penyap dilalukan angin

Batang, 2015


Obituari Gigi
jampi yang diucap sebelum mati
beberapa detik jelang lepasnya gigi
adalah siasat catut
agar geraham lepas tercabut

hari ini telah usai tugas sebuah geraham
yang tertanam di rongga mulut terdalam
kuman yang berumah diam-diam
telah menakkikkan gerowong hitam

“selamat tinggal, mulut, lidah, dan teman-teman.” Kata geraham sembari meluncur ke tong sampah.

Batang, 2015


La Isla De Las Munecas

rapsodi, telah tiada di sini, kesedihan bagai tak mengenal wilayah.
seluruh ranah melansir sendu, melingkarkan debar gelisah.

“Andai gadis kecil itu pandai berenang.
Tentu ia tak kan bernasib malang.
Tapi ajal, tetap ajal.
Tak pernah datang terlambat, kendati telah menghindar cepat.”

boneka-boneka berwajah koyak
beradu seringai.
potongan tubuh mereka
berjela
di ranting-ranting pohonan
seakan-akan bertutur kata
tentang nyeri detik pertapaan Don Julian Santana
dalam setengah abad tahun yang gaduh dalam jiwanya.

Rapsodi, tak kentara di sini. Di La Isla De Las Munecas, siapa lagi yang akan segera tiba?
boneka-boneka telah menunggu dan bersiap membisik sesuatu, seperti:
“pulau ini terlalu pedih untuk berpakansi”

2015


------------------
Kurnia Hidayati, lahir di Batang, Jawa Tengah, 1 Juni 1992. Tulisannya pernah dimuat di berbagai media massa. Buku puisinya: Senandika Pemantik Api (2015)


Fajar Sumatera, Jumat, 26 Juni 2015

No comments:

Post a Comment