Friday, October 23, 2015

Sementara Tiga Orang Terus Bersama

Cerpen Bayu Pratama

MAMA terus berteriak dan Nani terus menangis sementara di tempat yang lain Marko terus menghela napas dengan sangat berat.

Mama sibuk memungut pecahan kaca yang berserakan di lantai. Telunjuk tangan kirinya sobek, dari sana darahnya yang merah segar menetes mengotori lantai yang putih –seputih kebohongan Nani. Nani menjongkok di sebelah Mama, bimbang antara ikut memungut pecahan kaca atau menyeka keringatnya. Toh Mama sebenarnya tidak peduli pada hal itu, tapi Nani tetap bimbang sementara Marko terus menghela napas dengan sangat berat di tempat lain.

Nani tidak merasa bersalah. Manis (kucing peliharaan di rumah ini) berlari seperti biasa dan Nani hanya ingin bermain dengannya. Dia melempar bola dan gulungan benang wol, sampai tidak sengaja melemparnya ke dekat meja. Sebuah foto keluarga menunggu di sana, terlihat lama dan tanpa warna. Manis yang kehilangan kendali tubuhnya menabrak kaki meja dengan sangat lucu –ah, betapa lucunya kucing itu. Foto tanpa warna itu terjatuh. Nani tahu, Mama akan meneriakinya jika melihat hal itu. Tapi Nani tidak merasa bersalah. Manis sepantasnya bermain dengan lucu, jika tidak lucu maka dia lebih baik menjadi kucing pasar saja. Burik dan bau. Sesuatu yang lucu memang dibutuhkan di mana saja, termasuk di dalam sebuah keluarga, tanpa perlu peduli apakah dia merusak sesuatu atau tidak.


Nani tidak pernah berpikir tentang mana yang harus lebih dulu diperhatikan, pecahan kaca bingkai foto itu atau si Manis yang lucu. Ah, yang lucu akan lebih menarik untuk Nani, karena Marko sering menghela napasnya dengan sangat berat di tempat lain. Nani merapikan benang wolnya, dia harus merajut baju malam ini sementara tanpa sepengetahuannya, Mama menuruni tangga.

Mama tahu, dia sangat merindukan Marko. Foto di meja itu akan menunjukkan padanya betapa lugu, lucu, dan cerianya seorang anak yang dulu pernah dimilikinya, seutuhnya. Mama menuruni tangga dengan tatapan kosong. Tanggannya perpegang pada pinggiran tangga tanpa berpegang, sama seperti pikirannya yang berpikir tanpa berpikir. Dia hanya tahu, foto itu akan mengobati sesuatu yang terasa sakit jauh di dalam dirinya, jauh di dalam hatinya, jauh pada hari-hari yang terasa seperti hari-hari yang tidak biasa.

“Kaca?” Mama bertanya dalam hati. “Nani…”

Manis mengeong dengan lucu, Nani menyukainya. Sementara Marko terus menghela napas, Mama menjongkok memungut pecahan kaca dan Nani datang tanpa merasa bersalah. Si Manis di gendongannya terus mengeong dengan lucu. Ah, betapa lucunya kucing itu.

“Siapa yang menjatuhkan foto?”

“Maaf Ma, Manis…”

“Manis?”

“Iya. Tadi Manis lari…”

“Lari?”

“Iya. Lari, jadi...”

–Dialog selanjutnya akan sangat susah untuk dituliskan. Sederhananya, Mama mulai berteriak, pelan, pelan, kemudian mengeras dan semakin keras. Sampai suasana mulai tenang dan dialog ini bisa dituliskan lagi–

“Marko belum kembali, dan foto ini sangat berarti. Manis itu, tahu apa dia?”

“Maaf. Lain kali…”

“Maaf?”

“Iya. Maaf Ma, lain kali…”

–Dialog kembali susah untuk dituliskan–

Mama terus berteriak sedang si Manis, tanpa tahu apa-apa, terus bersikap lucu dan manis sesuai namanya. Nani sangat menyukai sikap Manis yang itu: caranya menatap orang, mengeong, dan mengeluskan kepalanya ke benda-benda. Nani tersenyum sementara Mama terus berteriak. Telunjuk tangan kanan Mama menyeka air mata yang sedikit keluar di ujung mata kanannya, sementara Nani tetap memperhatikan Manis yang lucu.
Ah, betapa lucunya kucing itu.

Serakan kaca dari bingkai foto itu tercecer di bawah kaki meja. Mama menjongkok memungutinya satu per satu. Telunjuk tangan kirinya tersobek ketika berusaha mengambil satu pecahan kaca yang masuk agak dalam ke bawah kolong meja. Darah merah menetes dari situ sementara Marko terus menghela napas dengan berat di tempat lain.

