Friday, July 31, 2015

Hantu-Hantu di Bukit Asam

Cerpen Hazwan Iskandar Jaya



HUTAN di Bukit Asam nyaris tak tersentuh warga dusun kami. Sejak zaman Belanda, kami tak boleh sembarang menyeruak ke sana. Jika dilanggar, bisa berujung pada kematian. Pantangan itu sudah menjadi mitos yang terus ditaati semua warga, betapa pun penasaran menyelimuti hati dan pikiran.


Bukit Asam adalah sebuah bukit dimana tambang batu bara beroperasi puluhan tahun lalu. Beberapa warga dusun kami hanyalah pekerja kasar saja. Dan itulah nasib yang harus ditanggung warga yang bukan sekolahan tinggi. Tenaga ahli hanya berasal dari Jawa, dan jumlahnya sangat sedikit. Mereka mendapat mess dengan rumah mewah di Talang Jawa, sebuah dusun dimana komunitas elit berkumpul dan memperoleh fasilitas yang menggiurkan.


Ayah hanya pegawai rendahan saja di tambang. Berhari-hari tak pernah pulang. Kadang sebulan hanya dua kali menyambangi rumah. Selalu ada yang berubah jika ayah pulang dari tambang, kulitnya tambah hitam kelam bagai arang. Hanya giginya yang putih kekuningan, mungkin juga tak pernah gosok gigi. Di tambang, katanya, tak ada yang bisa diharapkan, kecuali mandi sekadarnya. Dan makan hanya dua kali dalam sehari.



Ayah senang-senang saja bekerja di tambang. Mau apa lagi? Di daerah kami sungguh susah memperoleh pekerjaan yang layak. “Yang penting, sebulan sekali ayah bisa kasih uang belanja pada ibumu. Disyukuri saja supaya hidup kita tenteram. Dan kau bisa sekolah sampai tinggi,” tutur ayah serius. Sekolah tinggi? Apa mungkin? Sedangkan bayaran ayah dari tambang hanya pas-pasan. Untuk kehidupan sehari-hari saja sudah cukup lumayan.


“Eh, siapa tahu… nasib tidak ada yang bisa menebak. Kalau Tuhan ridho, tak ada yang bisa menghalangi. Tapi, kalau tidak belajar, mana juga bisa jadi pintar,” ibu menimpali. Aku tercenung. Menatap kereta pengangkut batu bara itu lewat dari ujung bukit, bergegas ke arah penampungan terakhirnya.


Aku tak tahu persis posisi ayah bekerja di tambang. Kadang, setelah berhari-hari tak pulang, ia muncul sebagai masinis lori motik sang kereta pengangkut batu bara, dari Bukit Asam, melewati jembatan sungai Lematang, lantas membelah dusun kami, dan berakhir di tempat penampungan akhir di dusun sebelah. Jika sedang jadi masinis, ayah hanya bisa melambai ke arah rumah, disertai senyumnya yang khas. Itu pun jika kami, aku dan ibu, tengah duduk-duduk di depan rumah, di atas lincak bambu, yang vernisnya telah pudar.


Saat-saat menjalani sebagai masinis itu, kadang ayah amat khawatir pada anak-anak yang dengan keberaniannya, atau boleh dibilang lebih dekat pada kenekadan yang tanpa perhitungan, menaiki lori-lori motik itu. Ada yang sendiri-sendiri, atau lebih sering beramai-ramai. Memang, laju lori motik tak begitu kencang. Tapi lihat saja ‘oleh-oleh’ yang didapat bagi beberapa anak-anak dusun, yang kerap terjatuh saat hendak menaiki lori. Ada saja ‘hadiah’ yang didapat mereka, entah jari kaki atau jari tangan yang putus, tapi tak sedikit pula yang harus diamputasi kaki atau tangannya, akibat terlindas roda lori yang membawa batu bara berkwintal-kwintal bobotnya. Hanya saja, masih ada anak-anak yang mau menjajal, seolah tak kapok dengan pelajaran berbagai kejadian yang menimpa anak-anak dusun kami, atau anak-anak dusun tetangga.


Entah sejak kapan, ayah tak pernah pulang ke rumah. Waktu itu, aku hanya mendengar desas-desus, bahwa hantu Bukit Asam kembali memakan korban. Beberapa pekerja tambang –katanya—menjadi tumbal keganasannya. Aku pikir, hantu Bukit Asam itu sebangsa Wewe Gombel, Genderuwo atau Buto. Mungkin juga sejenis binatang buas, Harimau Sumatera atau Ular Sanca, atau ular pyton yang besarnya seperti batang kelapa, atau setidaknya beruang hutan. Pekerja tambang yang menjadi korban itu, sebagai galibnya, tak pernah dibawa pulang jazadnya ke dusun. Dan sejak desas-desus itu menyebar ke berbagai sudut dusun kami, tiap malam aku melihat ibu berurai airmata…


Kami tidak tahu, apakah jenazah mereka dikubur atau apa, tak ada informasi yang jelas. Hal itu sudah menjadi lumrah di dusun kami. Tak ada yang mempersoalkan, seolah sudah menjadi satu kelaziman, turun temurun.


Dan aku ingat betul, suatu ketika pintu rumah kami diketok orang, ibu bergegas membukanya, diantara harap dan cemas menggelayuti batinnya. Ibu mempersilahkan mereka masuk. Nampak tiga orang lelaki dengan kulit hitam kelam bagai arang menggunakan topi tambang, dan bersama mereka ada tetua Marga dusun kami, Rahman Hanan namanya, turut mendampingi. Mereka berbincang-bincang serius dengan ibu. Tak berapa lama, terlihat olehku dari ruang belakang, seseorang di antara mereka menyuguhkan kertas-kertas untuk ditandatangani oleh ibu. Wajah ibu berubah, matanya merah menahan airmata agar tak segera tumpah. Dan ibu menerima sebuah amplop. Sampai sekarang pun aku tak pernah tahu apa yang dikatakan mereka, dan isi dalam amplop itu, dan nampaknya ibu menerima saja nasibnya.


