Friday, August 28, 2015

Kafe De Takar

Cerpen Rifan Nazhif


BERBAGAI rayuan orang agar saya menikmati enaknya ngopi. Bahwa menyesap air kopi, memiliki seni dan ritual. Berbeda sekali dengan minum teh, susu apalagi vodka. Celakalah orang-orang yang membenci kopi!

Dan meskipun Bamby, seorang pesohor penikmat kopi, berulang-ulang mengajak saya bertandang ke Kafe De Takar, tetap saja saya menolak. Bamby sebagai pencerita yang handal, berbusa-busa mulutnya menceritakan tentang seni minum kopi di tempat tersebut. Sangat lain dari yang lain. Tapi saya bersikeras, minum kopi di mana saja, sama! Untuk itu saya tak akan mendekati kopi, apalagi meminumnya.


Karena kehabisan akal, Bamby tak hanya berniat meneraktir saya minum kopi. Bahkan dia bertaruh, andaikan saya tak betah duduk berlama-lama di Kafe De Takar, dia rela royalti buku Perempuan Lollipop, saya ambil alih untuk bulan ini.

Dan ternyata, cerita teman saya itu bukan bualan semata. Di tengah gemerlapnya dunia malam, berdiri sederhana sebuah kafe yang beda dengan kafe lainnya. Kafe berdinding gedek dan beratap ijuk pohon aren. Saya tiba-tiba teringat rumah si Saua di kampung. Satu-satunya yang bertahan untuk tetap beratap ijuk, kendati dinding terbuat dari papan yang tersusun tak rata.

Di kafe itulah saya melihat orang berbuat sekehendaknya. Ada yang datang berpasang-pasangan, ada pula bersama teman, bahkan seorangan. Ada yang mengenakan pakain rapi dan resmi, ala koboi, bahkan yang bersarung dan berpeci miring seperti Bamby. Orang berbicara semaunya. Mau pelan, keras, bahkan teriak. Orang bisa tersenyum simpul, tertawa, bahkan ngakak. Kau juga bebas mau duduk sopan atau malahan mengangkat kaki sebelah menopang dagu. Dan semua itu akhirnya bermuara pada kebersamaan.

Tapi bukan itu yang akhirnya menghipnotis saya. Bukan pula pengunjungnya yang melimpah seperti perempuan hamil sembilan bulan, dengan celana yang tak sanggup menyangga perut. Bukan itu! Melainkan perempuan di balik meja, yang tak mau disebut bartender, selain kapiar. Entah darimana nama eksotis itu dicatutnya. Begitupun, enak sekali di telinga.

Ada dua varian kopi yang dia tawarkan. Pertama, air dimasak di atas kayu bakar yang membara. Setelah air menggelegak, barulah kopi di dalam tempurung kelapa, dia seduh. Itu saja sudah melecut selera, dengan suara nyes yang pelan. Bau khas kopi benar-benar menerobos lobang hidung. Tak perlulah menyesal merasakan pedih asap pembakaran menusuk mata. Karena akhir yang didapat adalah kenikmatan kopi tiada tara. Kau akan seperti dilahap nyala mata perempuan itu.

Kedua, kopi yang sudah diseduh dengan air menggelegak, kemudian disulut kayu yang membara. Suara nyes yang keras, mengawali padamnya bara itu. Dapat kau bayangkan rasa panas itu menjalar di batang tenggorokan. Kau akan seperti dilahap tak hanya nyala mata perempuan itu, tapi sekujur tubuhnya.
Dan yang tak dapat saya lupakan, adalah setiap kali perempuan itu meniup bara dengan sepotong bambu kecil, yang terpikir dalam benak saya pasti yang bukan-bukan. Bagaimana pipi putih yang kemudian berwarna merah padam, mendekati sekujur tubuh saya. Meniup-niup sekujur tubuh saya dengan napasnya yang harum kopi.

Saya kemudian menyesal telah memperturutkan saran dokter agar saya menjauhi kopi. Tentu saja demi menghindari penyakit maag dan darah tinggi saya bertambah parah. Tapi sesuai pendapat Bamby, bahwa bukan makanan yang menyesatkan manusia, tapi hati. Bila hati selalu was-was, maka terjadilah apa yang ditakutkan. Bila hati selalu tenang, maka yang harus terjadi, tak akan terjadi. Dan saya pun memperturutkan pendapatnya

Saya juga merasa bodoh kenapa hingga berumur tiga puluh sembilan tahun, selalu hidup sendirian. Mengenal perempuan ada seni dan ritualnya, ibarat minum kopi. Dan perempuan yang lain dari yang lain, adalah perempuan kopi itu. Kapiar!

“Kafe sudah hampir tutup!” Kapiar itu menatap saya tajam. Seolah mengusir. Tapi saya merasa diajak bertahan. Kalau perlu menginap di pelukannya yang hangat dan harum kopi.

“Bagaimana kau membuat kopi yang nikmat dan tak membuat saya sakit? Sungguh mengagumkan!” Saya jujur memujinya. Mata perempuan itu menyala. Dia mematikan bara ditungku. Asapnya menyebar, membuat mata saya berair.

“Teman Anda sudah pergi sejak tadi. Bukankah dia yang mengajak anda ke mari? Tak sopan jika anda yang diajak, tapi akhirnya pulang belakangan. Lagi pula, seluruh kopi yang kalian minum, sudah dia bayar. Jadi, tak ada alasan untuk menahan anda di sini karena masih berhutang.”