Marko tahu, Mama dan Nani pasti sedang saling meneriaki sementara si Manis bermain dengan lucu dan manis sesuai namanya. Dia terus menghela napasnya dengan sangat berat. Kehamilan Nani membuatnya terus berpikir tentang seberapa mampu sebenarnya dia menghamili seorang wanita. Diingatannya tergambar dengan pasti apa yang dikatakan dokter terakhir kali tentang kemampuannya menghamili dan keadaan Nani yang siap dibuahi. “Nani, Nani”. Marko memanggil Nani di dalam hati sementara Mama menangis di dalam kamarnya sendiri.

Manis masih sibuk bermain sendiri. Tanpa tahu Nani memperhatikannya, atau Mama yang menangis di kamarnya. Ah, betapa lucunya kucing itu.

Sudah sejak waktu yang sudah dilupakan, Marko tahu, Mama dan Nani pasti akan menjadi seperti minyak dan air. Dia pernah bercerita, Mama memintanya untuk tidak menikahi Nani sementara Nani memintanya membeli kucing untuk dipelihara sedangkan dirinya sendiri terus mencari alasan kenapa.

Bulan malam ini terang sekali. Akan terlihat indah jika dilihat dari celah-celah ranting pohon, atau jendela, di mana Nani duduk diam dengan pakaian tidurnya. Ah, betapa manisnya wanita itu, sampai-sampai semut di halaman berbaris di tembok menuju jendela kamarnya yang terbuka. Mungkin Nani juga ingin menatap bulan malam ini, Sementara Mama masih menangis dan Marko belum kembali juga.

Nani bertemu dengan Marko sekitar lima belas tahun yang lalu. Lima tahun setelah mereka bertemu, mereka menikah. Sepuluh tahun menikah dan mereka belum juga dikaruniai anak, sampai Nani meminta untuk dibelikan kucing: Manis. Mama membenci itu, karena satu alasan dan lain hal yang tidak pernah ada yang tahu.

Bulan semakin indah. Ah, bunga-bunga. Mama terus menangis di kamar, suaranya terdengar sampai ke telinga seseorang yang kelelalahan memotong rumput di halaman hari ini, seseorang butuh tidur dan Nani… Marko belum pulang sementara Manis mengeong entah di mana.

Nani terlihat manis dengan pakaian tidurnya. Dia menatap seseorang dari jendela kamarnya yang terbuka, tirai putih tertiup angin dan sekali lagi, ah, bulan tampak indah bukan? Perutnya yang membesar membuatnya terlihat semakin manis, untuk seseorang. Nani, ada yang ingin dia menunggu. Marko tahu itu sementara mama tahu Marko mengetahui sesuatu. Lantas kenapa marko tidak mau kembali?

Suara tangis sayup terdengar dari kamar Mama. Sedikit menggagu perasaan seseorang yang melewatinya. Mama wanita yang baik, dia merindukan Marko bahkan setu detik setelah Marko pergi sampai kapanpun dia akan kembali. Marko adalah anak kesayangannya. Dia selalu menyukai senyum Marko di dalam foto di atas meja.

Foto di atas meja. Di bawah kaki meja pecahan kaca terlihat mengkilap terkena cahaya lampu. Menyisakan cerita tentang bercak darah di dekatnya. Seseorang mengingat tentang cinta. Tapi bukan cinta yang ini.

Mama mengerti dunia tidak sebaik apa yang dikatakan orang-orang baik. Air matanya tidak dapat diartikannya lagi, apakah itu karena kerinduannya atau kesepian yang dia rasakan. Di mana Marko? Mama lelah. Silet di ujung kaca rias terlihat berkilat. Mama menangis tersedu. Dia mengingat Nani, wanita yang merebut Marko darinya. Marko membawa Nani datang, tapi kemudian Markolah yang pergi. Apa itu bisa dimengerti? Ah, angin yang bertiup dan desiran daun di luar mengatakan: lebih baik semuanya yang pergi.

Sementara Marko menghela napasnya dengan sangat berat. Jendela di sebuah tempat entah di mana dibiarkannya terbuka. Tirainya tertiup angin, dingin. Marko hanya ingin menghela napasnya sambil menatap bulan. “Nani suka bulan, dan juga membuka jendela kamar,” pikirnya. Marko hanya berusaha merasakan sesuatu. Di sampingnya terselip tali, siap digunakan.

Nani menunggu. Seseorang datang mengetuk pintu. Mereka berdua bertemu di dalam kamar. Cahaya bulan masuk, tirai tertiup angin, dan jendela terbuka. Ah, mereka mengerti cinta, tapi bukan cinta yang itu.

Mama memegang silet dan Marko menyiapkan tali di tempat lain. Sementara seseorang dan Nani berkeringat di bawah sinar bulan, Manis mengeong entah di mana.

Gunung Sari, 2015



Fajar Sumatera, Jumat, 23 Oktober 2015

No comments:

Post a Comment