Friday, August 7, 2015

Penyeberangan Sirin

Cerpen Kiki Sulistyo


KAPAL akan segera beranjak ketika Sirin menjejakkan kakinya di pelabuhan. Ia bergegas membeli tiket dan berlari-lari kecil ke dermaga. Penjaga tiket melihat padanya sebentar. Penjaga tiket yang bermuka manis. Sirin menduga pemuda itu pasti gemar bersolek dan repot dengan tubuhnya. Jenis pemuda yang membuatnya mual. Meski ia masih 14 tahun,  tanda-tanda kecantikan pada dirinya mulai tampak. Petugas pemeriksa tiket juga melihatnya dengan cara sama seperti pemuda tadi. Matanya seperti hendak dilekatkan ke wajah Sirin. Lebih tepatnya ke bibir Sirin.

Bibir Sirin memang ajaib, seperti buah yang belum diketahui namanya. Merekah tapi menyimpan ancaman. Sehingga siapa saja yang berniat memetiknya, mesti berpikir dulu atau mencari-cari tahu, buah apa gerangan itu. Jangan-jangan itu buah beracun yang apabila tergigit sedikit saja dapat menyebabkan kematian saat itu juga. Atau itulah si buah khuldi. Yang telah melempar Adam jauh ke bumi dan membuat manusia terlunta-lunta sampai hari ini.


Kapal ramai penumpang. Truk-truk pengangkut barang satu-satu masuk ke dek. Juga bus-bus pariwisata yang mengantar rombongan pelancong kembali ke kotanya. Pun sepeda motor yang menderum-derum dan membuat Sirin merasakan kepalanya pusing. Ia segera naik ke ruang penumpang. Kursi dari plastik yang dideret dan dihubungkan oleh pipa besi membuat penumpang tak bisa tiduran. Sebab deretan itu tak tersambung langsung, melainkan menyisakan tepi-tepi kursi yang menonjol dan bisa membuat punggung linu. Sirin memilih duduk di dekat buritan. Merasakan kapal bergerak pelahan, manakala jangkar diangkat dan peluit dilengkingkan. Langit sedikit kelabu. Di kejauhan burung-burung putih kelihatan seperti potongan-potongan kertas yang dilepas ke arah cadas.

Dibutuhkan 6 jam di atas kapal, melintasi teluk yang memisahkan kotanya dengan kota seberang. Kota tempatnya mukim adalah kota yang sejuk. Jalan-jalannya tidak terlalu besar, dan sebentar-sebentar orang bisa melihat ladang dan persawahan. Yang paling istimewa dari kotanya adalah kuil yang tersebar dimana-mana. Seolah terserak begitu saja. Seolah dibangun serentak oleh para jin pada masa ketika raja-raja masih berkuasa. Tidak ada alasan untuk meninggalkan kota kecil itu, apalagi untuk menuju kota yang lebih besar dan lebih ramai, kecuali karena urusan pekerjaan, dan bagi Sirin tentu saja urusan pekerjaan tak pernah ada dalam pikirannya.

Namun, ada peristiwa yang sedang mengganggunya. Peristiwa yang mungkin bagi orang lain akan dianggap khayalan semata. Impian liar kaum remaja. Peristiwa itu dimulai pada suatu petang ketika Sirin berada di sebuah kuil tak jauh dari rumahnya. Kuil itu adalah kuil kecil di sekitar sana. Terhalangi oleh semak dan pohonan liar. Karena kecil dan tersembunyi jarang ada orang mengetahuinya. Sirin menemukannya secara tidak sengaja, ketika mengejar seorang anak laki-laki yang ia sangka telah memanggil-manggil namanya. Anak itu lenyap dan tiba-tiba Sirin tersadar sedang berada di dalam kuil itu. Sirin suka mengunjungi kuil, dan ia paling senang menghirup bau yang menguar dari dinding-dindingnya. Bau usia, bau yang sekian lama ditanam dalam rahasia. Tapi berbeda dengan kuil-kuil lain yang pernah dikunjunginya, kuil kecil itu menguarkan bau yang lain. Sirin merasakan kulitnya menjadi dingin. Seperti ada selimut angin dari padang es yang jauh, merembes dari langit-langit kuil itu. Sirin hampir menggigil. Matahari yang mulai redup masih menyusupkan bilah-bilah cahayanya dari retakan dinding kuil. Ada altar pemujaan di kuil itu, seperti juga di kuil-kuil lainnya. Tapi ada yang bersinar redup di atas altar itu dan tak ditemukannya di kuil-kuil yang pernah dikunjunginya. Benda itu seperti lampu yang hampir habis energinya.