***


Sejak ayah tak pernah kembali dari tambang, ibu mengajakku merantau ke tanah Jawa. Yogyakarta adalah pilihan ibu. Bukan tanpa sebab ibu memilih kota Gudeg ini. Bukankah sebagian darah ibu adalah berasal dari Jawa?


“Ibu hanya menuruti pesan ayahmu, agar kau bisa sekolah tinggi. Mungkin paklek atau pakdemu bisa membantu kita. Tapi kau harus bisa membuat orang lain senang terhadapmu. Jangan malas-malasan. Kerja apapun harus kau lakukan. Yang penting, kau harus sekolah tinggi!,” ibu merenggutku, memelukku erat-erat, dan menciumiku bertubi-tubi. Mungkin akulah pengganti ayah, disaat kerinduan ibu sudah tak mampu dibendung oleh hatinya.


Di kota ini aku melihat ‘dunia yang lain’. Dunia yang gegap gempita, orang-orang yang bergegas, kendaraan yang lalu lalang, dan udara yang kotor penuh asap dan residu. Beberapa minggu di Jawa aku terserang batuk pilek berat. Hidungku rasanya mampet, merasakan nafas yang sesak. Mungkin asap-asap dari kendaraan lalu lalang itu sudah menjadi taplak langit di atas kota.


Dua puluh tahun pun telah berlalu. Tapi ayah selalu berada dalam benakku, tentang harapannya agar aku sekolah tinggi. Meski hidup penuh onak dan duri, aku melaluinya dengan kelapangan hati. Rasanya, bagai mimpi di siang hari, selama dua puluh tahun ini, aku dapat menyelesaikan studi sarjanaku. Aku adalah seorang insinyur pertambangan. Lulus dengan cum laude, sungguh membanggakan. Tapi ayah tak mungkin melihat keberhasilanku secara fisik. Barangkali ia melihatku dari langit, ia tersenyum. Senyumnya yang khas…

“Kau akan menangani proyek tambang di Bukit Asam. Banyak hal yang harus kau lakukan di sana. Termasuk pembenahan sistem eksplorasinya,” bapak Rektor memberiku kejutan.


“Jadi…?”.

“Ya, kau lulusan terbaik di kampus kita. Pekerjaaan sudah menungguku. Besok kau berangkat ke Jakarta. Mengurus surat-surat penting pengangkatanmu sebagai tenaga ahli di salah satu BUMN terkemuka di Indonesia itu. Setelah itu… tunggu perintah selanjutnya dari atasanmu di Ibukota,” terang bapak Rektor sembari memberi ucapan selamat. Ia nampak bangga sekali.


Aku hanya tercenung… dan ketika kusampaikan pada ibu, perempuan yang paling aku cintai itu menitikkan air mata. Itu artinya aku akan kembali ke tanah kelahiranku. Apakah aku akan bertemu ayah lagi? Ah, hanya harapan yang mengada-ada saja.


“Ibu bangga padamu. Saatnya memang sudah tiba… Kabari ibu kalau kau nanti sudah menemukan ayahmu di sana! Ibu yakin kau pasti akan kembali,” tutur ibu. Rasanya ibu belum rela benar tentang kepergian ayah. Jika ibu kangen, ia hanya melihat-lihat album foto kami yang kian tua, sebagian dimakan rayap dan sebagian lagi lapuk oleh lembab. Tapi paling tidak, itu sudah cukup mengobati kerinduan kami pada ayah. Mengenai kepergianku, ibu tak banyak bicara. Hanya senyum di bibirnya, mengisyaratkan sesuatu harapan.


***


Di tambang Bukit Asam, yang dulu menjadi pantangan warga dusun kami melawat ke sana, kini menjadi bagian dalam pekerjaanku. Aku melihat bagaimana sebuah bukit dikelupas habis tanah top soil-nya, sebagaimana mengupas kulit jeruk, dan nampaklah bagian dalamnya yang hitam legam. Batu bara! Mungkin di kedalaman ratusan meter tak akan habis digali puluhan tahun ke depan.


Beberapa pekerja tambang memasang dinamit-dinamit untuk menghancurkan dinding-dinding tebing batu bara. Suaranya menggelegar, tanah pun bergetar, dan kusaksikan lapisan batubara yang hancur luluh lantak. Kemudian alat-alat berat pengeruk pecahan batu bara itu bergerak memungut dan memasukkannya ke dalam truk-truk dum  yang kokoh. Ternyata hantu Bukit Asam, yang kadang suaranya meraung sampai dusun kami itu adalah bunyi dinamit-dinamit yang memecah batu bara itu. Dan pada saat naas tiba, beberapa tenaga kasar tambang, kadang terlambat menjauh dari lokasi gempuran dinamit. Lereng batu bara yang terjal runtuh menimpa mereka, dan tak akan pernah bisa dikenali lagi jasadnya.


Entah sudah beberapa tahun lalu, lori motik pengangkut batu bara itu telah tak dipakai lagi. Relnya yang panjang bagai naga itu masih berada di tempatnya semula. Diam membeku, dan membisu. Tapi suasana sudah berubah kini. Hanya hatiku tak pernah berubah, sebuah kerinduan akan ayah yang entah kapan bisa terobati.


Ah, tiba-tiba aku rindu pada ayah.


Tanjungenim-Yogyakarta, 2010



Fajar Sumatera, Jumat, 31 Juli 2015

No comments:

Post a Comment