Friday, November 20, 2015

Nadran

Cerpen Aris Kurniawan


BAGIKU tak ada yang menarik di kampung kelahiranku. Kampung yang selalu tampak berantakan dan bau amis. Di setiap rumah selalu mengonggok tumpukan jala, jaring-jaring untuk menangkap ikan, bentangan terpal yang membuat sumpek. Ditambah tali jemuran pakaian yang malang melintang bagai karnaval tujuh belasan. Jika hujan lorong-lorong di kampungku tak ubahnya kubangan kandang babi berwarna hitam. Tanpa alas kaki kami lalu lalang di sana, di antara lapak-lapak yang terbuat dari papan dan bambu dengan terpal sebagai atapnya yang sewaktu-waktu bisa terbang dihempas  angin. Hampir seluruh tetanggaku—termasuk ibuku—adalah penjual ikan. Mereka menghamparkan ikan-ikan—baik ikan segar maupun ikan asin—di lapak pinggir jalan. Teriakan menawarkan dagangan, tawar menawar, deru kendaraan adalah kebisingan khas yang kami nikmati saban hari. Suami-suami mereka—termasuk ayahku—setiap malam bekerja di lautan menangkap ikan.  


Aku sungguh bosan setiap hari bermain bersama kawan-kawanku di pantai yang pasirnya bercampur lumpur. Kulit kami hitam dan rambut kami kemerahan terbakar matahari. Baju yang kami kenakan sangat cepat kotor dan kusam. Kami berkejaran mencari ketam dan kulit kerang sambil menunggu ayah kami pulang dari tengah lautan. Tak banyak hiburan yang kami temukan selain waktu hari lebaran dan pesta laut. Pesta laut, atau orang-orang menyebutnya nadran, menjadi saat yang paling kami tunggu sebagai hiburan. Inilah saatnya kami bersenang-senang karena akan terhidang bermacam makanan yang tak kami jumpai pada hari-hari biasa.  Menjelang nadran kami ikut sibuk membantu orang tua kami merias perahu dengan bendera warna-warni. Kami menggunting kertas warna-warni untuk kami lilitkan pada seutas benang yang kemudian dipasang-bentangkan pada perahu-perahu kami. Sementara ibu-ibu kami membuat penganan. 

Begitulah, orang-orang tua telah menyiapkan sebutir kepala kerbau yang mereka diletakkan bersama rupa-rupa makanan dan kembang sesajen untuk dilarung ke tengah lautan sebagai persembahan kepada dewi laut. Anak-anak seusia kami bersorak-sorak turut dalam arak-arakan perahu ke tengah lautan. Kami melihat kepala kerbau bersama rupa-rupa penganan dan kembang sesajen dilempar ke laut. Suara debur benda menghantam permukaan air terdengar sayup di antara raungan mesin perahu. Kepala kerbau tampak terapung-apung beberapa saat sebelum tenggelam ke dasar laut jadi santapan ikan-ikan. Malamnya orang-orang tua kami begadang dengan main gaple, minum-minum sepuasnya. Mereka membeli satu krat minuman keras murahan, kemudian dituang dalam satu ember besar, dicampur dengan bermacam jenis minuman lain. Siapa pun yang mau minum bisa langsung menyiduk dari ember seperti menyiduk air dari bak mandi. Sebagian yang lain berjoget mengikuti irama dangdut yang mengentak dari atas panggug. Seorang penyanyi dengan kostum kelewat seksi memutar-mutarkan pinggulnya secara keterlaluan. Kami memandang dari bawah panggung dengan pikiran tak karuan. Untuk beberapa malam orang-orang tua kami tidak berangkat melaut, mereka menghabiskan malam dengan minum-minum dan main gaple. Bercakap-cakap penuh kelakar kotor, cekikik tawa, membahana diseret angin malam. 

Tapi nadran pun kini tak lagi menarik buatku. Bukan karena acara itu sudah menjadi pesta semata yang hanya menghambur-hamburkan uang. Aku hanyalah seorang anak yang baru  memasuki masa akil balig yang tidak sempat berpikir sampai sejauh itu. Aku ingin pergi jauh meninggalkan kampungku yang becek kala hujan. Aku ingin ke kota. Kota mana saja yang jauh dan lebih bersih dari kampungku. Ingin kulupakan kampungku. Ingin kupakan peristiwa yang membuatku tak kerasan bertahan di kampung sendiri. Peristiwa yang membuatku menggigil setiap mengingatnya. 