Sirin tak mau mendekat. Ia takut dan ingin keluar dari sana. Saat itulah ia melihat anak laki-laki itu. Bukan di depan, atau di belakang. Melainkan di atas. Melayang bagai sedang berada di ruang hampa udara. Sirin bisa melihat jelas, mata anak laki-laki itu berwarna hijau. Dan Sirin seperti terhisap ke dalamnya. Ke dalam cahaya hijau yang meluap-luap. Suatu keadaan yang ganjil, dimana tubuhnya seperti terpompa dari dalam. Lalu memberat, seakan-akan ia akan tenggelam. Sirin tidak tahu berapa lama itu terjadi, yang jelas ia merasa ada tangan yang menyambar tubuhnya dan tiba-tiba sudah menemukan dirinya berada di dalam kamar.

Setiap hari, setelah itu, bila Sirin mengatakan sesuatu, seolah bukan ia yang mengatakan itu. Pernah suatu hari di depan ayah angkatnya, ia berkata, “aku bukan manusia, Ayah. Aku seekor ular.” Ayah angkatnya tentu saja tertawa. Ia juga terkejut dengan kata-katanya sendiri, namun ketika bercermin ia melihat (sesaat, sesaat saja) lidahnya bercabang. Meski kemudian lidah itu kembali seperti semula, saat ia menjulurkannya lagi.

Dan tadi pagi, Sirin tiba-tiba berkata pada dirinya sendiri, “Aku akan menyeberang.”

***

Sirin tidak tahu siapa orang tua kandungnya. Waktu ayah angkatnya berterus terang bahwa Sirin bukan anak kandungnya, Sirin tidak merasakan apa-apa. Seolah-olah ia sudah mengetahui hal itu jauh sebelumnya. Waktu itu usianya sekitar 10 tahun. Sirin juga tidak pernah menanyakan apakah ia mempunyai ibu angkat. Ayah angkatnya sendiri tak pernah menceritakan darimana asalnya, dan apa yang dikerjakannya. Sirin menduga-duga saja apa pekerjaan ayah angkatnya. Mungkin ia seorang pengumpul barang antik. Sebab di rumahnya banyak benda-benda yang kelihatan aneh. Mungkinkah seorang pengumpul barang antik tak mempunyai istri? Memang pernah ia melihat seorang perempuan di rumahnya. Duduk di tepi ranjang tidurnya sembari memandang keluar jendela. Hari menjelang pagi, dan karena jendela terbuka tempias cahaya matahari membuat wajah perempuan itu tak tampak jelas. Lagipula kantuk yang berat tak memberi kesempatan padanya untuk bangkit. Setelah itu ia tak pernah lagi melihat perempuan itu.

Selain itu, pernah ada seorang perempuan tua yang datang ke rumah. Dan ayah angkatnya meminta ia memanggilnya nenek. Meskipun kerutan memenuhi wajah dan sekujur kulitnya, rambut perempuan itu tetap legam, hitam bagai kegelapan. Sirin tidak menyukai kegelapan, dan ia juga tak menyukai perempuan tua itu. Lantaran mulutnya yang sedikit mencong itu kerap menyemburkan serapah dan memanggilnya anak setan. Sesungguhnya Sirin tak terganggu dengan panggilan itu. Ia hanya merasa ada yang tak wajar pada suara yang keluar dari mulut perempuan tua itu. Suara itu mengingatkan Sirin pada kaok burung yang sering tiba-tiba terdengar pada malam hari.

