Friday, August 14, 2015

Lelaki Sejuta Kebohongan

Cerpen Tita Tjindarbumi


LEBAM mememar masih terasa di dada saat dia muncul secara tiba-tiba di depan Melia. Lebam itu membekas meninggalkan biru yang menghitam. Aku tak pernah mimpi akan bertemu denganmu, Leka, guman Melia nyaris tak dapat membendung perasaannya. Tetetapi Melia tak mungkin  memperlihatkan wajah kesalnya saat lelaki itu mendekat dan mendaratkan kecupan di pipinya.
   
Perut Melia seperti diubek-ubek. Air matanya nyaris tumpah menahan mual sekaligus muak.

"Aku kangen..." Leka menyentuh punggung tangannya. Melia nyaris mendengus. Padahal, sebetulnya Melia ingin menghirup udara sebanyak-banyaknya.


Oh, no. Ia tak boleh memperlihatkan kerapuhan hatinya. Ia harus tetap tersenyum. membinarkan matanya seperti biasa setiap kali bertemu dengan lelaki yang  dicintainya. Oh, tidak. Kisah mereka sudah selesai. Leka kini hanya masa lalu.

"Apa kabar," tanya Melia  seraya menarik tangannya dari genggaman Leka. Beberapa detik kemudian ia telah sibuk membenahi rambutnya yang meriap-riap ditiup angin senja.

"Seperti yang kau lihat, sweety," jawab Leka lalu mengeluarkan kamera xlr nya dari tas ransel. Hmm dia masih menggunakan ransel yang sama. Sekejab Melia tersedot ke sebuah masa dimana ia masih sering bersama Leka.

Hai, Melia, jangan Ge er, buang jauh-jauh semua kenangan tentang Leka. Dia hanya ingin membuaimu, seperti dulu...lalu menghempaskanmu tanpa memikirkan perasaanmu!

Lalu..tisu sebungkus besar, kabel data, laptop dan entah apalagi. Ia tak pernah punya kesempatan melihat lebih leluasa isi tas ransel lelaki itu. Leka dengan senyumnya menahan keinginan Melia yang pingin tahu isi tas lelaki itu. Lelaki itu beberapa kali terlihat membawa baju ganti. Hmmm

Belakangan Melia akhirnya tahu, di dalam tas itu ada clutch rajut cantik berwarna silver. Melia ingin tahu lebih banyak tentang benda yang berisi alat mandi Leka. Dan lelaki itu begitu bangga setiap kali menceritakan perempuan perajut clutch itu.

“Dia bukan siapa-siapa. Dia punya bakat besar. Aku suka karyanya,” ujar Leka seperti tahu apa yang ada di kepala Melia.

“Yah...aku percaya akan hal itu. Kamu begitu banyak bertemu dengan perempuan cantik dan berbakat.” Sahut Melia dengan nada datar. Bukan kali saja Leka bicara tentang perempuan cantik, berbakat dan selalu dengan embel-embel, “dia bukan siapa-siapa”.

"Something wrong?" ujarnya ketika Melia terdiam dan masih berada di ruang masa lalu.
Melia tersenyum, menutupi ketololannya yang masih saja suka terpaku pada masa lalu itu. Masa lalu itu luka, Melia. Tidak kah kau ingat bagaimana lelaki itu membohongimu? Menempatkan sahabatmu bahkan beberapa nama temanmu sebagai perempuan yang akan menjadi pesaingmu? Bahkan dia juga telah membuat persahabatanmu dengan Dina bubar.

Cinta telah membuatmu hanya berjalan dengan perasaan. Dimana logikamu? Apakah janji-janji manisnya telah memberangus logika berpikirmu?

"Kamu lelaki yang sempurna." jawab melia asal saja.Lebih tepatnya ingin menohok. Tanpa diduga, Leka malah tertawa ngakak. Senyumnya menggambarkan dengan meyakinkan bahwa dia  memang selalu menganggap dirinya lelaki yang paling hebat. Lelaki yang paling sempurna yang diinginkan oleh banyak perempuan. Pokoknya top abis.Apalagi embel-embel  jabatan sebagai  direksi di sebuah grup media top, pemeegang 10 media dan bla..bla..bla..

