Friday, January 8, 2016

Sajak-sajak Yuli Nugrahani

Mungkin

Keinginan hanyalah ujung lidah
yang disemat oleh belukar hasrat
yang mungkin bisa disebut musuh
bagi tubuh yang renta.

Tapi aku menyanggahnya.
Karena : 
Apakah wujud raga
jika tak berpakaian
keinginan-keinginan?

2015



Membunuh Hantu-Hantu

Jika perjalanan adalah pemakaman-pemakaman yang terulang
dialah hantu-hantu yang membuat gigil di setiap remang senja
mendudukkan tempat-tempat sebagai tujuan perziarahan
membisikkan rencana-rencana seperti lagu balada yang menggoda.

Dengan nafas dingin dia menuliskan kisah-kisah yang akan datang
tiket perjalanan, warung-warung makan, hotel-hotel penginapan
dan bendel-bendel nomor telepon tanpa nama tanpa kedekatan.

Telingaku terbuka saat musim rumput-rumput ilalang mulai mekar
mengembang seperti ulat bulu tak hendak berhenti beralih rupa
mengingat bunga bungur yang sudah merata di sepanjang jalan
berteriak-teriak pada petani untuk mulai menggarap sawah.

Benih-benih diambil dari gudang dan parang mulai diasah.
Apa lagi pilihanku, pilihanmu, kecuali menuruni tangga rumah
menegakkan diri ke arah Timur tanpa bayang pelarian.

Kau bisa membantuku dengan menjadi serigala
mematikan purnama di mulut-mulut yang licin menganga
dan membunuh hantu-hantu tanpa lolong keraguan
memastikan aku hanya di sekitar rumah mengolah tanah.

Bukan hanya gertak yang teruntai lewat jeruji pagar.
Ladang-ladang jagung dan hamparan tembakau perlahan berubah
dalam ketekunan tangan kaki, mereka menjadi pembantaian.

Tiada janji yang bisa dibuat sebagai saat yang tepat
dalam rumah yang sudah dilapangkan tanpa sekat
dengan pelayan-pelayan musim yang rela berlatih salsa.

Inilah saatnya hantu-hantu dibunuh dan dilenyapkan
pemakaman akan dihentikan di halaman rumah
dan meninggalkan para penggarap bergembira atas sepetak tanah.

Sebuah rahasia selalu dibisikkan sesudahnya.
Dia yang tak pernah puas akan menunggu waktu yang tepat
untuk kembali menggeliat.

Namun aku memastikan bunga-bunga trengguli terus menjuntai
menetakkan kaki di cekung-cekung sungai
menahanku dalam kerumunan ikan-ikan cupang
dan kau, mungkin akan terus menjadi serigala.


2015



Resesi

Pada akhirnya sama saja seperti orang-orang lain
menumbuhkan belati-belati pada carang terserak
mengasahnya pada lempengan hati yang sudah koyak
melesatkannya mengikuti angin acak ke segala arah.

Luka terlukis dalam barisan kabut yang membeku
di lembar-lembar daun waru, kelopak-kelopak alamanda
dan biji-biji petai cina terserak dari buah yang pecah.

Kalian akan melihat perempuan bungkuk tak henti berjalan
ke utara selatan kembali membungkus angin merangkai sekam
menyiasati sawah-sawah yang dikeringkan dari kehidupan.

Di ujung sana corong asap mengabarkan deru bahaya baru
menjulang menusuk awan-awan mewarnai hujan sebagai debu
dan telinga-telinga terbuka akan menangkap tangisan-tangisan
rintih keluh merubung dada-dada tersengal kehilangan harapan.

Gadis-gadis akan beriktiyar dengan dada terbuka
merontokkan daun ketapang yang sudah memerah
dalam mulut garang cupang-cupang kecil penuh girah.

Dan anak-anak masih duduk dekat tungku dapur
dengan mata setengah terpejam
menanti lipatan senyum ibunya
dalam semangkuk bubur.

2015



Pagi


Kumulai tanpa sapa, tapi tanya.
: Kau ingat kelopak bunga tembakau?
Aku menjumpainya di kampungmu
saat musim panen sampai pada puncaknya
saat kopi-kopi sudah disingkirkan dari meja perjamuan.

Lelaki-lelaki memanggul keringatnya
dan perempuan-perempuan menuju sumur.
Tak ada yang dibawa oleh angin.
Kelopak-kelopak itu dibiarkan layu di tanah
menikmati bakteri pengurai
dan mengakhiri musim mengabdi.

Sahabat, aku kira mataku salah
jadi aku bertanya.
: Bagaimana tunas baru akan tumbuh?

Kita berdua diam untuk kesekian kalinya
duduk saling lekat saling pandang
dengan kaki terayun di air sungai kita
meriakkan alirannya dan mengambil sejuknya.

Mereka tak merumuskan jawaban
karena kita tak memerlukan itu.
Tak harus terburu-buru seperti langkah malam
yang rela berpaling di saat segera.

Merekalah para penjamin itu
penyedia cawan-cawan salam
yang memulai hari selalu dengan sapa.
: Selamat pagi.

Maret 2015


------------------
Yuli Nugrahani, lahir di Kediri 9 Juli 1974. Saat ini tinggal di Lampung. Buku puisinya: Pembatas Buku (2014). Sajak-sajaknya yang lain dimuat di berbagai media dan antologi bersama.


Fajar Sumatera, Jumat, 8 Januari 2015

No comments:

Post a Comment