***

Setelah kapal bergerak semakin tengah Sirin bisa merasakan permukaan laut yang hangat menguap. Seorang anak laki-laki memainkan gitar berdiri di sampingnya sembari bernyanyi. Suaranya beradu dengan gemuruh ombak yang menghantam badan kapal. Kapal oleng dan horison di kejauhan seperti permukaan air dalam cawan kaca yang ditimbang ke kiri-kanan. Malam turun. Angin kencang datang seakan gerombolan kuda di padang sabana. Sirin merogoh kantongnya, mengeluarkan koin dan menjulurkan ke anak itu. Tapi anak itu terus bernyanyi, suaranya bergulung-gulung. “Sudah. Cukup,” kata Sirin. Anak itu berhenti bernyanyi. Tapi ia tak mengambil koin pemberian Sirin dan malah duduk di dekatnya. “Saya bukan pengamen,” kata anak laki-laki itu sambil tersenyum padanya. “Kamu nggak tahu ya, tidak boleh ada pengamen kalau kapal sudah berjalan.” Sirin diam saja. Anak laki-laki itu tertawa, “Hahaha, kamu lupa ternyata. Kita pernah bertemu sebelumnya.” Sirin memerhatikan wajah anak itu. Ia benar-benar tak bisa mengingatnya. Anak ini pasti salah orang. Atau cari perhatian. Sirin menggeleng dan mencoba untuk tak acuh.

Sirin mengingat-ingat siapa anak laki-laki tadi. Sepertinya ia memang pernah bertemu dengannya. Lalu ia teringat pula pada mata petugas di loket dermaga dan petugas pemeriksa tiket. Tiba-tiba ia merasa aneh bisa berada di kapal ini. Bukankah malam ini ayah angkatnya akan pulang? Sirin melihat penanggalan di jam tangannya. Buru-buru ia membuka tas ranselnya. Tak ada ponsel. Ia meninggalkannya di kamar. Sirin baru tersadar sekarang. Apabila nanti ia sampai di pelabuhan seberang, siapa yang akan dicarinya? Memang di kota seberang ada rumah neneknya yang besar dan mempunyai ruang bawah tanah. Tapi ia lupa jalan menuju kesana, lagipula ia tak ingin bertemu dengan perempuan tua itu. Sirin mulai dibekuk kecemasan. Angin tiba-tiba terasa  semakin dingin. Kehangatan laut sudah benar-benar lenyap. Sirin hampir menggigil ketika nalurinya menangkap kecemasan yang sama seperti yang dirasakannya dulu. Di kuil kecil itu. Ya, di kuil tempat ia melihat anak laki-laki bermata hijau.

Sirin memejamkan mata, tubuhnya seperti terhisap oleh lubang yang gaib. Lubang yang penuh oleh cahaya hijau. Sirin hampir hanyut saat ia mendengar jerit tertahan. Saat membuka mata, Sirin melihat ombak besar memburu kapal. Penumpang berteriak-teriak. Yang di luar cepat-cepat masuk. Ombak menghantam, kapal oleng ke kanan. Sedemikian olengnya sampai-sampai penumpang mengira kapal akan tenggelam. Ombak yang lain menyusul. Kapal terhantam lagi. Sebagian penumpang bersiap di dekat lemari pelampung. Sebagian yang lain bergumam, melontarkan doa-doa keselamatan. Semua yang berada di kapal itu ketakutan, cemas membayangkan kapal pecah, tenggelam dan sekalian mereka akan jadi mayat.

Tak satu pun penumpang yang kelihatan tenang. Tak satupun. Kecuali Sirin. Dan orang-orang melihat Sirin di dekat dinding kapal seakan tak terpengaruh keadaan. Mata Sirin menatap langit. Ia menyaksikan ada bagian langit yang terbuka, bagai pusaran air raksasa. Cahaya hijau meluap-luap dari pusaran itu. Sirin merasa terpompa dari dalam. Lalu pelan-pelan seperti akan tenggelam. Orang-orang yang melihatnya menjerit-jerit. Tapi tak ada yang berani bergerak.

***

Sirin tak ingat kejadian itu. Ia menemukan dirinya terbaring di sebuah kuil.  Seorang perempuan duduk di dekatnya. Wajah perempuan itu tak tampak jelas, seakan-akan ada tempias cahaya yang menghalangi. Tapi Sirin merasa ia pernah melihat perempuan itu. Sementara telinganya pelan-pelan menangkap dengan jelas, kaok burung-burung malam terdengar mengerikan di luar kamar. n


Fajar Sumatera, Jumat, 7 Agustus 2015

No comments:

Post a Comment