Friday, October 16, 2015

Sajak-sajak Imelda Matahari

Sore Itu di Sumur Batu

Mataku masih menatap Sumur Batu
Entah sumur berbatu
Atau batu bersumur

Di sini wangi tanah pertama kali kuhirup
Dari balik jendela
Setiap pagi dan senja

Sore yang belum terlalu gelap, setelah 20 tahun
Seketika mataku tertumbuk bebatuan di Sumur Batu

Masuk ke dalam piring Gubuk Emas
Tempat para dewa bersemayam
Terdengar suara music dan tawa

Ada pula tembok Cina yang dibuat Kaisar Ming
Meremas-remas pandanganku
Tempat abdi raja tertidur ditemani bidadari surga

Irama riang tak lama berganti gemuruh
Langit menangis semalam suntuk
Dan tanah tak mampu mengusap kesedihannya

Para jelata keluar dari gang-gang kumuh
Bersama tikus dan kecoa
Badan mereka penuh lumpur

Tersenyum miris sambil memeluk bantal basah
Menahan geram dengan lima kilo beras dan beberapa bungkus supermi
Pemimpinnya berkata “Sumpal mulut kalian dengan SUPERMI!”

Para mentri sibuk berpidato di ruang kosong
Sambil mengisap lisong mereka enteng berkata
Pecundang itu mengatakan “Banjir itu karena curah hujan tinggi”

Perlahan hutan kota telah menjadi sebuah sungai lumpur
Berloncatan bersama tanah, tikus, kecoak, tumbuhan, manusia,
Dan piring-piring bergeming dilumuri tangis tanah

Kota tapis berseri telah bersolek lumpur
Kini warnanya merah bata
Tak satu pun para pengeran turun tangan kecuali menambah deretan patung-patung raja

Lumpur semakin meluas
Ini adalah kota siger
Sebuah patung perempuan bersiger sambil mengangkat kain tapisnya

KEBANJIRAN!!!

2013




Sandiwara Radio Umbul Burak1

Sore di Umbul Burak. Di sebuah warung terjadi ritual pergumulan sekampung. Emak, abah, anak ingusan, andung, datuk berkumpul. Mereka mewiridkan sandiwara radio Saur Sepuh, episode Pesanggrahan Keramat. Sebuah episode yang disponsori obat mencret.

Kang Pe’i sebagai BramaKumbara yang terburu-buru merapihkan sarungnya. Ia tidak mau ketinggalan Rajawali yang sudah sejak tadi mematuk-matuk hatinya. Dengan terengah-engah membawa secangkir kopi dan sebatang rokok ia loncat ke atas punggung Rajawali.

Teh Holah sebagai Mantili dating dengan jurus pedang saktinya duduk di barisan paling belakang. Sesekali mengibas-ngibaskan rambutnya. Sesekali pula ia geramnya menggigit kutu dari kepala The Siti yang sudah sejak tadi asik masyuk menindas kutu-kutu teman lainnya.

Lamat-lamat dua orang anak ingusan, Toha dan Tunah, menuju sisi luar warung yang sudah sesak dengan orang. Mereka membawa kemplang sebagai bekal. Sesekali kemplang itu terasa lebih asin terpoles ingus yang meleleh dari lubang hidung mereka.

Ritual sore Umbul Burak yang melintas minda. Sebuah desa yang entahlah. Sesekali aroma asap dari tungku kayunya tercium. Sesekali pula kecipak kaki anak-anak bermain air genangan cucian terdengar. Di balik kabut pagi yang juga telah lenyap, sayup-sayupku dengar umpatan khas. Bukan kebun binatang, tapi tentang percintaan terlarang. KAMPANG!!

Seperti peluru yang diepaskan dari magasin. Tempat itu hilang secara misterius. Adakah Brama Kumbara membawa semua penduduknya ke negeri khayalan? Ataukah malam telah menelan mereka ke dalam kapsul penghilang rasa mulas? Namanya pun tak pernah disebut dalam mesin pencari. Entahlah!
Sore ini aku berdiri menatap sebuah tempat yang telah menelan habis pewaris Sultan Banten. Di sana mereka berebut tempat, di tengah Kota Tapis Berseri tempo lalu.

2013

1) Sebuah kampung di sekitaran Sumur Batu, Teluk Betung yang lenyap seiring dengan bergulirnya uang kerahiman




Perempuan di Perempatan Mal

Seorang perempuan berkulit putih berdiri menunggu bus menuju Pasar Minggu
Di salah satu sudut pakaiannya bertuliskan nama salah satu pusat perbelanjaan kelas menengah
Kakinya putih hanya ditutupi kain separuh paha
Dandanannya lebih mirip penyanyi dangdut di sepanjang pantai utara

Sesekali dia terlihat tertawa dengan seseorang di balik telpon genggamnya
Meski begitu kelihatannya dia tidak terlalu kenal dengan orang itu
Berkali-kali pula dia Tanya siapa ini? Siapa ini?
Ajaibnya percakapan itu terus berlanjut di dalam bis pukul 5 sore yang sesak

Sketsa yang mengingatkanku pada kisah dua orang teman lama di Kota Bandar Lampung

Setamat SMA mereka berenang melewati Selat Sunda
Mencari uang dan sedikit berlian
Lebih Untung kalau dapat suami di sana
Sebuah mimpi yang hadir di pikiran Cinderella: standar! 

Tanpa tahu bagaimana, kini mereka sudah kembali ke kampong dengan membawa seorang anak
Yang satu diceraikan karena suaminya homo dan yang satu ditinggalkan karena perempuan lain

Mereka sudah jadi perempuan kota yang modern
Punya anak dan tidak perlu bapaknya


2013


---------------
Imelda Matahari, lahir di Telukbetung, Lampung pada 1978. Lulusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Lampung, kemudian melanjutkan S2 Linguistik di Universitas Indonesia (rampung 2005).Saat ini bekerja di LIPI dan meneliti bahasa. Di waktu-waktu senjang ia menulis puisi untuk publikasi di media sosial dan koran lokal. Buku puisinya: Aku dan Kata Berloncatan di Ruang Entah  (2015).


Fajar Sumatera, Jumat, 16 Oktober 2015







No comments:

Post a Comment