Semakin muak dan .mau muntah setiap kali Melia teringat bualan lelaki brengsek itu.
               
***

Jika saja boleh memilih, Melia lebih baik tidak berurusan lagi dengan Leka. Tetapi apa kata dunia jika ia tidak bisa meredam perasaannya dengan membatalkan project yang sudah sekian lama direncanakan dengan matang. Ini bukan soal kesempatan, mungkin bisa saja ia mengalihkan project ini ke penerbit lain. Tentu ia harus berpikir keras menyiapkan jawaban yang tepat atas pertanyaan mereka. Siapa pun akan bertanya-tanya mengapa ia mundur. Dan bisa dipastikan hari-harinya akan dipenuhi gosip. Mata-mata menatapnya penuh curiga.

Bagaimana mungkin seorang Melia yang sudah lama menginginkan bukunya terbit, tiba-tiba mengabaikan begitu saja kesempatan yang datang dari sebuah penerbitan mayor ternama di negeri ini?

Baiklah. Baik. Melia membiarkan beribu kata andai yang berseliweran di benaknya. Sore ini ia bertemu editor bukunya. Dan ia adalah Leka. Melia sudah siap jika Leka akan memperlakukannya seperti orang asing. Tak mengapa...justru lebih bagus. Bahkan jika naskah bukunya tidak sesuai yang diharapkan penerbit, Melia merasa lebih lega karena tidak menghadapi Leka yang terang-terangan merasa dirinya dibutuhkan.

“Aku sudah membaca naskahmu,” ujar Leka santai. Ia melempar senyum mautnya. Tidak peduli pada sikap Melia yang dingin.

“Lalu?” Melia duduk di depan Leka. Berpura-pura tidak melihat mata Leka yang menatapnya tanpa kedip.

“Aku suka gaya menulismu,” kata Leka. Lalu ia menyulut rokok yang sejak tadi hanya dipegang,”Sorry...” ujarnya lagi setelah menghisap dalam-dalam rokok kretek.. Setelah itu menekan ujung rokok yang menyala di asbak yang sudah penuh dengan abu dan puntung rokok.

Melia diam, menunggu kalimat Leka selanjutnya. Melia tahu, Leka sedang berpikir, mencari kata-kata yang pas untuk menohoknya. Dulu, saat mereka masih dekat, bisa jadi Leka memuji tulisannya karena ada udang di balik batu. Ia sangat piawai memilih kalimat yang tepat untuk memperdaya orang, terutama perempuan. Sikapnya begitu meyakinkan, siapa pun tak akan menyangka jika Leka selalu punya maksud buruk di balik sikap manisnya.

Melia memang pernah menolak Leka terang-terangan, membiarkan Leka pergi dari rumahnya dalam keadaan hujan deras. Melia sudah menahan agar Leka menunggu hujan reda, tetapi Leka tetap menerobos hujan. Dan disitulah Melia merasa bersalah dan akhirnya tidak tega menolak kedatangan lelaki itu ke rumahnya. Juga ketika lelaki itu tiba-tiba sudah berdiri di depan kantornya.

“Aku tahu kamu tidak nyaman bekerja sama denganku,” kata Leka tanpa diduga. Melia nyaris melompat. Ia ingin bersorak kegirangan. Tapi...ia menahannya. Leka tidak boleh sampai tahu soal ini. Ia bukan pengecut yang tidak berani menghadapi Leka yang sangat bisa mempersulit proses terbit novelnya.

“Tidak etis juga. Banyak yang tahu tentang kedekatan kita. Aku tidak mau kamu dibebani dengan hal-hal yang menyulitkanmu sebagai penulis berbakat.”

Melia mencibir dalam hati. Sok perhatian sekali. Aneh. Biasanya Leka tidak seperti itu dalam urusan pekerjaan.

“Kita bisa bekerja secara profesional,”ujar Melia serius. Ia pantang dikasihani.
“Aku tidak mau menyusahkanmu,” jawab Leka dengan tegas. Gaya  bosnya kumat.

“Kamu tidak perlu repot-repot mengasihaniku. Aku bukan perempuan lemah yang tidak bisa mengatasi persoalan. Apalagi hanya soal kecil seperti ini!”