Saya akhirnya pergi, namun tetap akan kembali besok hari, dan besoknya lagi. Saya sudah mabuk oleh kopi racikannya. Andaikan kau juga duduk menikmati dia meramu kopi andalan itu, kau tentu akan gila seperti saya. Duduk mematung sampai kopi itu terhidang di meja. Menyesap sedikit demi sedikit rasa panasnya di bibir tempurung kelapa, seolah menempelkan bibirmu pada bibirnya yang hangat bara api.

“Kau gila!” Itulah yang diucapkan Bamby saat saya mengatakan ingin melamar kapiar itu. “Dia milik semua orang! Ibaratnya, dia seorang penari di sebuah tempat hiburan malam. Kau hanya menikmati tariannya, bukan tubuhnya. Kalau kau ingin perempuan, bukankah ada pelayan yang cantik-cantik sebagai penghidangkopi dan cinta? Pilihlah mereka! Atau, pilihlah rekan kantor kita! Banyak perempuan di sini yang cantik. Rika, misalnya.” Bamby memelankan suaranya.

“Aku sanggup melamarnya dengan seluruh hartaku.” Saya bersikeras. Bamby menatap hamburger super gede di depannya. Dilahapnya seolah melupakan saya dan keinginan saya yang tak masuk akal itu.
“Tak semua yang kita cintai harus kita miliki. Ingat itu, Sam! Jika kau berani melamar dan membawa perempuan itu hengkang dari Kafe De Takar, kau tak hanya akan berhadapan denganku. Juga dengan pengunjung lain. Kau sanggup melawan kami semua?”

“Kalau perlu, tentu aku berpantang mundur.”

“Kau gila!”

Saya semakin sering mendatangi kapiar itu hingga dia menyerah dengan sendirinya. Pukul dua dini hari setelah kafe nyaris tanpa penghuni kecuali kami berdua, dia membiarkan saya berleha-leha. Dia menghidangkan setempurung kopi untuk saya dan setempurung kopi untuknya. Santai sekali dia mengangkat sebelah kakinya, hingga saya agak leluasa melihat sesuatu di antara rok panjangnya yang tersingkap. Dia menganggap tak terjadi apa-apa. Saat saya ikut menyesap kopi, setelah dia menyesap duluan, saya merasa terbang ke awan. Kopi yang saya nikmati melebihi kenikmatan kopi yang sudah. Saya pun terlena ketika dia akhirnya mematikan seluruh lampu kafe. Kami keluar dari pintu belakang, menyusuri jalan setapak di sebuah lorong sempit yang hanya muat untuk dua manusia dewasa yang berjalan beriringan dan saling menghimpit.

Saya membiarkannya menjadi penuntun. Saya mengikuti apa pun kehendaknya. Dan ketika kami berada di sebuah bilik, tiba-tiba wangi kopi meleleh dari sekujur tubuhnya. Kopi yang hangat menggelegak. Membakar tubuh saya. Melepuhkan seluruh kulit, hingga kering pula keringat setelah dia simbah.
Pagi sekali saya tersentak. Saya tak menemukan kapiar di sebelah saya. Buru-buru saya menyelamatkan tubuh yang setengah telanjang dengan sarung. Saya melihat tumpukan bubuk kopi di sekeliling saya. Juga beberapa bila kayu bakar yang masih menyisakan bara.

“Kau benar-benar keparat!” Bamby hampir mebogem wajah saya. Tapi teman sekantor melerai. Bamby menarik tubuh saya ke tempat sepi. Katanya, “Berani sekali kau melakukan ini kepadaku.”

“Melakukan apa? Aku sama sekali tak mengerti!”

“Kau telah merusak semua impian semua lelaki penikmat kopi. Bahwa kopi itu dinikmati bukan sendirian. Tapi, bersama-sama. Kopi itu adalah penambah hangat persahabatan. Kopi bisa merekatkan sesuatu yang jauh menjadi dekat. Sesuatu yang renggang menjadi rapat. Ternyata kapiar itu ingin kau kuasai sendiri. Kau sangat tak mengerti seni dan ritual minum kopi. Kau bukan penikmat kopi sejati, kecuali hanya pura-pura menyenangi kopi karena seorang kapiar. Cuh, kau ibarat pejabat busuk! Pemimpin berotak culas yang tak mementingkan kebersamaan, melainkan kesendirian. Pejabat dan pemimpin yang tak mengerti seni dan ritual menjadi pejabat dan pemimpin.”

“Aku mengaku salah,” kata saya pelan. Tapi Bamby langsung pergi tanpa berniat menoleh lagi.
Pagi berikutnya, saya absen kerja. Saya sakit berat. Dokter memarahi saya. Mengatakan saya bengal. Dilarang mendekati, apalagi minum kopi, saya malahan rutin menikmatinya setiap malam. Akhirnya maag saya lebih parah dari sebelumnya. Tensi darah saya melonjak hebat.

Saat saya menenteng seabrek obat di kantong plastik hitam, dan melewati Kafe De Takar, hanya seorang lelaki peramu kopi yang berdiri di belakang meja. Perempuan itu entah pergi ke mana. Saya juga tak tahu apakah lelaki itu kemudian disebut kapiar. Karena saya memang bukan penikmat kopi sejati. n


Fajar Sumatera, Jumat, 28 Agustus 2015

No comments:

Post a Comment