Di kampungku, kampung nelayan ini yang dilintasi jalan raya yang menghubungkan propinsi di Pulau Jawa, pemandangan jejeran perahu yang ditambatkan di sepanjang sungai menuju muara tentu hal biasa. Orang-orang tua dan kakak-kakak kami kadang tidak pulang bermalam-malam di tengah lautan. Kadang mereka juga tidur di atas perahu yang ditambatkan. Banyak pula para pelacur menjajakan diri dari satu perahu ke perahu yang lain. Remaja-remaja di kampungku yang berumur  di atas lima belas sudah akrab dengan para pelacur. Kadang mereka membayar satu pelacur untuk bersama. Di antara mereka memang jarang yang sekolah. 

Sore itu usai kami dari arak-arakan melarung kepala kerbau ke tengah lautan, aku bergegas pulang ke rumah. Aku merasa lelah, kepalaku pusing dan kepingin segera tidur. Tak kupedulikan ajakan kawan-kawan melihat persiapan panggung dangdut untuk nanti malam. Berlari menerobos orang-orang yang sibuk lalu lalang. Pintu rumahku tampak terbuka separuh. Kulihat sepasang sandal yang tak kukenal di balik pintu. Tentu aku tak sempat berpikir sandal siapa. Karena barangkali saja sandal baru ayah. Aku langsung menerobos masuk. Kubanting tubuhku di dipan tengah ruangan. Aku hampir terlelap ketika kudengar suara ibu bercakap-cakap, diselingi tawa genit dan manja, dengan seorang laki-laki yang bukan ayah. Kutajamkan pendengaranku, mencoba menerka-nerka suara siapa. Tetapi kemudian sunyi, berubah menjadi suara desahan keduanya. Kantukku serta merta lenyap mendadak.

Tubuhku gemetar membayangkan apa yang sedang mereka lakukan. Sambil menahan marah aku berjingkat mengintip. Tapi tak aku bisa melihat apa-apa karena tak ada secuil pun lubang yang bisa mengantar pandanganku ke dalam. Aku begitu penasaran. Suara desahan itu makin nyaring berirama disertai bunyi decap dan gerit dipan. Aku menemukan akal. Rumahku tak berplafon, itulah yang membuat suara desahan itu terdengar jelas. Maka aku memanjat dinding menggunakan tangga. Dari atas sini pemandangan itu jelas kelihatan. Pemandangan yang beberapa kali kutonton dari vcd porno bersama kawan-kawanku. Kerongkonganku mendadak kering, perlahan kurasakan ada yang berdenyutan di balik celanaku. Kulihat ibu tanpa pakaian dipeluk kuat-kuat oleh laki-laki bukan ayah yang juga tak berbaju. Ia mendesah-desah dan tak menyadari aku melihatnya dari atas dengan nafas sesak dan tubuh gemetar. Ada dorongan entah apa yang membuatku ingin terus menyaksikan semuanya sampai selesai. Ketika mereka mulai beringsut membenahi pakaian masing-masing, pelahan aku turun dan pura-pura tidur di kamar. 
Sejak itu aku membenci ibu. Tapi aku tak berani menceritakan pada ayah. Aku menyesal kenapa sore itu aku pulang dan harus menyaksikan kejadian ini. Kalau saja aku tak pulang tentu aku tak akan melihat bagaimana laki-laki itu membelit ibu kuat-kuat, mengentak-entakkan punggung dan bokongnya yang berlumur keringat, sehingga tak perlu pula aku dililit perasaan tak menentu jika memandang ibu dan begitu bersalah dan kasihan kala melihat mata ayah.  

Aku jadi pemurung sesudah peristiwa itu. Kuketahui kemudian laki-laki itu adalah kawan ayah semasa di sekolah dulu. Ayah bukan orang kampung ini. Ia orang gunung yang bersekolah di kota tepi pantai.  Itulah sebabnya ayah pernah mengatakan sebenarnya dirinya tidak cocok menjadi nelayan karena memang berasal dari keluarga petani dan peladang. Dalam pergaulan kutahu ayah pendiam. Kata ayah, ibu selalu menolak jika diajak pindah ke rumah kakek di gunung. Dingin, kata ibu. Ayah tampaknya sangat mencintai ibu sehingga mau tak mau ikut tinggal di kampung ini. Kawan ayah itulah yang mempertemukan ayah dengan ibu.      

Belakangan laki-laki bertubuh gempal dan jauh lebih kekar dari ayah ini kerap ke rumah bertemu ayah. Ayah mengenalkannya padaku sebagai Pak Kastub. Kata ayah Pak Kastublah yang akan membeli ikan-ikan hasil tangkapan ayah. Dia juga suka membawa oleh-oleh buatku dan adik-adik. Meski begitu aku tetap membencinya. Tapi  kebencianku hanya bisa kusimpan. Aku kasihan pada ayah yang telah dikhianati ibu dan kawan sendiri. Oleh karena itu aku ingin pergi.

Januari 2015


Fajar Sumatera, Jumat, 20 November 2015

No comments:

Post a Comment