“Dasar keras kepala. Kenapa sih kamu selalu bersikap sinis padaku, Aku sudah minta maaf berkali-kali tetapi sepertinya kamu sangat membenciku,” kata Leka, nada bicaranya mulai tinggi.

Melia tidak menggubris. Ia memang belum bisa memaafkan Leka. Perlakuan Leka terhadapnya sangat menyakitkan. Sampai kapan pun dia tak akan bisa memaafkan.

“Sebaiknya kita bicara tentang pekerjaan saja. Tidak udah nyamber kemana-mana,” kata Melia kalem. Beberapa pasang mata sejak tadi memperhatikan mereka.

“Sekali lagi maafkan aku, Melia...” ujar Leka lirih. Lalu ia berdiri seraya menyodorkan tangannya. Mereka bersalaman. Melia merasakan telapak tangan Leka begitu dingin. Tetapi ia tak ingin bertanya. Bukan urusanku, pikir Melia.

Malam ini Melia membuka file yang berisi naskah calon novelnya. Membaca ulang kisah yang ditulisnya itu, entah mengapa Melia merasa seperti tokoh dalam novel. Perempuan yang tampil elegan, tegar padahal jauh di lubuk hatinya ia tak beda dngan perempuan pada umumnya: lemah dan sering merasa kesepian di tengah keramaian.Perempuan yang merasa terhina ketika menerima bantuan dan belas kasih orang, terutama laki-laki.

Mengapa novel itu seperti membuka topeng dirinya? Dan tokoh lelaki di novel itu..adalah lelaki yang hobby mengumbar janji dan menebar virus cinta dalam puisi-puisi yang ditulisnya. Dan lelaki itu mengapa seperti Leka...ada apa? Padahal novel itu ditulis Melia 2 tahun lalu, sebelum ia bertemu Leka dan terjebak dalam cinta lelaki dengan sejuta kebohongan.

Ah...

Melia menutup layar laptopnya. Lama ia terdiam sampai akhirnya tertidur.
                   
***

Keputusan Leka (jika ia serius) soal ketidaknyaman, memang belum final. Bahkan Melia masih bertanya-tanya kelanjutan pembicaraan itu. Malam itu tak ada yang Melia dapat dari pertemuannya dengan Leka. Kecuali membawa kejengkelan dan kebenciannya terhadap Leka sampai ke alam mimpi. Dalam banyak hal Leka memang tidak jelas. Tetapi mengapa ia bisa menjadi direksi di perusahaan sebesar itu?

Mungkin ia telah berhasil memperdaya bosnya, yang perempuan setengah tua berstatus lajang. Entahlah...

Melia masih bermalas-malasan. Akhir pekan adalah waktu yang tidak bisa diganggu. Melia lebih suka di rumah menikmati libur sambil beberes rumah. Dering telepon genggam di meja kerjanya membuat Melia beranjak. Dengan malas ditekannya tombol hijau.

Beberapa menit setelah menerima telepon, Melia tak dapat menahan isak tangis. Ia tak percaya mendengar kabar buruk yang baru saja disampaikan oleh Riza asisten Leka. Menurut kabar dari Reza, Leka meninggal karena tabrak lari. Waktu itu Leka baru saja turun dari Busway lalu berjalan keluar shelter. Baru saja beberapa langkah, tiba-tiba ada motor dengan kecepatan luar biasa kehilangan kendali dan menabraknya. Nyawa Leka tidak tertolong. Ia menghembuskan napas saat perjalanan menuju rumah sakit. Dan tabrak lari itu terjadi pukul 19.30 wib, kemarin.

Melia terhenyak. Kemarin? Bukankah semalam di pukul 20.lebih ia bertemu Leka dan membahas novelnya? Bukankah semalam Leka duduk di depannya hanya dibatasi meja yang di atasnya ada asbak penuh abu dan puntung rokok?

Bukankah semalam Leka sempat meminta maaf tetapi Melia malah merasa seperti akan dibohongi lagi?

Bukankah....oh...bukankah...mungkin itu sebabnya tangan Leka semalam begitu dingin.

Dia telah pergi. Lelaki sejuta kebohongan itu telah tiada. Mengapa rasa sakit itu masih terasa... n
               


Fajar Sumatera, Jumat, 14 Agustus 2015

No comments:

Post a Comment